Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Tak Langsung Mengebiri Demokrasi

16 Desember 2024   07:46 Diperbarui: 16 Desember 2024   09:56 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah memicu kontroversi di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ide untuk mengembalikan Pilkada langsung menjadi Pilkada Tidak Langsung kembali menggema. Kali ini upaya perubahan tersebut bukan hanya disuarakan anggota DPR atau pejabat setingkat menteri, melainkan dinyatakan langsung oleh Presiden Prabowo.

Alasan yang dikemukakan juga tidak jauh beda dari wacana yang berkembang sepuluh tahun lalu, yaitu efisiensi keuangan dan mahalnya biaya politik calon kepala daerah. Sepertinya belum banyak pihak memberikan respon atas wacana tersebut. Padahal harga yang harus dibayar bila hal tersebut benar-benar dilaksanakan tidak main-main, yakni kemunduran demokrasi, yang selama berpuluh tahun susah payah dibangun dan ditegakkan di negeri ini.  

Penguatan Oligarki Partai

Bukan rahasia lagi, bahwa Pilkada Tidak Langsung, dalam arti calon kepala daerah dipilih DPRD pada dasarnya merupakan mimpi besar para politisi partai, yang kehilangan kesempatan mencalonkan diri menjadi kepala daerah akibat kalah populer dibanding tokoh-tokoh di luar partai. Bila tidak memicu terlalu banyak polemik, sangat boleh jadi sebenarnya mereka juga menghendaki Pemilihan Presiden (Pilpres) secara tidak langsung pula, yang selama sepuluh tahun didominasi Jokowi, yang nota bene bukan "pemilik partai politik".  

Para politisi partai rupanya tak pernah menyerah berupaya kembali mengkooptasi panggung politik nasional dengan menyuguhkan demokrasi yang formalistik yang mudah dikendalikan oleh partai politik. Mereka berharap demokrasi tetap ada secara prosedural tetapi dengan mengebiri nilai dan makna. Hal ini dikarenakan pemilihan langsung telah mengecewakan para petinggi dan "pemilik" partai, mengingat pilkada langsung telah banyak mempromosikan tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak terlibat langsung dalam partai politik atau setidaknya bukan ketua partai, tetapi mempecundangi pemimpin bahkan "pemilik partai" baik di tingkat lokal maupun nasional..

Pilkada Tidak Langsung memungkinkan segala keputusan politik kembali ke tangan elit terutama “pemilik partai politik". Pilkada Tidak Langsung hanya menempatkan rakyat pemilih berperan sebagai penggembira, “stempel” formalistik bagi otoritas politik, yaitu partai politik yang pada hakekatnya melainkan mewakili kepentingan "pemilik partai" dan sama sekali tidak mewakili rakyat.

Pilkada Tidak Langsung mengubah Demokrasi yang pada mulanya berlangsung terbuka menjadi tertutup, mengembalikan kekuasaan negeri ini kepada mereka yang menduduki jabatan politik, sebagai anggota DPRD dan ketua partai. Padahal hingga detik ini belum ada partai politik yang benar-benar terpercaya integritasnya di mata rakyat. Seluruh partai politik masih rawan jatuh dalam berbagai kasus penyelewengan dan penyimpangan, baik dalam bentuk korupsi, kolusi hingga nepotisme. 

Partai politik di negeri ini tidak mewakili entitas manapun, karena tidak ada parpol yang mengusung platform perjuangan politik yang jelas. Tidak ada partai yang memiliki kejelasan paradigma perjuangan politiknya, semisal bercorak sosialis, liberal atau yang lainnya, sehingga tidak jelas keberpihakannya. Partai politik praktis hanya mewakili kepentingan "pemilik partai" dan para "penumpang" yang menjadi aktivisnya.

Boleh dibilang, hampir seluruh parpol mengusung platform politik yang sama, yaitu pragmatisme politik yang semata berorientasi pada bagaimana meraih kekuasaan, bagi-bagi jabatan dan tentu saja cuan. Kalaupun ada platform tertentu yang diusung, semisal partai berbasis agama, platform tersebut tidak lebih sebagai “alat politik” saja, guna memanipulasi sentimen sosial, sementara urgensinya bagi corak atau paradigma pengelolaan negara dan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi sama sekali tidak ada perbedaan satu sama lain.

Bahkan hampir semua partai lebih merepresentasikan ambisi dan kepentingan elit-elit tertentu, karena eksistensi partai pada dasarnya merupakan kendaraan politik yang mewadahi ambisi dan kepentingan keluarga atau tokoh yang memegang “remote control” sebuah parpol dari belakang. Partai politik tidak ubahnya sebuah "kerajaan politik" yang bukan dibangun atas dasar keberpihakan pada konsep dan paradigma politik tertentu melainkan sebuah layaknya kerajaan kecil atau bahkan "genk kelompok kepentingan" yang dapat diwariskan secara turun-temurun. Dinasti politik yang akhir-akhir ini didengungkan oleh politisi partai pada dasarnya justeru tumbuh subur di lingkungan parpol sendiri.    

Politisi partai tidak ubahnya karyawan atau prajurit yang tugas utamanya membesarkan suara partai dan tunduk patuh pada apapun titah “pemilik partai”. Mereka tidak perlu memiliki suara politiknya sendiri, apalagi kebanyakan aktivisnya merupakan para pengangguran di daerah yang tidak jelas kompetensi dan pekerjaannya. Mereka hanyalah orang-orang mencari jalan pintas untuk makmur dan terhormat melalui perjudian dalam pemilu. Parameter sejalan tidaknya seorang politisi dengan partai bukan diukur berdasarkan paradigma berfikirnya melainkan sesuai-tidaknya sikap, pandangan dan tindakan mereka dengan kepentingan dan kehendak pribadi “pemilik partai”  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun