Sedangkan sektor pertambangan minerba seluasnya lebih 70 ribu hektar dibawah kendali lebih 40 perusahaan yang didominasi komoditas mineral emas, batubara, bijih besi, dan mineral pengikutnya.
Dengan potensi tersebut, seharusnya rakyat Aceh berada pada puncak kesejahteraan sebagaimana Aceh menjadi daerah modal pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Namun fakta dilapangan, Aceh mengalami darurat ekologi yang juga menjadi faktor utama tingginya angka kemiskinan di Aceh.
Berdasarkan catatan WALHI Aceh deforestasi hutan dan lahan di Aceh periode 2005-2022 mencapai 679.763 hektar. Bencana ekologi dalam empat tahun terakhir mencapai 2.698 kejadian dengan total kerugian 3,3 triliun rupiah, mencakup kerugian infrastruktur publik, rumah penduduk, dan sumber penghidupan masyarakat.
Selain deforestasi dan bencana ekologi, konflik agraria antara masyarakat dengan korporasi sektor perkebunan dan pertambangan juga menjadi masalah serius di Aceh. Konflik tersebut telah menghilangkan wilayah kelola rakyat, pelanggaran HAM, dan hilang sumber penghidupan masyarakat. Kelompok perempuan, lansia, dan anak merupakan kelompok rentan yang terdampak dari kesengkarutan ruang di atas.
Aceh butuh jalan baru untuk pemulihan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam sehingga masyarakat Aceh mampu keluar dari kemiskinan dalam bingkai damai. Karena jika Aceh terus berada dalam kondisi seperti hari ini, tentunya Aceh akan terus dilanda bencana ekologi, krisis iklim, dan akan menjadi faktor penyebab terjadi konflik baru di Aceh. Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H