3. View
Mata manusia tidak akan berbohong. Sesuatu yang indah itu pasti terekam dan langsung tanpa sensor, dan lisan akan menyampaikannya dengan kata-kata. Itu fitrah.
Begitulah, outlook benteng yang berjarak 42 km dari kota Ambon, yang dibangun oleh Portugis tahun 1512 sangatlah menjadi tampilan menarik yang punya nilai historis.
Di Maluku, sangat banyak kita temukan benteng. Karena benteng dijadikan sebagai tempat bertahan dan imperialisme. Sama halnya dengan benteng ditepian laut ini.
Dari atas benteng, lewat jendela-jendela kecilnya, lalu pemandangan laut lepasnya yang berpapasan langsung dengan Pulau Seram, mengingatkan kita tentang drama perlawanan Perang Rempah-rempah oleh Portugis-Belanda-Pribumi. Bahwa sesungguhnya, Cengkeh dan Pala warnanya pernah merah dan menjadi tumbal bagi orang-orang yang tergiur oleh aroma dan harganya.
Malahan, dari pemaparan salah satu pemateri, kita tau bahwa masa itu, anak Pala dan Cengkeh sebanyak 400-an dibawa lari oleh kolonial dari daerah ini dan ditanam di Madagaskar dsb. Sehingga, berakibat pada nilai-jual harganya. Ini juga mengingatkan kita pada kisah di Banda.
4. Imaji jadi kata
Tak dipungkiri, tulisan ini beta tulis dalam mobil menuju Ambon sejak jam 18.29-19.30 WIT. Sanyup-sanyup suara adzan Magrib mengizhar dalam telinga. Suara malam dan lampu sorot mobil mengalahkan kunang-kunang yang memaksa dalam kegelapan. Ditambah hujan yang mengguyur deras, suara-suara kaca terbelah-belah. Deruan mesin mobil berakit-rakit, ban mobil berjingkat pelan. Ini malam Kamis. Ada mobil "tabale" di putaran tikungan sebelum dusun Hulung. Besok libur.
Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H