Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Luka Pendidikanku

14 Agustus 2016   18:28 Diperbarui: 14 Agustus 2016   19:43 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO WALI KELAS DAN SISWA SMP IT ASSALAM AMBON

Resah hatiku tak lagi melihat keagungan seperti apa yang dulu aku lihat. Perlahan ku cari,  menepi sedikit untuk mensyarahkan secara detail tentang apa yang menjadi catatan merah tersebut. Sembari aku memutar MP3-ku lalu kuklikan: Hyme Guru. Syair lagu ini, benar menghipnotis alam bawah sadarku dan teman-teman sewaktu di bangku sekolah dasar dulu.

Pastinya di jam pelajaran Kesenian, kami selalu diminta menampilkan satu lagu wajib dan satu lagu pilihan untuk dinilai oleh guru kami. Tentunya, lagu wajib pastilah Indonesia Raya. Sementara yang menakjubkan, semua lagu pilihan yang dipilih oleh semua teman-temanku adalah lagu yang judulnya kusebutkan pada kalimat ketiga. Setiap kami menyanyikan lagu tersebut, ada airmata yang tumpah-ruah dalam kelas. Kelas selalu hening dan hati kami selalu menjiwai setiap nada dan rima liriknya. Guru kami di depan hanya  bernafas pelan, sambil menundukan wajahnya. Kami tau, guru kami sedang menyeka pula airmata harunya.

Hal tersebut tentunya sudah sangat lama, dan mungkin hanya menjadi kenangan zaman di masa kecilku. Setidaknya, harapan menjadi seorang guru tidaklah memudarkan semangat yang berbeda kelezatan zamannya. Setidaknya, walaupun kami dibesarkan di ruang-ruang terbatas kala itu, doa dan optimisme kami untuk berkembang tak bisa diputus begitu saja oleh keterbatasan. Padahal, kami pun tak tau, kapan cita-cita itu dikabulkan Tuhan. Seiring dengan waktu, model rasa pergaulan berubah, berubalah karakter manusia desa menjadi manusia kota. Hal tersebut berimplikasi pada tatanan lembaga pencipta generasi emas.

Karakter yang menjadi asbab kehalusan sopan dalam etika pergaulan menjadi keanarkisan deharmonis. Akibatnya, perkara hormat pada yang tua, cintai sesama hanya menjadi catatan tak bertuah nasehat. Mempunyai siswa yang berkarakter cerdas dan berbudi adalah dambaan tujuan pendidikan.

Kegalauan pendidik dan sekolah akan kasus-kasus negatif pada peserta didik akhir ini merupakan tantangan berat yang harus bisa dicarikan solusi. Perbaikan karakter adalah hard choice.Tidak boleh ada standar ganda. Olehnya itu, hard choice tersebut bisa menjadi  sumber energi baru yang dibutuhkan setiap manusia dalam hidup, dipastikan  pohon kecil guna menghasilkan buah-buah segar dalam menjawab visi misi pendidikan yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003.  

Berbagai fakta tentang keregangan antara pendidik dan peserta didik seperti kasus siswa dicubit, guru dipenjara, kemudian guru menegur siswa, orang tua memukul guru dan masih banyak lagi fakta yang terjadi. Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan di negara ini belum mampu menjadikan tumpuan perbaikan karakter sebagai tujuan utama perbaikan anak bangsa.

Pendidikan Nasional masih berorientasi pada aspek kognitif guna melihat nilai tertinggi peserta didik. Sisi lain Psikomotor dan Afektif tak ada catatan khusus. Tentunya, kita masih ingat kisah bangsa Tiongkok Kuno, yang mudah rapuh oleh kasus suap di bawah bayang-bayang kekokohan benteng raksasa: Great Wall. Kisah tersebut memberikan arti sebauh hikmah bahwa adanya sebuah karakter yang digadaikan sehingga melupakan visi peradaban.  Olehnya itu, makna luka pendidikan ini kusempurnakan dengan rangkaian bait satu rindu di bawah ini:

Bait Satu Rindu, Kepadamu Guru

Di atas atap rumahku

hujan masih jadi takdir, hari ini

Langit nampak menghampar hitam gelap

Sungguh aku begitu kasihan dengan bumi yang terbelenggu

Di bait-bait merdunya nyanyian kilatan gemuruh Guntur

Di bawah kolong langit

Aku bersaksi bersama dinding yang memagari ruangan

Kalaupun besok siang, nyawaku berlepas diri dari tubuh

Sangat bahagiaku, terkubur dengan nasehat kebenaran

Dari lisan mereka, sang pusara

Enggan nafas ini menutup katup titahmu

Sebagai kehidupan bunga tulip yang bertaman di musim kemarau

Haus dahagaku, hilang lewat bibirmu pada setiap jam pertemuan di kelas

Padahal, aku tahu, itu tanggal kuburmu  di gali

Waktu itu, bisa saja kau paksakan aimatamu

Tapi dengan senyum, warna wajahmu

Laksana malaikat tampan yang bertemu Nabi

Pesonanya terangi kami yang masih dipapah

Lalu, akhirnya

Kau  yang datang ketika ayam berkumandang adzan

Pergi tak kembali

Hari ini, masih saja hujan gelapi bumi

Aku masih bersama kursi

Yang menjadikan kayu berkawan paku

Aku masih bersama pena

Yang berteman kata dan tanda baca

Menulis dirimu untuk kembali

Sang Matahariku, tali jiwaku

 

05 Agustus 2016

Ambon, Pkl. 12.02

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun