Tepatnya pada 15 Agustus 2023 Aceh mencapai puncak usia Damai 18 tahun sejak penandatanganan Perjanjian Damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Firlandia.Â
Paska damai, organisasi GAM kemudian berganti nama menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA). Perumpamaan usia manusia, damai Aceh mulai memasuki ke fase remaja beranjak ke fase dewasa.
Jika dilihat sejarah dan tujuan dari pembentukan GAM yaitu untuk memerdekaan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.Â
Akibat dari konflik tersebut, telah menjatuhkan korban hampir 15.000 jiwa. Salah satu faktor yang melatarbelakangi konflik akibat ketimpangan dan ketidakadilan dalam distribusi dan pengelolaan sumber daya alam di Aceh oleh Pemerintah Republik Indonesia.Â
Perihal tersebut masuk dalam (poin 1.3) kesepakatan Perjanjian Damai Perjanjian Damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia. Yang mana kemudian diatur kembali dalam Bab XXII Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dalam fase damai Aceh, banyak dinamika politik, ekonomi, dan sosial budaya terjadi di Aceh. Termasuk tatanan pengelolaan lingkungan hidup yang terdampak dari berbagai kebijakan politik dan pengelolaan sumber daya alam penting untuk didiskusikan dalam fase damai tersebut. Sehingga tercapai pembangunan Aceh berkelanjutan dengan prinsip kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan.
Kondisi Aceh saat ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh masih bertahan sebagai provinsi termiskin di Sumatera, dan berada diperingkat ke 6 provinsi termiskin secara nasional. Jumlah penduduk miskin di Aceh meningkat dari 806,82 ribu menjadi 818,47 ribu orang. Persentase penduduk miskin di Aceh mengalami kenaikan dari 14,64 persen pada Maret 2022 menjadi 14,75 persen pada September 2022.
Di sisi lain, Aceh merupakan daerah yang kaya sumber daya alam dan memiliki keanekaragaman hayati yang memiliki nilai tinggi dan penting bagi kehidupan masyarakat Aceh dan dunia.Â
Provinsi Aceh memiliki kawasan hutan dan konservasi seluas 3,5 juta hektar atau sekitar 62% dari total luas daratan provinsi Aceh, yang mana 2,6 juta hektar diantaranya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan Kawasan Strategis Nasional dan sebagai paru -- paru dunia.Â
Sektor pertanian dan perkebunan mencapai luas 1,1 juta hektar, 385 ribu hektar diantaranya merupakan perkebunan besar dibawah kendali 127 perusahaan yang didominasi komoditas kelapa sawit.Â
Sedangkan sektor pertambangan minerba seluasnya lebih 70 ribu hektar dibawah kendali lebih 40 perusahaan yang didominasi komoditas mineral emas, batubara, bijih besi, dan mineral pengikutnya.
Dengan potensi tersebut, seharusnya rakyat Aceh berada pada puncak kesejahteraan sebagaimana Aceh menjadi daerah modal pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Namun fakta dilapangan, Aceh mengalami darurat ekologi yang juga menjadi faktor utama tingginya angka kemiskinan di Aceh.
Berdasarkan catatan WALHI Aceh deforestasi hutan dan lahan di Aceh periode 2005-2022 mencapai 679.763 hektar. Bencana ekologi dalam empat tahun terakhir mencapai 2.698 kejadian dengan total kerugian 3,3 triliun rupiah, mencakup kerugian infrastruktur publik, rumah penduduk, dan sumber penghidupan masyarakat.
Selain deforestasi dan bencana ekologi, konflik agraria antara masyarakat dengan korporasi sektor perkebunan dan pertambangan juga menjadi masalah serius di Aceh. Konflik tersebut telah menghilangkan wilayah kelola rakyat, pelanggaran HAM, dan hilang sumber penghidupan masyarakat. Kelompok perempuan, lansia, dan anak merupakan kelompok rentan yang terdampak dari kesengkarutan ruang di atas.
Aceh butuh jalan baru untuk pemulihan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam sehingga masyarakat Aceh mampu keluar dari kemiskinan dalam bingkai damai. Karena jika Aceh terus berada dalam kondisi seperti hari ini, tentunya Aceh akan terus dilanda bencana ekologi, krisis iklim, dan akan menjadi faktor penyebab terjadi konflik baru di Aceh. Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H