Mohon tunggu...
Dewi Anggar
Dewi Anggar Mohon Tunggu... -

Aku terhenyak, Senyuman membias makna, melambung harapan, mengikis mimpi lalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyian Sunyi Rosa

18 Februari 2016   13:16 Diperbarui: 18 Februari 2016   13:46 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 “Kau tahu, aku bahkan tidak peduli jika dunia membenci kita.”

Rosa mengulum senyum. Kepalanya rebah dalam pelukan cintanya. Dekapan hangat yang selalu dirinduinya. Dering bel kembali bersahut-sahutan dalam pendengaran mereka. Merasa mendapat bisikan surga, kembali mereka saling mendekap menuju pagi. Persetan dengan dunia. Persetan dengan omongan orang. Dunia tidak akan stag hanya karena dirinya memperjuangkan cinta yang dia punya. Tahu apa mereka akan belenggu rasa? Tahu apa mereka soal rindu yang membuncah tak tertahankan? Hingga nyanyian burung terasa sendu dan lukisan senja tampak bermuram durja.

Tahukah mereka pedihnya menahan cinta? Sekedar sakit tanpa darah? Atau sakit hingga berdarah? Kelumpuhan logika bermain dengan leluasa. Rosa memilih hidup dengan caci. Memilih bersanding dengan maki. Bukankah hidup bukan tanpa pengorbanan? Bukan tanpa perjuangan? Peduli setan jika orang menilainya keliru. Ini pengorbanannya. Ini perjuangannya. Hanya itu.

---

24 Februari 2014

Apa kau pernah merasakan kekecewaan yang mendalam hingga seluruh persendianmu ngilu kehilangan tenaga? Apa kau pernah menambat harap dan menemukannya terhempas di deretan sampah di selasar lorong pekat? Apa kau pernah merasa dunia kompak melihat ke arahmu dan menjulurkan lidah padamu? Apa kau tahu betapa sulitnya mengangkat dagu setelah terjatuh dalam kubangan sesat yang membuat diri kehilangan waras?

Rosa menggaruk pasir dengan kakinya. Semilir angin pantai Sendawa mengibarkan kerudung kuning yang dipakainya. Wajahnya tidak kelihangan auranya. Tegas dan manis. Hanya saja, mata itu sudah nampak berlainan dari masa terakhir kali Rosa tersenyum.  Cahayanya meredup.  Basah. Rosa berhenti berbicara sejak beberapa bulan terakhir.  Bibir yang senantiasa mengalirkan ribuan kisah dari negeri dongeng, serta merta terkatup tak bergeming. Suaranya berubah senyap. Rosa menjelma menjadi mawar hitam dalam kamar gelap. Diam dan sunyi.

Rosa menatap laut dalam hening. Matanya lurus ke depan. Menyapu seluruh birunya air dan buih ombak yang memutih. Pikirannya melayang tidak keruan. Tidak ada lagi ratap tangis berkepanjangan akibat harapan yang pupus menembus langit. Kecewa itu sudah mendera dan menghantam tepat dititik terpeka dalam hatinya. Kembali terbayang hari dimana Rosa memutuskan keluar dari rumah membawa sebuah tas ransel. Hidup bahagia bersama cinta  yang dikasihi.  Merajut mimpi, mendulang asa.  Menyusun daftar liburan dan rencana hidup bersama selamanya. Lalu apa selanjutnya? Mimpi itu buyar dalam satu hentakan malam. Sebuah pelatuk memicu peluru menembus kepala cintanya. Rosa termangu. Melihat aliran darah yang menderas tak terbendung. Kontan pikirannya hampa. Terpaku dan tidak bergeming. Cintanya mati seketika. Rosa limbung. Dunia tampak semakin menjauh.

“Tahukan kau kalau dering bel akan berbunyi ketika Tuhan mempertemukanmu dengan sosok yang kau sebut jodohmu? Aku mendengarnya saat ini. Aku mendengarnya. Saat bersamamu.” 

Rosa berteriak dalam keremangan malam. Memorinya mengulang setiap kejadian. Berdentuman palu mengoyak batinnya. Sedih tak tertanggungkan. Ratap tangis meraung tak habis-habisnya. Rosa kembali mengemasi ransel. Berdiri di perempatan kilo 4, tepat jam 5, menunggu cintanya datang menjemput. Tidak lagi. Cintanya tidak akan datang. Tidak hari ini. Juga tidak esok hari. Juga pada hari-hari selanjutnya. Cintanya tidak akan pernah datang. Warasnya lenyap ditelan pahit. Rosa menggila. Kehilangan waras, gadis manis itu berlari menelusuri lorong sunyi.

Rosa menghelas napas panjang. Memorinya bermain. Berlompatan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Pantai Sendawa semakin ramai oleh pasien dan perawat yang berjalan mengitari jati dan pantai. Rosa menatap mereka tanpa gairah. Lalu tertawa. Lepas. Begitu lepas dan renyah. Mendadak Rosa berdiri dari ayunan yang menemani paginya. Berjingkrak menuju ke tengah. Menyodorkan diri pada laut dan ikan-ikan. Berjalan semakin ke tengah. Semakin ke tengah. Angin masih memberi kemanjaan yang sama. Beberapa pasien bernyanyi, teriak, dan berjingkrak tak tentu pasal. Rosa sudah berkencan dengan bulu babi dan ubur-ubur. Semakin ke dalam. Lalu diam. Ombak tetap mengelus pantai. Diam-diam, Rosa telah mencumbu cintanya. Dalam terang. Dalam diam. Juga sunyi. Hanya deburan ombak. Hanya itu.  

---

30/01/2016, 01.08

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun