Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Belajar "Guide" Sampai ke Benteng

9 Mei 2018   18:24 Diperbarui: 9 Mei 2018   19:03 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ungkapan spirit para pencari ilmu. Dimanapun bisa. Pasalnya, pelatihan kan bisa aja dalam kota, kok malah jauh-jauh, berjam-jam, berkilo-kilo, memutar tikungan, melewati jembatan-jembatan rusak dan jalan yang bergelombang.

Seperti biasanya, pelatihan itu kan mesti di sebuah ruangan, berAC, penuh meja eksekutif, dan beraroma wangi-pewangian ruangan. Betul kan? Ditambah make up yang tak pudar karena kepanasan, keringat yang membenamkan wanginya parfum. Itu idealnya.

Ternyata dibalik semua itu, beta sangat mengapresiasi kolaborasi Dinas Pariwisata Maluku, Lembaga Duta Pariwisata Maluku, Himpunan Pramuwisata Indonesia yang telah menyelenggarakan kegiatan workshop pemandu wisata bagi calon-calon guide di Benteng Amsterdam Desa Hila Kabupaten Maluku Tengah tadi (9/05)

Disini saya tidak membahas segala teori yang disampaikan oleh para narasumber.  Tak dipungkiri, semua narasumber menyampaikan materi dengan begitu luar biasa. Narasumber yang hadir misalnya, Pak Mus Huliselan (Mantan Rektor Unpatti) beliau membahas sejarah dan pola perdagangan Maluku, Pak Renol yang menyampaikan paparan tentang penguatan ekowisata bahari, kemudian trik-trik menjadi guide yang benar, dll.

Namun, menjadi topik beta ketika mengikuti kegiatan ini adalah why Amsterdam Fort? Begini ceritanya:

1. Distance
Yah. Jarak yang jauh ditempuh, melewati batas wilayah kota dan kabupaten, Desa Hila. Ternyata jarak itu sangat berkorelasi dengan sikap sabar dan berpikir dinamis. Disini kita belajar, bahwa menjadi guide itu perlu kesabaran dan dinamisasi sikap yang harus berenergi.

Sebab menjadi guide, kita sedang menjadi "dokter" untuk menenangkan jiwa para wisatawan yang kita ajak. Jangan sampai akibat tak sabaran dan cepat bosan membuat attitude kita dimata mereka menjadi -0. Akhirnya tak akan ada sustainable. Nilai kita jatuh, dimata mereka.

2. Stamina
Yah. Lagi-lagi soal stamina. Bayangkan, awalnya beta berpandangan nanti sampai di TKP, kita akan didudukan pada areal benteng, kemudian ada "sabuah" untuk pelindung dari panas dan hujan. Minimal hujan.

Karena, saat ini musim hujan. But, panitia menyuruh kita naik ke atas, lantai tiga. Cukup lumayan, jika anda tidak terbiasa olahraga, harus pulang balik, naik turun, mendaki 35 anak tangga yang ada. Kaki kerasa kesemutan. Asam urat timbul seketika, etss 'urat-urat timbol'.  Hehe. Beta kasihan juga, ada orang yang berusia sekitar kepala 6 harus menaiki tangga menjungkir itu.

Lagi-lagi, kita belajar, menjadi guide harus punya stamina prima. Kebutuhan stamina prima akan berefek pada standar pelayanan maksimum. Jangan sampai kita cepat mengeluh dengan diri, ketika sedang mengantarkan wisatawan. Jangan sampai ada kalimat, "bos, tunggu ee, beta istrahat dolo." Hehehe.

3. View
Mata manusia tidak akan berbohong. Sesuatu yang indah itu pasti terekam dan langsung tanpa sensor, dan lisan akan menyampaikannya dengan kata-kata. Itu fitrah.

Begitulah, outlook benteng yang berjarak 42 km dari kota Ambon, yang dibangun oleh Portugis tahun 1512 sangatlah menjadi tampilan menarik yang punya nilai historis.

Di Maluku, sangat banyak kita temukan benteng. Karena benteng dijadikan sebagai tempat bertahan dan imperialisme. Sama halnya dengan benteng ditepian laut ini.

Dari atas benteng, lewat jendela-jendela kecilnya, lalu pemandangan laut lepasnya yang berpapasan langsung dengan Pulau Seram, mengingatkan kita tentang drama perlawanan Perang Rempah-rempah oleh Portugis-Belanda-Pribumi. Bahwa sesungguhnya, Cengkeh dan Pala warnanya pernah merah dan menjadi tumbal bagi orang-orang yang tergiur oleh aroma dan harganya.

Malahan, dari pemaparan salah satu pemateri, kita tau bahwa masa itu, anak Pala dan Cengkeh sebanyak 400-an dibawa lari oleh kolonial dari daerah ini dan ditanam di Madagaskar dsb. Sehingga, berakibat pada nilai-jual harganya. Ini juga mengingatkan kita pada kisah di Banda.

4. Imaji jadi kata
Tak dipungkiri, tulisan ini beta tulis dalam mobil menuju Ambon sejak jam 18.29-19.30 WIT. Sanyup-sanyup suara adzan Magrib mengizhar dalam telinga. Suara malam dan lampu sorot mobil mengalahkan kunang-kunang yang memaksa dalam kegelapan. Ditambah hujan yang mengguyur deras, suara-suara kaca terbelah-belah. Deruan mesin mobil berakit-rakit, ban mobil berjingkat pelan. Ini malam Kamis. Ada mobil "tabale" di putaran tikungan sebelum dusun Hulung. Besok libur.

Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun