Kekalahan PDIP dalam gelaran pipres dan pilkada 2024 bukan terjadi karena miskin kader berkualitas, melainkan oleh otokrasi internal partai yang menutup kemungkinan partai mengambil keputusan strategis. Hak prerogatif menjadikan keputusan partai terlalu subyektif dan berpretensi menafikan kader-kader berkualitas dan bukan memanfaatkan mereka sebagai aset dan kekuatan partai.
Memimpin partai terlalu lama sejak partai berdiri 30 tahun lalu membuat keakuan pimpinan PDIP membumbung terlalu tinggi. Sang pimpinan bahkan tidak mampu mendengar suara kader terbaiknya. Keakuan itulah yang pada akhirnya menjadi blunder yang membuat partainya menjadi pecundang dalam gelaran pilpres dan pilkada 2024, karena Jokowi benar-benar King maker, bahkan membukakan jalan bagi puteranya sendiri, Gibran memenangkan pilpres dengan skor fantastis, masih ditambah bonus kesuksesan Bobby Nasution, sang menantu, memenangkan pilkada Sumatera Utara.
Menghapus Jokowi Effect
Kekalahan memalukan dalam gelaran pilpres 2024 yang menempatkan capres PDIP berada di posisi buncit merupakan tamparan menyakitkan dan membuktikan bahwa Jokowi lebih berpengaruh dibanding partai dan pimpinannya. Data statistik bahkan memperlihatkan bahwa suara sebagian pemilih PDIP lebih mengikuti pilihan Jokowi dibanding partainya.
PDIP semakin babak-belur oleh kekalahan calon kepala daerah yang diusung PDIP di berbagai daerah. Bahkan berkat dukungan Jokowi, calon kepala daerah yang semula terlihat lemah begitu mudah menjungkalkan calon dari PDIP di kandang sendiri, Jawa Tengah. Kekuatan politik Jokowi terbukti jauh melampaui PDIP dan membuatnya mampu menentukan arah politik nasional, yang seandainya tetap di kubu PDIP, hasil pilpres dan pilkada 2024 pasti berbeda cerita.
Kalahnya partai terbesar di Indonesia malawan “partai perorangan” sulit diterima oleh pimpinan partai. Kesalahan cara pandang pimpinan PDIP berbuah kegagalan menyakitkan yang belum tentu dapat ditebus lima tahun ke depan, tetapi tidak membuat pimpinan PDIP mawas diri. Pimpinan partai justeru murka dan menimpakan kesalahan politiknya pada kader terbaik yang tidak didengar suaranya dan membuktikan bahwa Pimpinan PDIP bahkan masih mengatakan Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDIP, padahal pilpres dan pilkada 2024 membuktikan sebaliknya.
Bukan berlapang dada menerima kekalahan, sebagian tokoh, pimpinan dan influencer PDIP, bersama “musuh-musuh” Jokowi terus membangun framing dan narasi menyerang Jokowi dan keluarganya. Puncaknya, secara emosional pimpinan partai secara spihak memecat Jokowi dan keluarganya dari partai, beserta tokoh-tokoh partai yang sepaham dengan Jokowi.
Dendam kesumat pimpinan PDIP tampaknya tidak main-main, sampai-sampai kehilangan rasionalitasnya, hingga memecat Jokowi, keluarga dan tokoh-tokoh yang sepaham dengannya dari partai. Bukan sekedar mengeluarkan dari partai, mereka juga berusaha keras menghukum Jokowi dan keluarganya dengan segala cara.
Mereka berusaha mencari-cari kesalahan dari berbagai kebijakan Jokowi pada masa memimpin negara, padahal sebelumnya PDIP ada di dalamnya. Bukan hanya framing isu-isu besar, mereka juga mengusik kembali isu-isu receh semisal tuduhan ijasah palsu hingga sebutan Mulyono yang bernuansa merendahkan.
Mereka berupaya mendegradasi dan menjatuhkan nama besar Jokowi dengan segala cara. Kekhawatiran akan pengaruh Jokowi sebenarnya sudah muncul sejak pencalonan Gibran yang mendorong beredarnya framing dan narasi tentang politik dinasti. Amarah PDIP makin menjadi-jadi setelah Gibran benar-benar memenangkan pilpres bersama Prabowo dan didukung “musuh-musuh” Jokowi membangun framing dan gerakan agar Gibran tidak jadi dilantik bersama Prabowo, tapi semua gagal total.
Wajah PDIP saat ini tidak ubahnya wajah kelompok FPI, HTI dan kelompok Amin Rais, Said Didu dan kawan-kawan yang diliputi dendam kesumat. Mereka kini seakan berada dalam satu barisan yang getol menebar narasi dan framing yang melampaui akal sehat, bahkan kekanak-kanakan.