Mata Rosa menatap cinta lebih dalam. Menelusuri pedalamannya, mencoba membaca kilau mata.
“Bel itu berbunyi, tepat saat ini… Aku mendengarnya. Bel itu berbunyi untukmu.”
Cinta tertegun sejenak. Mendengar ucapan Rosa bagai dawai titisan malaikat. Benarkah bel telah berdentang? Benarkah gemanya telah menyusup ke dalam garis kalbu yang peka? Cinta tidak melepaskan diri dari tatapan Rosa. Membiarkan diri tertelan alunan rasa. Mengeja setiap aliran yang menggetarkan. Wajah Rosa memerah. Senyumnya menyaingi kelopak bunga yang merekah. Cinta terlarut dalam wangi bunga, rasanya menghirup saja tak cukup. Diraihnya kuntum yang tengah mekar. Rosa menjelma menjadi kuntum mawar yang dengan kerelaannya melepas duri agar bisa disentuh. Cinta melumat bibir Rosa. Dalam dan lama. Dihisapnya sari dari bunga yang tengah mekar. Rosa melayang ke nirwana. Durinya tandas dalam pelukan cinta.
Dan bel sekali lagi berdentang.
---
“Kau akan menikah? Kau yakin dia cukup baik untukmu?”
Rosa tersenyum mendengar pertanyaan yang sudah puluhan kali terlontar. Apa yang salah dengan cintanya? Bukankah cinta tak pernah salah? Pada siapa hatimu terjatuh, bukankah kau tidak pernah bisa memilih? Hati memiliki hukumnya sendiri. Bahkan ketika dunia mengutuk pilihan hatimu, dia memiliki hukum sendiri yang menegaskan bahwa bahagia itu ada bersamanya, bukan pada opini orang lain.
Rosa menjawab dengan senyum yang makin membuatnya tampak manis. Lesung pipinya membuat siapa pun mudah untuk menyayanginya. Tapi bukan karena itu cintanya jatuh pada cintanya. Pertalian cinta mereka hanya didasarkan pada dering bel. Betapa bodoh mereka yang percaya pada kode serupa bel.
“Karena hatiku berdegup saat bersamanya. Tidak lebih.”
Jawaban Rosa menghasilkan tatap iba teman-temannya. Hati memang punya hukumnya sendiri. Lupakan urusan indra. Lupakan urusan dunia. Hati telah memilih. Dan pilihan itu jatuh pada cintanya. Lelaki manis yang memikat.
Tak pernahkah kau lihat perempuan setangguh Rosa?