Ungkapan spirit para pencari ilmu. Dimanapun bisa. Pasalnya, pelatihan kan bisa aja dalam kota, kok malah jauh-jauh, berjam-jam, berkilo-kilo, memutar tikungan, melewati jembatan-jembatan rusak dan jalan yang bergelombang.
Seperti biasanya, pelatihan itu kan mesti di sebuah ruangan, berAC, penuh meja eksekutif, dan beraroma wangi-pewangian ruangan. Betul kan? Ditambah make up yang tak pudar karena kepanasan, keringat yang membenamkan wanginya parfum. Itu idealnya.
Ternyata dibalik semua itu, beta sangat mengapresiasi kolaborasi Dinas Pariwisata Maluku, Lembaga Duta Pariwisata Maluku, Himpunan Pramuwisata Indonesia yang telah menyelenggarakan kegiatan workshop pemandu wisata bagi calon-calon guide di Benteng Amsterdam Desa Hila Kabupaten Maluku Tengah tadi (9/05)
Disini saya tidak membahas segala teori yang disampaikan oleh para narasumber. Â Tak dipungkiri, semua narasumber menyampaikan materi dengan begitu luar biasa. Narasumber yang hadir misalnya, Pak Mus Huliselan (Mantan Rektor Unpatti) beliau membahas sejarah dan pola perdagangan Maluku, Pak Renol yang menyampaikan paparan tentang penguatan ekowisata bahari, kemudian trik-trik menjadi guide yang benar, dll.
Namun, menjadi topik beta ketika mengikuti kegiatan ini adalah why Amsterdam Fort? Begini ceritanya:
1. Distance
Yah. Jarak yang jauh ditempuh, melewati batas wilayah kota dan kabupaten, Desa Hila. Ternyata jarak itu sangat berkorelasi dengan sikap sabar dan berpikir dinamis. Disini kita belajar, bahwa menjadi guide itu perlu kesabaran dan dinamisasi sikap yang harus berenergi.
Sebab menjadi guide, kita sedang menjadi "dokter" untuk menenangkan jiwa para wisatawan yang kita ajak. Jangan sampai akibat tak sabaran dan cepat bosan membuat attitude kita dimata mereka menjadi -0. Akhirnya tak akan ada sustainable. Nilai kita jatuh, dimata mereka.
2. Stamina
Yah. Lagi-lagi soal stamina. Bayangkan, awalnya beta berpandangan nanti sampai di TKP, kita akan didudukan pada areal benteng, kemudian ada "sabuah" untuk pelindung dari panas dan hujan. Minimal hujan.
Karena, saat ini musim hujan. But, panitia menyuruh kita naik ke atas, lantai tiga. Cukup lumayan, jika anda tidak terbiasa olahraga, harus pulang balik, naik turun, mendaki 35 anak tangga yang ada. Kaki kerasa kesemutan. Asam urat timbul seketika, etss 'urat-urat timbol'. Â Hehe. Beta kasihan juga, ada orang yang berusia sekitar kepala 6 harus menaiki tangga menjungkir itu.
Lagi-lagi, kita belajar, menjadi guide harus punya stamina prima. Kebutuhan stamina prima akan berefek pada standar pelayanan maksimum. Jangan sampai kita cepat mengeluh dengan diri, ketika sedang mengantarkan wisatawan. Jangan sampai ada kalimat, "bos, tunggu ee, beta istrahat dolo." Hehehe.