Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa NU Tidak Sekaya Muhammadiyyah?

17 Juni 2024   21:23 Diperbarui: 18 Juni 2024   00:53 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dari Muhammadiyyah yang secara gradual memang membangun, melakukan ekspansi dalam pengembangan lembaga-lembaga pendidikan dan sosial secara terus-menerus hingga menjangkau daerah-daerah yang sebenarnya minim pengikut Muhammadiyyah, NU berdiri hanya dengan mewadahi berbagai lembaga pendidikan dan sosial keagamaan yang sudah ada. Kalaupun ada yang membangun lembaga baru di daerah tertentu, pada umumnya terjadi atas inisiatif warga NU sendiri, tanpa dukungan memadai dari NU sebagai organisasi. 

Itu sebabnya nerbagai lembaga pendidikan dan sosial keagamaan di lingkungan NU berdiri dan berkembang secara independen baik atas nama individu, keluarga maupun milik kolektif sekelompok masyarakat. Berkembang tidaknya sebuah lembaga-lembaga tersebut sepenuhnya bergantung pada prakarsa dan upaya para "pemiliknya" masing-masing, tanpa menunggu kontribusi NU sebagai organisasi. 

Hal ini menjadikan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU tak ubahnya kumpulan "kerajaan-kerajaan kecil" yang otonom. Para "pemilik" lembaga yang mendapat animo apalagi pengakuan besar dari masyarakat potensial menjadi tokoh masyarakat dan memiliki pengaruh luas.  Semakin besar lembaga pendidikan dan sosial berhasil dibangun, semakin besar pula dampaknya bagi status sosial dan keagamaan pemimpinnya.  

Selain ditentukan oleh besar-kecilnya animo masyarakat, nilai sebuah lembaga pendidikan juga ditentukan oleh ketokohan dan kontribusinya dalam sejarah, yang potensial mempromosikan pemimpinnya masuk dalam jajarah tokoh NU yang dihormati. Itu sebabnya tokoh-tokoh NU pada umumnya lahir dari pesantren-pesantren yang terkategori bersejarah. Lembaga-lembaga pendidikan terutama pesantren tua dan dituakan cenderung mendapatkan priovillage dan pengaruh lebih besar dibanding lembaga kecil apalagi yang baru rintisan.

Bagi para "pemilik" sekolah, madrasah,  pesantren dan berbagai lembaga sosial ekonomi di kalangan nahdliyyin, NU dibutuhkan sebagai tempat berafiliasi atas dasar kesamaan tradisi dan manhaj keagamaan.  Masyarakat NU berjuang sendiri membangun lembaganya tanpa peran serta NU baik secara managerial apalagi finansial, apalagi keberadaan lembaga pendidikan dan sosial cenderung berbuah prestige tersendiri bagi pemiliknya. Itu sebabnya banyak kaum nahdliyyin suka rela mencurahkan tenaga, pikiran dan hartanya demi membangun lembaga pendidikan yang berafiliasi pada NU

Hampir tidak mungkin mengharapkan sokongan dana atau bahkan sekedar dukungan managerial dari NU. Hal ini karena sebagian besar petinggi NU adalah pemilik, pemimpin atau tokoh dari suatu lembaga pendidikan, khususnya pesantren, yang masing-masing membutuhkan penanganan dan biaya untuk membuatnya makin berkembang.  Tidak mengherankan bila antar lembaga pendidikan dan sosial di lingkungan NU kadang saling menjadi pesaing, yang mana hal yang sama sulit dijumpai di lingkungan Muhammadiyyah.

NU secara organisasi tidak banyak memiliki daya untuk melakukan intervensi dalam pengelolaan lembaga pendidikan dan sosial yang dikelola oleh tokoh-tokoh nahdliyyin. Kalaupun ada kebijakan atau gerakan baru di bidang pendidikan dan sosial, pada umumnya hanya bersifat motivatif, himbauan atau pendampingan, bukan dalam kapasitas managerial yang benar-benar mengikat.

Hal ini menjadikan managemen NU sebagai organisasi tidak cukup efektif dalam mengatur apalagi memperbaiki  pengelolaan apalagi mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan dan sosial yang berada di bawah naungannya. Apalagi setiap lembaga pendidikan dan sosial yang bernaung atau berafiliasi di bawah NU memiliki visi, misi, pendekatan dan coraknya sendiri sesuai visi dan misi pemiliknya. Peran menonjol NU hanya terletak pada upaya memastikan apakah prinsip-prinsip pendidikan keagamaan yang diusung oleh lembaga-lembaga tersebut tidak keluar dari tradisi dan manhaj NU.

Dari sini dapat diperoleh jawaban mengapa secara organisasi NU tidak memiliki aset apalagi dana sebesar Muhammadiyyah, yaitu karena NU bukanlah organisasi yang secara efektif merancang, membangun apalagi mengelola berbagai lembaga pendidikan, sosial  dan ekonomi yang dikelola oleh anggota-anggotanya. Boleh dibilang NU sebagai organisasi sebenarnya tidak punya apa-apa, selain jama'ah yang tumbuh dan berkembang secara mandiri. NU dan badan-badan otonomnya, khususnya di daerah-daerah, bahkan sering kali dihadapkan pada problem pendanaan sekedar untuk menjalankan roda organisasi.

Pengikut yang banyak dengan sistem organisasi yang lebih menyerupai asosiasi yang cenderung longgar dan terbuka tidak jarang menimbulkan perbedaan internal nahdliyyin, antara sikap dan keputusan para petinggi, kalangan menengah dan bawah. Sikap dan keputusan pimpinan tidak selalu diikuti oleh jajaran yang lebih rendah. NU juga begitu potensial ditumpangi oleh banyak kepentingan. Ormas ini sangat rentan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki pengaruh, dan tentu saja dukungan finansial, untuk menggiring nahdliyyin demi menyokong kepentingan tertentu.  

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun