Mohon tunggu...
Dewi Anggar
Dewi Anggar Mohon Tunggu... -

Aku terhenyak, Senyuman membias makna, melambung harapan, mengikis mimpi lalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyian Sunyi Rosa

18 Februari 2016   13:16 Diperbarui: 18 Februari 2016   13:46 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mawar bukan lagi mawar jika tak berduri. Perisai hilang sudah. Rosa telah menanggalkan duri atas nama cinta. Bodoh. Apakah cinta namanya jika akal hilang dari pusarannya? Jika iman tergolek tak berdaya dan nafsu merajai jiwa? Rosa telah kehilangan durinya sejak cinta pertama kali merengkuhnya. Jilbabnya masih manis melingkari wajahnya. Juga baju kurung yang senantiasa longgar membalut tubuh indahnya. Tanpa cacat. Tanpa cela.

Hanya jiwa yang menangis menanti siraman tauhid. Cintanya utuh membungkus dunia. Jatuh cinta membuatnya lupa. Jatuh cinta melambungkan asa menyusuri tempat tertinggi dalam khayal sang pecinta.

Sore ini, ya sore ini dalam barisan senja, tidak peduli bagaimana ayah dan ibunya telah mendepak dia dari kartu keluarga, tidak peduli hujan tatapan iba untuk dirinya, juga pada malam dan bisik angin yang seolah mengejeknya, Rosa tidak akan goyah. Cintanya telah menunggu di tempat pertama kali mereka bertemu: perempatan kilo 4, tepat jam 5.

“Dia suami orang Ros. Kamu sadar !”

Rosa bergeming. Cintanya tidak akan goyah hanya karena kabar angin tak berketentuan asal-muasalnya.  Sekali lagi, hati punya hukumnya sendiri. Hakim, pengacara, jaksa, dan saksi pun telah diatur oleh deretan ilusi dan harapan. Keyakinan-keyakinan kokoh akan kebenaran rayuan sang cinta. Bukankah kepercayaan adalah dasar dari keberlangsungan suatu hubungan? Lantas apa salahnya mempercayai kekasih hati?

“Rosa, dia suami orang ! Anaknya tiga ! Kamu kenapa jadi bodoh seperti ini? Kurang apa Mas-mu sampai-sampai kamu memilih suami sodara sendiri?!”

Dentuman keras kembali menghantam dinding keyakinan Rosa. Bulir air matanya kembali menderai. Kurang apa Mas-ku? Yah, kurang apa? Rosa menatap nanar wanita didepannya.

“Aku mendengar dering bel saat bersamanya. Hanya itu. Bukan dari Mas-ku. Tapi darinya.”

“Ya Gusti. Rosa…”

Rosa menatap lirih. Pedih mengiris hati. Gumpalan emosi tak tertahankan tergambar nyata pada matanya. Bahkan kini cicak bersembunyi di balik lemari. Mas Guntur, tunangan Rosa, berdiri mematung di balik pintu. Cerita berakhir disini. Pupus.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun