Setelah memicu kontroversi di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ide untuk mengembalikan Pilkada langsung menjadi Pilkada Tidak Langsung kembali menggema. Kali ini upaya perubahan tersebut bukan hanya disuarakan anggota DPR atau pejabat setingkat menteri, melainkan dinyatakan langsung oleh Presiden Prabowo.
Alasan yang dikemukakan juga tidak jauh beda dari wacana yang berkembang sepuluh tahun lalu, yaitu efisiensi keuangan dan mahalnya biaya politik calon kepala daerah. Sepertinya belum banyak pihak memberikan respon atas wacana tersebut. Padahal harga yang harus dibayar bila hal tersebut benar-benar dilaksanakan tidak main-main, yakni kemunduran demokrasi, yang selama berpuluh tahun susah payah dibangun dan ditegakkan di negeri ini.
Penguatan Oligarki Partai
Bukan rahasia lagi, bahwa Pilkada Tidak Langsung, dalam arti calon kepala daerah dipilih DPRD pada dasarnya merupakan mimpi besar para politisi partai, yang kehilangan kesempatan mencalonkan diri menjadi kepala daerah akibat kalah populer dibanding tokoh-tokoh di luar partai. Bila tidak memicu terlalu banyak polemik, sangat boleh jadi sebenarnya mereka juga menghendaki Pemilihan Presiden (Pilpres) secara tidak langsung pula, yang selama sepuluh tahun didominasi Jokowi, yang nota bene bukan "pemilik partai politik".
Para politisi partai rupanya tak pernah menyerah berupaya kembali mengkooptasi panggung politik nasional dengan menyuguhkan demokrasi yang formalistik yang mudah dikendalikan oleh partai politik. Mereka berharap demokrasi tetap ada secara prosedural tetapi dengan mengebiri nilai dan makna. Hal ini dikarenakan pemilihan langsung telah mengecewakan para petinggi dan "pemilik" partai, mengingat pilkada langsung telah banyak mempromosikan tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak terlibat langsung dalam partai politik atau setidaknya bukan ketua partai, tetapi mempecundangi pemimpin bahkan "pemilik partai" baik di tingkat lokal maupun nasional..
Pilkada Tidak Langsung memungkinkan segala keputusan politik kembali ke tangan elit terutama “pemilik partai politik". Pilkada Tidak Langsung hanya menempatkan rakyat pemilih berperan sebagai penggembira, “stempel” formalistik bagi otoritas politik, yaitu partai politik yang pada hakekatnya melainkan mewakili kepentingan "pemilik partai" dan sama sekali tidak mewakili rakyat.
Pilkada Tidak Langsung mengubah Demokrasi yang pada mulanya berlangsung terbuka menjadi tertutup, mengembalikan kekuasaan negeri ini kepada mereka yang menduduki jabatan politik, sebagai anggota DPRD dan ketua partai. Padahal hingga detik ini belum ada partai politik yang benar-benar terpercaya integritasnya di mata rakyat. Seluruh partai politik masih rawan jatuh dalam berbagai kasus penyelewengan dan penyimpangan, baik dalam bentuk korupsi, kolusi hingga nepotisme.
Partai politik di negeri ini tidak mewakili entitas manapun, karena tidak ada parpol yang mengusung platform perjuangan politik yang jelas. Tidak ada partai yang memiliki kejelasan paradigma perjuangan politiknya, semisal bercorak sosialis, liberal atau yang lainnya, sehingga tidak jelas keberpihakannya. Partai politik praktis hanya mewakili kepentingan "pemilik partai" dan para "penumpang" yang menjadi aktivisnya.
Boleh dibilang, hampir seluruh parpol mengusung platform politik yang sama, yaitu pragmatisme politik yang semata berorientasi pada bagaimana meraih kekuasaan, bagi-bagi jabatan dan tentu saja cuan. Kalaupun ada platform tertentu yang diusung, semisal partai berbasis agama, platform tersebut tidak lebih sebagai “alat politik” saja, guna memanipulasi sentimen sosial, sementara urgensinya bagi corak atau paradigma pengelolaan negara dan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi sama sekali tidak ada perbedaan satu sama lain.
Bahkan hampir semua partai lebih merepresentasikan ambisi dan kepentingan elit-elit tertentu, karena eksistensi partai pada dasarnya merupakan kendaraan politik yang mewadahi ambisi dan kepentingan keluarga atau tokoh yang memegang “remote control” sebuah parpol dari belakang. Partai politik tidak ubahnya sebuah "kerajaan politik" yang bukan dibangun atas dasar keberpihakan pada konsep dan paradigma politik tertentu melainkan sebuah layaknya kerajaan kecil atau bahkan "genk kelompok kepentingan" yang dapat diwariskan secara turun-temurun. Dinasti politik yang akhir-akhir ini didengungkan oleh politisi partai pada dasarnya justeru tumbuh subur di lingkungan parpol sendiri.
Politisi partai tidak ubahnya karyawan atau prajurit yang tugas utamanya membesarkan suara partai dan tunduk patuh pada apapun titah “pemilik partai”. Mereka tidak perlu memiliki suara politiknya sendiri, apalagi kebanyakan aktivisnya merupakan para pengangguran di daerah yang tidak jelas kompetensi dan pekerjaannya. Mereka hanyalah orang-orang mencari jalan pintas untuk makmur dan terhormat melalui perjudian dalam pemilu. Parameter sejalan tidaknya seorang politisi dengan partai bukan diukur berdasarkan paradigma berfikirnya melainkan sesuai-tidaknya sikap, pandangan dan tindakan mereka dengan kepentingan dan kehendak pribadi “pemilik partai”
Menerapkan Pilkada Tidak Langsung sama artinya dengan merampok keputusan rakyat dan menyerahkannya pada “pemilik partai”, karena sudah pasti tidak ada calon kepala daerah yang dapat maju mencalonkan diri kecuali atas restu dan kesiapan untuk patuh pada kehendak oligarki partai. Dalam situasi seperti ini, rakyat hanya akan menjadi penonton yang diliputi perasaan kesal melihat banyak kebijakan yang sudah pasti lebih mengutamakan kepentingan “pemilik partai” dibanding rakyat banyak.
Dominasi dan hegemoni parpol juga akan membuat kepala daerah akan bekerja lebih ringan mengingat mereka tidak memiliki beban moral apapun di harapan rakyat. Tidak adanya gegap-gempita dukung-mendukung, tolak-menolak atau antipati terhadap calon tertentu, membuat kontrol sosial semakin melemah. Tanggung jawab dan beban politik kepala daerah hanya memuaskan anggota DPRD bukan rakyat yang tidak pernah mendukung dan memilihnya.
Melihat track record kinerja DPRD selama ini, mengharapkan kontrol DPRD terhadap kepala daerah secara memadai merupakan harapan yang jauh panggang dari api. Mereka bukan siapa-siapa selain karyawan partai, yang kemahiran terbaiknya adalah “politik dagang sapi”. Sejarah demikian baru saja terjadi dan pernah dievaluasi beberapa tahun silam, tapi entah mengapa kekonyolan serupa harus terulang kembali.
Menutup Saluran Aspirasi dan Potensi
Sekalipun dengan biaya yang tidak kecil, Pilkada Langsung telah melahirkan banyak pemimpin berkualitas. Seperti sebuah sekolah di kampus unggulan yang berbiaya mahal, Pilkada Langsung telah terbukti sukses sebagai wahana seleksi terhadap bibit-bibit kepemimpinan daerah bahkan nasional.
Pilkada langsung juga menjamin keadilan atas dasar kesamaan peluang politik bagi setiap warga negara dan terbukti telah melahirkan banyak tokoh politik lokal dan nasional yang integritas dan kompetensinya jauh lebih terpercaya dibanding politisi partai. Pilkada langsung telah membuat Indonesia diramaikan dengan kejutan-kejutan indah oleh munculnya tokoh-tokoh alternatif semisal Jokowi, Tuan Guru Bajang, Ridwan Kamil. Gibran, Tri Risma Harini dan sebagainya, yang mampu mewarnai dan memberi alternatif tentang bagaimana mengelola negara yang baik.
Banyak warga masyarakat yang sebelumnya bukan siapa-siapa, juga bukan aktivis ataupun pengurus partai tiba-tiba berkesempatan memimpin dan melakukan perubahan secara signifikan. Bahkan dalam Pilkada terakhir ada mantan kepala desa yang setelah sukses memimpin desanya mampu mengalahkan bupati petahana. Peluang semacam ini akan semakin langka dijumpai bahkan sangat boleh jadi akan hilang sama sekali bila Pilkada diselenggarakan secara tidak langsung.
Pilkada tidak langsung akan membuat Pilkada berada di tangan segelintir orang partai yang kebanyakan tidak memiliki kompetensi, integritas dan kepercayaan publik secara memadai. Hal ini terbukti dari banyaknya pemimpin dan “pemilik partai” kalah populer dibanding calon kepala daerah yang diusung dalam pilkada bahkan pilpres. Ini biasa terjadi akibat para calon kepala daerah memiliki kompetensi dan pengalaman konkrit dari lapangan yang jauh lebih baik dibanding para aktivis partai yang kebanyakan hanya mampu bersuara nyaring tapi nyaris tak pernah berbuat apa-apa.
Bibit-bibit pemimpin terbaik daerah mungkin saja diusulkan oleh para pengurus partai dalam Pilkada Tidak Langsung, tapi dapat dipastikan kemungkinan itu sangat kecil dan hampir-hampir tertutup. Hal ini dikarenakan pemilihan oleh DPR membuat calon kepala daerah tidak harus seseorang yang dipercaya integritas dan kemampuannya dalam bekerja. Calon kepala daerah terbaik dalam Pilkada Tidak Langsung bukan terletak di tangan rakyat tetapi di tangan para pengurus dan "pemilik partai".
Pilkada Tidak Langsung hanya akan mengembalikan “reputasi” ketua partai yang hilang selama Pilkada Langsung. Para ketua atau “pemilik partai” akan menjadi tokoh yang paling berpeluang maju meski tidak memiliki kompetensi dan kepercayaan publik memadai. Jumlah pemilih yang hanya terdiri dari segelintir anggota DPRD menjadikan kemampuan lobi dan “dagang sapi” sudah cukup untuk menjadi modal memenangkan pilkada.
Dalam politik semacam ini, masyarakat tidak dapat terlalu berharap perubahan dan perbaikan kehidupan sosial, mengingat nasib kepala daerah ditentukan oleh kawan-kawannya calon kepala daera di DPRD, bukan oleh rakyat. Kepuasan rakyat yang biasa menjadi modal mencalonkan kembali tidak dibutuhkan lagi, sebab yang terpenting bagi kepala daerah adalah kemampuan “mengkondisikan" DPRD dan menyelesaikan segala persoalan politik "secara adat”.
Penutup
Pilkada Tidak Langsung merepresentasikan ambisi elit politik partai untuk kembali mendominasi panggung politik nasional, dengan mengebiri demokrasi. Perkembangan demokrasi di Indonesia yang sedemikian maju dan membuahkan banyak perubahan dan kemajuan akhir-akhir ini tidak menyurutkan hasrat mereka untuk menarik kembali ke titik nol. Tokoh-tokoh partai yang memiliki posisi kuat selalu berusaha membungkam demokrasi dengan dalil-dalil usang yang sudah lama ditinggalkan. Setelah lebih dari dua dasa warsa, sepertinya tidak berarti demokrasi di negeri ini sudah mencapai titik kematangan, terbukti selalu ada pihak-pihak yang berambisi menghidupkan otokrasi dengan mendistorsi demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H