Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi vs PDIP

22 Desember 2024   14:24 Diperbarui: 8 Januari 2025   00:34 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di media massa dan media sosial bertebaran framing dan narasi bernada serangan terhadap mantan presiden Jokowi yang tampaknya ditebar oleh kalangan PDIP, karena nada dan iramanya tidak jauh berbeda dari yang biasa dinarasikan oleh para petinggi partai tersebut. Framing dan serangan semakin ramai oleh beragam aksi dan narasi beberapa tokoh dan kelompok-kelompok yang memang dikenal sebagai “musuh” Jokowi selama menjabat presiden RI.

Akumulasi dendam dan antipati yang tak pernah terbalas dari tokoh dan kelompok anti-Jokowi, ditambah dukungan partai besar membuat framing lumayan bergema meski tidak berpengaruh signifikan. Di  berbagai tempat dan kesempatan, Jokowi masih tetap seperti Jokowi sebelumnya, yang dielu-elukan banyak warga masyarakat dan nyaris tanpa ada yang berubah.

Fenomena ini menarik untuk dicermati, mengingat mantan presiden RI ke-7 tersebut seharusnya menjadi aset dan icon kebanggaan PDIP, tetapi faktanya saat ini justeru dianggap sebagai anak durhaka dan harus dihancurkan. PDIP bahkan tanpa segan “berkoalisi” dengan tokoh dan kelompok yang selama ini anti-Jokowi dan PDIP.

Sukses Yang Tak Diharapkan

Politik memang tidak mudah ditebak arahnya, tetapi serangan PDIP terasa aneh mengingat Jokowi seharusnya menjadi legacy terbaik partai ini. Kesuksesan PDIP mengantarkan Jokowi menjadi pemimpin politik mulai dari wali kota, gubernur hingga presiden dua periode seharusnya dicatat sebagai kisah sukses partai dalam melahirkan pemimpin berkualitas, tapi rupanya tidak demikian bagi PDIP.

Jokowi yang sebelumnya identik dengan PDIP justeru berusaha dihapus jejaknya dari partai. Jangankan menjadi icon partai, potensi politik Jokowi dan keluarganya yang begitu potensial memenangkan kompetisi politik tidak dipandang sebagai aset penting partai yang perlu dijaga dan dipertahankan.

Ini terjadi karena karier cemerlang Jokowi pada dasarnya hanyalah sebuah “kecelakaan politik” bagi pimpinan PDIP. Tradisi politik PDIP dan sebagian parpol di negeri ini tidak ubahnya sebuah “kerajaan politik” berbasis tokoh atau keluarga. Banyak parpol hanyalah alat politik, bukan wadah gagasan politik.

Singkat kata, Parpol adalah kendaraan politik para “raja partai” yang diharapkan berfungsi mengantarkan para raja atau keluarganya menjadi presiden. Tidak mengherankan bila setiap ketua partai hampir selalu identik dengan kandidat presiden, wakil presiden atau minimal menteri, yang peluangnya bergantung besar-kecilnya partai dan bergainingnya dengan partai-partai lain.

Popularitas orang-orang seperti Jokowi pada dasarnya merusak tradisi politik tersebut, yang membuyarkan ambisi petinggi partai untuk berebut kursi kepresidenan. Itu sebabnya wacana mengembalikan pilkada ke tangan DPRD bahkan pilpres oleh DPR selalu jadi ambisi tersembunyi para pemimpin partai. Pemilihan langsung membunuh peluang para pimpinan partai, karena jabatan politik di partai tidak menjamin elektabilitas. 

Di tengah semakin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, tidak semua pemimpin partai memiliki elektabilitas yang menunjukkan keterpercayaan tinggi dari masyarakat, termasuk pimpinan PDIP. Dalam dua gelaran pilpres 2014 dan  2019, hanya Prabowo, ketua partai yang memiliki elektabilitas yang sepadan untuk berhadapan dengan Jokowi.

Meski berangkat dari PDIP, lesuksesan Jokowi menjadi pemimpin nasional bukanlah keberhasilan yang benar-benar diharapkan oleh pimpinan PDIP. Lamban dan berbelitnya Megawati memberi dukungan politik bagi Jokowi saat maju menjadi calon gubernur dan calon presiden memperlihatkan bahwa sebenarnya PDIP tidak terlalu mengapresiasi kinerja dan popularitas politik Jokowi.

Belakangan baru terkuak, bahwa pencalonan Jokowi sebagai gubernur yang membuat peluangnya menjadi presiden semakin besar justeru datang dari Prabowo, yang di kemudian hari menjadi lawan terberatnya. Dukungan Prabowo membuat PDIP tidak punya pilihan lain selain mendukungnya maju menjadi calon gubernur dan tanpa diduga membuka jalan bagi Jokowi bersaing memperebutkan kursi presiden RI.

Dukungan partai hanyalah pembukan jalan, tetapi keberhasilan calon presiden dan kepala daerah ditentukan oleh elektabilitasnya sendiri. Modal sukses Jokowi justeru terletak pada portofolio kesuksesannya memimpin daerah dan negara. Hal ini terbukti dari fakta bahwa selain sukses meraup suara besar dalam pilkada Solo kedua, Jokowi bahkan dua kali mampu mengalahkan Prabowo dalam pilpres. Beruntung Prabowo tidak kekanak-kanakan dan mengambil langkah politik yang jauh lebih bijaksana dengan bergabung bersama Jokowi, yang kemudian membuka jalan mulus untuk menjadi presiden RI ke 8.

Otokrasi Partai

Prestasi gemilang sebagai presiden dua periode seharusnya menempatkan Jokowi sebagai partner strategis dalam menentukan jalan politik partai, tapi tidak demikian dengan PDIP. Menjadi presiden dua periode dengan tingkat kepusasan tertinggi sepanjang sejarah tidak mengubah status dan kedudukan Jokowi di internal partainya. Jangankan diangkat sebagai tokoh terhormat, pimpinan PDIP masih saja memandang Jokowi sebagai bawahan. Bahkan saat tepilih menjadi presiden mereka secara angkuh menyebut Jokowi sebagai petugas partai. 

PDIP tidak melihat Jokowi sebagai legacy atau tokoh partai yang layak mendapat kursi kehormatan di dalam partai. Hak prerogatif yang mengokohkan otokrasi internal partai membuat Jokowi hanya dipandang sebagai “karyawan” partai, yang harusnya taat titah pimpinan partai apapun adanya, meski karier dan pencapaian Jokowi jauh melampaui pimpinan partai.

Padahal di saat yang sama jaringan politik Jokowi sudah jauh melampaui partainya. Sebagai presiden, Jokowi terbukti mampu mengendalikan banyak partai politik besar maupun kecil, sehingga punya banyak pilihan partai bila dikehendaki dan menentukan arah politik nasional menurut pandangannya sendiri. 

Sebagai presiden dua periode dengan berbagai visi, legacy dan pencapaian, Jokowi tentu memiliki pandangan dan kepentingan sendiri mengenai masa depan kepemimpinan nasional, yang setidaknya selaras untuk melanjutkan visi dan legacy-nya. Upaya Jokowi menyandingkan Prabowo dan Ganjar Pranowo yang nota bene menjadi anak emas PDIP merupakan pilihan strategis dalam mewujudkan visinya, sekalipun memberi ruang bagi partainya.

Masalahnya, pimpinan PDIP  menyambut dingin tawaran tersebut, bahkan sangat boleh jadi dipandang sebagai sikap politik tidak tahu diri, karena Jokowi hanyalah petugas partai yang tidak berhak memutuskan jalan politik partai. Atas dasar hak prerigatif pimpinan sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengatur siapa pasangan capres-cawapres yang diusung partai menjadikan tawaran Jokowi justeru dipandang sebagai pembangkangan. 

Jokowi dan segala potensi yang dimiliki bukan dipandang sebagai aset, bahkan sekedar partner, tetapi justeru ditempatkan sebagai pesaing dalam menentukan jalan politik partai. Itu sebabnya menjelang pilpres 2024 sang pemilik partai justeru mendoktrinkan “tegak lurus” pada ketua umum sebagai antitesa atas sikap politik Jokowi, yang mengawali perpecahan dan perbedaan pilihan politik internal PDIP. Sebagian pihak mendukung pilihan Jokowi dan sebagian lagi memilih "tegak lurus" dengan pilihan ketua umum.  

Gejala perpecahan ini semakin terlihat ketika Gibran, putra Jokowi, mulai dilirik Prabowo untuk mendampinginya menjadi wakil presiden. Sadar akan besarnya pengaruh Jokowi menjadikan tokoh-tokoh PDIP mulai gerah dan menyerang Jokowi dan Gibran dengan isu politik dinasti dan berbagai ekspresi kemarahan PDIP terhadap Jokowi. Padahal menjadikan Gibran sebagai pilihan merupakan alternatif yang tak terbayangkan sebelumnya, bahkan oleh Prabowo sendiri. 

Disandingkannya Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo melahirkan pertarungan politik yang mempertaruhkan reputasi PDIP berhadapa dengan "partai perorangan" Jokowi. Gelaran pilpres dan pilkada 2024 menjadi ajang pembuktian pernyataan pimpinan PDIP bahwa Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDIP. Hasil fantastis pilpres 2024 pada akhirnya dimenangkan oleh klaim tak terucap, bahwa ternyata PDIP tidak ada apa-apanya tanpa Jokowi.

Kekalahan PDIP dalam gelaran pipres dan pilkada 2024 bukan terjadi karena miskin kader berkualitas, melainkan oleh otokrasi internal partai yang menutup kemungkinan partai mengambil keputusan strategis. Hak prerogatif menjadikan keputusan partai terlalu subyektif dan berpretensi menafikan kader-kader berkualitas dan bukan memanfaatkan mereka sebagai aset dan kekuatan partai.  

Memimpin partai terlalu lama sejak partai berdiri 30 tahun lalu membuat keakuan pimpinan PDIP membumbung terlalu tinggi. Sang pimpinan bahkan tidak mampu mendengar suara kader terbaiknya. Keakuan itulah yang pada akhirnya menjadi blunder yang membuat partainya menjadi pecundang dalam gelaran pilpres dan pilkada 2024, karena Jokowi benar-benar King maker, bahkan membukakan jalan bagi puteranya sendiri, Gibran memenangkan pilpres dengan skor fantastis, masih ditambah bonus kesuksesan Bobby Nasution, sang menantu, memenangkan pilkada Sumatera Utara.  

Menghapus Jokowi Effect

Kekalahan memalukan dalam gelaran pilpres 2024 yang menempatkan capres PDIP berada di posisi buncit merupakan tamparan menyakitkan dan membuktikan bahwa Jokowi lebih berpengaruh dibanding partai dan pimpinannya. Data statistik bahkan memperlihatkan bahwa suara sebagian pemilih PDIP lebih mengikuti pilihan Jokowi dibanding partainya.  

PDIP semakin babak-belur oleh kekalahan calon kepala daerah yang diusung PDIP di berbagai daerah. Bahkan berkat dukungan Jokowi, calon kepala daerah yang semula terlihat lemah begitu mudah menjungkalkan calon dari PDIP di kandang sendiri, Jawa Tengah. Kekuatan politik Jokowi terbukti jauh melampaui PDIP dan membuatnya mampu menentukan arah politik nasional, yang seandainya tetap di kubu PDIP, hasil pilpres dan pilkada 2024 pasti berbeda cerita.

Kalahnya partai terbesar di Indonesia malawan “partai perorangan” sulit diterima oleh pimpinan partai. Kesalahan cara pandang pimpinan PDIP berbuah kegagalan menyakitkan yang belum tentu dapat ditebus lima tahun ke depan, tetapi tidak membuat pimpinan PDIP mawas diri. Pimpinan partai justeru murka dan menimpakan kesalahan politiknya pada kader terbaik yang tidak didengar suaranya dan membuktikan bahwa Pimpinan PDIP bahkan masih mengatakan Jokowi tidak ada apa-apanya tanpa PDIP, padahal pilpres dan pilkada 2024 membuktikan sebaliknya.

Bukan berlapang dada menerima kekalahan, sebagian tokoh, pimpinan dan influencer PDIP, bersama “musuh-musuh” Jokowi terus membangun framing dan narasi menyerang Jokowi dan keluarganya. Puncaknya, secara emosional pimpinan partai secara spihak memecat Jokowi dan keluarganya dari partai, beserta tokoh-tokoh partai yang sepaham dengan Jokowi.

Dendam kesumat pimpinan PDIP tampaknya tidak main-main, sampai-sampai kehilangan rasionalitasnya, hingga memecat Jokowi, keluarga dan tokoh-tokoh yang sepaham dengannya dari partai. Bukan sekedar mengeluarkan dari partai, mereka juga berusaha keras menghukum Jokowi dan keluarganya dengan segala cara.

Mereka berusaha mencari-cari kesalahan dari berbagai kebijakan Jokowi pada masa memimpin negara, padahal sebelumnya PDIP ada di dalamnya. Bukan hanya framing isu-isu besar, mereka juga mengusik kembali isu-isu receh semisal tuduhan ijasah palsu hingga sebutan Mulyono yang bernuansa merendahkan.

Mereka berupaya mendegradasi dan menjatuhkan nama besar Jokowi dengan segala cara.  Kekhawatiran akan pengaruh Jokowi sebenarnya sudah muncul sejak pencalonan Gibran yang mendorong beredarnya framing dan narasi tentang politik dinasti. Amarah PDIP makin menjadi-jadi setelah Gibran benar-benar memenangkan pilpres bersama Prabowo dan didukung “musuh-musuh” Jokowi membangun framing dan gerakan agar Gibran tidak jadi dilantik bersama Prabowo, tapi semua gagal total.

Wajah PDIP saat ini tidak ubahnya wajah kelompok FPI, HTI dan kelompok Amin Rais, Said Didu dan kawan-kawan yang diliputi dendam kesumat. Mereka kini seakan berada dalam satu barisan yang getol menebar narasi dan framing yang melampaui akal sehat, bahkan kekanak-kanakan.  

Suara politisi PDIP senada seirama dengan kelompok-kelompok yang selalu bikin gaduh selama kepemimpinan Jokowi. Mereka berusaha menjatuhkan reputasi Jokowi dan keluarganya dengan beragam framing dan isu yang tidak berdasar, demi meruntuhkan nama besar, menegasikan semua legacy Jokowi dan mengubahnya menjadi kisah yang penuh kehinaan. Semua pencapaian Jokowi selama menjadi presiden kini diframing dan dinarasikan sebagai dosa yang harus dibayar mahal.

Dendam kesumat oleh berbagai kekalahan besar dan menyakitkan membuat mereka gelap mata. Mereka berupaya menghukum Jokowi dengan segala cara meski dengan menjungkirbalikkan fakta. Selain sebagai balas dendam politik, berbagai serangan PDIP dan “koalisi semu” yang menyertainya ditujukan untuk menghapus jejak Jokowi (Jokowi Effect) dan bila perlu menghukum Jokowi dengan semua cara yang mereka bisa.

Penutup

Jokowi memang cerita sukses PDIP, tetapi itu bukan sukses yang diharapkan. Meski mengantarkan menjadi presiden, PDIP tidak memandang Jokowi sebagai aset atau tokoh partai melainkan tetap menempatkannya sebagai petugas atau alat partai yang seharusnya bersedia diperalat.

Kegagalan memperalat Jokowi dan berbuah kekalahan memalukan melahirkan dendam dan serangan politik kekanak-kanakan dengan membabi-buta berupaya menghapus jejak sukses Jokowi dan menjungkirbalikkannya menjadi kisah sebaliknya. Jokowi memang memenuhi harapan mayoritas rakyat Indonesia, terbukti dari kepuasan rakyat di akhir masa jabatannya yang mencapai angka 70-80%, sementara pihak yang paling merasa dikecewakan justeru partainya sendiri, PDIP.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun