Polemik nasab Ba'alawi bergulir bagai bola salju yang berkembang semakin liar. Alasan penolakan keshahihan nasab Ba'alawi sebagai keturunan (dzuriyyah) nabi, yang semula didasarkan atas tesis Kyai Imaduddin Usman mendapat banyak dukungan data-data, informasi dan narasi baru yang dengan sendirinya menambah besar alasan penyangkalan.
Ramainya dukung-mendukung menjadikan diskursus nasab yang diwarnai beragam framing, narasi, cacian dan sikap saling merendahkan mengaburkan tema semula, yaitu apakah benar para Habaib Ba'alawi keturunan nabi atau bukan. Untuk membantu memahami persoalan tersebut, artikel ini berupaya memberikan ulasan sederhana tentang alasan masyarakat menolak keshahihan nasab Ba'alawi. Sebagai pengimbang dibahas pula alasan masyarakat menerima keshahihan nasab Ba'alawi yang disajikan dalam artikel berbeda.
Sebenarnya ada banyak alasan penolakan keshahihan nasab Ba'alawi yang berkembang di masyarakat, tetapi berikut ini disajikan ulasan tentang beberapa alasan yang umum berkembang di masyarakat muslim di Indonesia.
1. Tesis Kyai Imaduddin
Kyai Imaduddin Usman Banten adalah orang pertama di Indonesia yang berani terang-terangan menyatakan bahwa kaum Ba'alawi bukan keturunan nabi. Berdasarkan kajian terhadap kitab-kitab klasik dan manuskrip-manuskrip nasab, Kyai Imaduddin menemukan fakta bahwa nasab Ba'alawi baru ditulis oleh Ali Asy-Syakran sekitar abad 9 atau 10 Hijriyah. Dengan kata lain, rangkaian nasab habaib Ba'alawi selama sekitar 500-550 tahun sejak era Ahmad bin Isa al-Muhajir, yang mereka klaim sebagai datuknya, sampai dengan masa penulisan nasab oleh Asy-Syakran, mengandung banyak manipulasi. Ali Asy-Syakran bahkan disebut sebagai sang penipu (al-kadzdzab) karena telah memalsukan nasab klan Ba'alawi yang diyakini hanya berdasarkan hasil rekaannya sendiri. Hal ini terlihat dari banyaknya nama dalam rangkaian nasab tersebut yang tidak terverifikasi oleh catatan dalam kitab nasab ataupun manuskrip sejaman yang dapat dipercaya.
Kyai Imaduddin juga menunjukkan fakta bahwa al-Muhajir tercatat tidak mempunya anak bernama Ubaidillah atau Abdullah. Al-Muhajir yang dalam catatan nasab kaum Ba'alawi diklaim sebagai ayah Ubaidillah bahkan tidak pernah hijrah ke Hadromaut Yaman melainkan di Iraq dan dimakamkan di sana. Karena itu, Ubaidillah yang diklaim sebagai datuk kaum Ba'alawi diyakini hanyalah tokoh fiktif, sebab selain bukan anak al-Muhajir juga tidak ditemukan catatan mengenai bukti keberadaannya dalam kitab-kitab nasab dan manuskrip-manuskrip sejaman yang mu’tabarah (terverifikasi). Selain Ubaidillah, Kyai Imaduddin juga menemukan 14 nama dalam rangkaian nasab Ba'alawi yang diidentifikasi fiktif karena tidak didukung bukti berupa catatan dalam kitab atau manuskrip nasab sejaman yang terpercaya.
Kyai Imaduddin menantang kaum Ba'alawi menunjukkan kitab atau manuskrip sejaman yang mampu memvalidasi nama-nama yang mereka klaim sebagai leluhurnya. Tidak satupun tokoh Ba'alawi yang merespon tantangan itu dengan menunjukkan data-data dari kitab dan manuskrip pendukung yang mampu menyanggah hasil kajian Kyai Imaduddin. Sanggahan berdasarkan validasi data-data nasab oleh kaum Ba'alawi lebih banyak dilakukan oleh para pembelanya, yang dengan segala upaya berupaya mementahkan tesis kyai Imaduddin dengan data-data yang mereka miliki. Hanya saja, minimnya data yang terverifikasi membuat berbagai bukti yang ditunjukkan oleh para pembela Ba'alawi dengan mudah dimentahkan oleh Kyai Imaduddin melalui verifikasi data yang sulit dibantah.
Seperti dinyatakan Said Aqil Siraj, sampai saat ini belum ada satupun habaib Ba'alawi maupun pembelanya yang mampu menjawab tesis penelitian ini melalui kajian serupa yang didukung bukti ilmiah berupa data-data terpercaya. Kaum Ba'alawi dan para pembelanya hanya menjawab tesis kyai Imaduddin melalui narasi dan framing di luar konteks kajian nasab.
Bukannya meladeni adu data dari kitab dan manuskrip, kaum Ba'alawi dan para pendukungnya lebih banyak mengandalkan framing dan narasi-narasi berkenaan dengan keharusan memulyakan dzuriyah nabi dengan disertai berbagai "intimidasi spiritual" bagi masyarakat yang mengingkari keshahihan nasab mereka. Di antara bentuk intimidasi spiritual yang sering digaungkan adalah menyebut para pembatal nasab sebagai iblis, terancam mati dalam keadaan kafir, hingga terancam tidak mendapat syafaat nabi di hari kiamat karena menyakiti keturunannya.
Mereka berupaya mendegradasi kyai Imaduddin dan hasil kajiannya dengan membangun narasi bahwa tesis tersebut sebagai karya yang tidak memenuhi kalayakan untuk dipercaya serta melabelinya dengan predikat negatif, semisalnya menyebutnya sebagai perilaku sesat, bid'ah, produk wahabi, syi'ah, khawarij dan sebagainya, yang bertolak belakang dengan sikap ulama terdahulu. Itu sebabnya, argumen yang paling mereka andalkan adalah apresiasi dan penghormatan beberapa ulama atas klan mereka. Meski apresiasi tokoh dan ulama panutan kalangan muslim tradisionalis, seperti Ibnu Hajar, Imam Nawawi dan Hasyim Asy’ari bukan dalam kapasitas mengitsbat nasab, tetapi apresiasi dan penghormatan mereka terhadap kaum habaib mereka pandang sudah cukup sebagai bukti bahwa nasab mereka diakui.
Gagal menunjukkan data pembanding yang mampu mementahkan kajian nasab kyai Imaduddin, mereka mengandalkan unjuk pengaruh dan dukungan. Kalah dalam pertarungan kekuatan logika, kaum Ba'alawi memilih mengandalkan logika kekuatan, dengan menunjukkan besarnya dukungan masyarakat dan tokoh-tokoh agama terhadap klaim mereka sebagai keturunan nabi. Mereka juga banyak menggalang dukungan tokoh-tokoh penting dari kalangan ulama dan pakar nasab di dalam dan luar negeri untuk meyakinkan bahwa nasab mereka diakui, tanpa perlu menjawab tesis yang membatalkannya.
2. Hasil Tes DNA
Salah satu rekomendasi dari tesis Kyai Imaduddin Usman menyarankan agar dilakukan tes DNA sebagai cara terakhir membuktikan keshahihan nasab Ba'alawi. Tes DNA terbukti mampu menentukan jaringan kekerabatan secara ilmiah, tetapi dengan berbagai dalih tokoh-tokoh Ba'alawi menolak keras. Bahkan Habib Hanif Alatas menutup pintu bagi tes DNA karena menurutnya menguji keshahihan nasab melalui tes DNA hukumnya haram.
Pengharaman tes DNA tentunya tidak relevan mengingat uji DNA sudah terbukti mampu menjadi instrumen pembuktian jaringan kekerabatan secara ilmiah yang hampir mustahil untuk disangkal. Apalagi tes DNA juga sudah diberlakukan dalam pengujian nasab di kawasan Timur Tengah.
Meski menolak tes DNA, tetapi fakta-fakta baru mengungkap bahwa sebenarnya banyak tokoh Ba'alawi yang sudah melakukan tes DNA. DNA mereka umumnya terkonfirmasi ber-haplo group G, yang berarti berdarah Azkenazi dan menjadikan klaim kaum Ba'alawi sebagai keturunan nabi semakin sulit dipercaya. Hal ini dikarenakan haplo group G bukan saja tidak termasuk bani Hasyim, klan nabi saw yang ber-haplo Grup J1, melainkan juga bukan termasuk ras Arab.
3. Catatan Sejarah
Argumen penolakan keshahihan nasab Ba'alawi terus berkembang dengan ditemukannya informasi baru berdasarkan informasi sejarah. Fakta sejarah menunjukkan bahwa polemik nasab kaum Ba'alawi di Indonesia bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Di Timur Tengah, bahkan di Yaman, negeri asal mereka sendiri, nasab mereka sudah menjadi bahan perdebatan. Mufti Yaman menegaskan bahwa kaum Ba'alawi bukan termasuk bani Hasyim, karena nasab mereka merupakan hasil pencangkokan sepihak.
Di daratan Hijaz juga tercatat pernah terjadi peristiwa penangkapan tokoh Ba'alawi karena klaim nasab mereka. Syarif Makkah pernah menghukum orang Ba'alawi karena menggunakan gelar sayyid dan menikahi Syarifah padahal nasabnya tidak terkonfirmasi sebagai keturunan nabi. Meski kasus serupa tidak banyak terjadi, tetapi hal ini sudah cukup menjadi bukti bahwa nasab mereka tidak dianggap shahih di tanah Arab.
Polemik nasab tampaknya mendorong kaum Ba'alawi, yang sebelumnya percaya diri meng-itsbat nasabnya sendiri, beberapa waktu terakhir tampak berupaya mendapatkan pengakuan (itsbat) nasab dari berbagai lembaga internasional. Kecuali di Arab Saudi, beberapa tokoh dan para pendukung kaum Ba'alawi tampak berusaha mendapatkan validasi dari lembaga-lembaga sertifikasi nasab, tokoh-tokoh dan ulama berpengaruh di berbagai negara Timur Tengah. Hal ini terlihat dari berbagai unggahan para pendukung habaib dan beberapa artikel yang berusaha menjawab tesis kyai Imaduddin, yang menunjukkan keberadaan mereka di berbagai tempat dan unggahan tentang respon tokoh-tokoh agama Timur Tengah.
Di antara hasilnya, perwakilan kaum Ba'alawi berhasil bertemu Mahdi Roja’i, ahli nasab dari Iran dan beberapa ulama di kawasan Timur Tengah yang memberikan pandangan positif terhadap nasab kaum Ba'alawi. Meski bukan dalam konteks meng-itsbat nasab, mereka menyampaikan penghargaaannya terhadap kaum Ba'alawi, tetapi belum jelas naqobah atau lembaga sertifikasi nasab mana yang secara resmi memberikan sertifikasi (itsbat) atas nasab kenabian mereka.
4. Kejanggalan Rentang dan Rangkaian Nasab
Di luar ilmu nasab, masyarakat berusaha memverifikasi secara mandiri keshahihan nasab Ba'alawi berdasarkan hasil utak-atik data yang sudah ada, yang mana mereka menemukan kejanggalan dalam hal rentang dan rangkaian nasab kaum Balwi. Dengan logika sederhana Guru Gembul memberikan analisis yang masuk akal tentang kejanggalan nasab kaum Ba'alawi.
Kejanggalan pertama berkenaan dengan klaim para habaib di Indonesia saat ini yang rata-rata mengaku sebagai generasi ke 37-39. Klaim tersebut tidak masuk akal bila dihitung berdasarkan standar umum perhitungan peralihan generasi yang setiap satu abad rata-rata terjadi 4-5 peralihan generasi. Klaim sebagai keturunan nabi kurang masuk akal karena dalam rentang waktu sekitar 1500 tahun, peralihan generasi sejak masa nabi sampai saat ini normalnya sudah mencapai generasi ke 49-53, yang berarti ada sekitar 10 atau 11 generasi yang tidak tercatat.
Hal ini berkaitan erat dengan kejanggalan berikutnya. Bila benar para habaib adalah keturunan nabi ke 37-39 berarti para pendahulunya baru punya anak rata-rata di usia sekitar 60 tahun. Untuk satu atau dua kasus mungkin saja terjadi tetapi mustahil terjadi selama hampir 40 generasi secara turun-temurun. Apalagi masyarakat di masa lalu cenderung menikah dan punya anak di usia yang jauh lebih muda.
Kejanggalan lain terlihat dari pembulatan umur tokoh-tokoh yang dalam rangkaian nasab kaum Ba'alawi yang rata-rata menggunakan angka bulat. Hal ini menurut Guru Gembul menimbulkan kecurigaan atas adanya indikasi bahwa rangkaian nasab mereka tidak disusun berdasarkan data silsilah yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
5. Indikasi Pembelokan Sejarah
Bersamaan dengan polemik nasab, masyarakat menemukan makan-makan kuno yang diubah identitasnya menjadi makam orang bermarga Ba'alawi. Selain itu, ditemukan pula makan-makan kosong yang diidentifikasi dibuat oleh kalangan Ba'alawi. Mengubah identitas makam dan pembuatan makan-makam palsu menimbulkan kecurigaan bahwa kaum Ba'alawi sengaja membangun sejarah kekeramatan bagi golongannya sendiri.
Mereka sudah berhasil mempromosikan beberapa makam habaib di luar Jawa sebagai destinasi ziarah. Bahkan makam kosong mbah Priuk di Jakarta sukses dipopulerkan sebagai makam seorang Habib.
Kaum Ba'alawi tampaknya juga berupaya menulis ulang sejarah Indonesia dengan versi mereka sendiri. Memang tidak menutup kemungkinan di kalangan Ba'alawi ada yang turut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, sebagai mana halnya etnis Tionghoa. Masalahnya, mereka mengklaim berjasa dalam berbagai momentum sejarah tanpa dukungan data yang terpercaya, semisal mengklaim sebagai inisiator pembuatan simbut-simbul negara hingga menentukan hari kemerdekaan.
Tokoh-tokoh Ba'alawi juga mengklaim berperan besar terhadap berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Ini dapat dibaca di situs tarekat yang dipimpin oleh seorang habib terkemuka, termuat dalam buku Cahaya dari Nusantara karangan kaum Ba'alawi serta dinarasikan dalam ceramah beberapa habaib. Bahkan dalam sebuah buku pelajaran ke-NU-an Madrasah Diniyyah Takmiliyah Ulya (MDTU) atau pendidikan khusus keagamaan setingkat SLTA kelas 2 secara misterius muncul nama Habib Hasyim bin Yahya yang dinyatakan sebagai salah satu pendiri NU, padahal NU dan Rabithah Alawiyah dalam sejarahnya berdiri sebagai ormas berbeda. Bahkan dalam sejarah, Rabithah Alawiyyah sejak awal berseberangan dengan al-Irsyad, ormas yang didirikan oleh masyarakat Arab yang sama-sama keturunan Yaman.
Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa kaum Ba'alawi sengaja mencangkokkan diri dalam sejarah nasional dan sejarah NU, yang memungkinkan mereka menikmati privillage dari komunitas yang menjadi inangnya. Kecenderungan ini memiliki pola serupa dengan yang dikemukakan Mufti Yaman, bahwa mereka mencangkokkan diri ke dalam nasab bani Hasyim, hingga mendapat keuntungan dari status kaum bernasab mulia.
6. Doktrin dan Misi Terselubung
Polemik nasab juga membuka fakta-fakta lain berkenaan dengan doktrin-doktrin kaum Ba'alawi yang sulit diterima kalangan muslim. Selain ajaran rasis berupa pengkastaan dalam agama, yang menempatkan kaum Ba'alawi sebagai umat Islam kelas satu di atas warga pribumi, Kyai Nur Ikhsan mengidentifikasi ada 30 ajaran kaum Ba'alawi yang dinilai menyimpang dan perlu diwaspadai.
Di antara doktri yang dipromosikan kaum Ba'alawi adalah karomah para leluhur mereka. Mereka mengklaim Faqih Muqoddam memiliki karomah tinggi dan derajat kewaliannya lebih tinggi dibanding Abdul Qodir al-Jailani. tokoh paling dikeramatkan oleh kaum muslim tradisionalis setelah nabi. Melalui glorifikasi leluhur mereka dengan segala dongeng magisnya, kaum Ba'alawiseakan berupaya menggeser kedudukan Syaikh Abdul Qodir Jailani dan menggantinya dengan tokoh dari kalangan mereka sendiri.
Hal ini memiliki benang merah dengan ceramah-ceramah habaib Ba'alawi yang banyak mengangkat tahayul dan khurofat yang jauh lebih tidak masuk akal dibanding yang ada dalam tradisi muslim lokal. Tradisisi keagamaan muslim tradisionalis yang oleh kalangan Salafi dan Modernis sering dituduh sarat tahayul dan khurofat tidak ada apa-apanya dibanding yang diajarkan oleh kaum Ba'alawi, karena glorifikasi para tokohnya tidak jarang melampaui apa yang mampu dilakukan oleh nabi saw, semisal mi’roj 70 kali dan kemampuan memadamkan api neraka.
Terbukanya polemik nasab sekaligus menimbulkan kecurigaan adanya agenda terselubung kaum Ba'alawi, yang banyak mempromosikan keluhuran klan mereka. Tidak mengherankan bila muncul kecurigaan bahwa mereka berupaya mengubah akar tradisi keagamaan kaum Islam yang sebelumnya disandarkan pada ajaran-ajaran Wali Songo kepada ajaran khas mereka dan klan mereka sebagai titik pusatnya.
Apalagi belakangan kaum Ba'alawi gencar mempromosikan Tarim, daerah asal mereka, sebagai destinasi ziarah baru. Kota Tarim dipromosikan sebagai kota suci berikutnya setelah Makkah, Madinah dan Baitul Maqdis. Banyak travel yang menawarkan paket ziarah ke sana, yang diklaim sebagai kota para wali yang mampu memberikan keberkahan bagi peziarahnya.
7. Akhlak
Sudah lazim terjadi di masyarakat santri yang sering didatangi oleh orang-orang berperawakan Timur Tengah dan mengaku habib. Mereka melakukan dawir, yaitu meminta masyarakat “membeli” suatu barang dengan “mahar” fantastis. Banyak warga masyarakat yang tidak kuasa menolak “eksploitasi” spiritual semacam ini akibat terbelenggu oleh tingginya rasa hormat dan rasa takut kualat karena memandang mereka sebagai kaum keramat.
Kecurigaan yang berujung pada hilangnya kepercayaan atas keshahihan nasab Ba'alawi meledak akibat sikap dan ucapan tokoh Ba'alawi yang jauh dari nilai-nilai akhlak mulia yang seharusnya dijunjung tinggi. Beberapa penceramah dari kalangan Ba'alawi, seperti Habib Riziq Shihab dan Bahar Smith dengan entengnya menebar ucapan dan pernyataan yang jauh di luar nilai-nilai etika.
Mereka begitu leluasa menebar fitnah, caci maki, ejekan, hinaan, bahkan merendahkan tokoh-tokoh yang dihormati oleh kalangan muslim tradisionalis, baik pemimpin pemerintahan maupun pemimpin agama dan nyaris tidak ada koreksi apapun dari tokoh-tokoh Ba'alawi sendiri.
Tokoh-tokoh Ba'alawi begitu leluasa mengumbar kecongkakan seakan tiada lawan, hingga tak segan merendahkan ulama pribumi, seperti K.H. Ma’ruf Amin, meski sebelumnya berada di dalam barisan politik mereka. Mereka juga menafikan nasab Wali Songo dan menganggapnya sebagai dongeng pujangga Jawa, yang memicu orang-orang yang sebelumnya menjadi pendukung Habaib berbalik haluan menjadi pendukung pembatalan nasab mereka.
Kesombongan, kesemena-menaan dan aklak yang buruk telah mengubah rasa hormat tokoh-tokoh pribumi pada kaum Ba'alawi. Kyai Imaduddin Usman yang semula merupakan pendukung Ba'alawi, dengan lantang menyuarakan batalnya nasab Ba'alawi sebagai keturunan nabi dengan data dan argumentasi yang sulit dipatahkan. Fuad Plered yang sebelumnya merupakan presiden pecinta (muhibbin) Habaib turut serta mempromosikan barisan pembatal nasab Ba'alawi yang diikuti oleh masyarakat di berbagai daerah.
Rapuhnya keluhuran akhlak kaum Ba'alawi benar-benar terlihat saat polemik nasab mengemuka. Hampir semua tokoh Ba'alawi merespon masalah ini dengan emosi, kemarahan, nada bicara tinggi dan ungkapan-ungkapan yang tidak seharusnya keluar dari mulut orang-orang mulia. Respon para Habaib sama sekali tidak memperlihatkan kearifan dan kebesaran jiwa seperti lazimnya orang-orang mulia, yang semakin menguatkan keyakinan bahwa mereka memang bukan keturunan nabi.
Penutup
Sebenarnya masyarakat nusantara sangat hormat dan tidak berani bersikap kritis terhadap kaum Ba'alawi. Sikap, perilaku dan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh Ba'alawi yang jumawa, congkak dan merendahkanlah yang justeru menjadi titik balik yang menghapus rasa hormat, bahkan membuka semua tabir kepalsuan yang sekian lama terbenam di bawah tingginya rasa hormat, ketidaktahuan dan pengkeramatan.
Penolakan atas keshahihan nasab Ba'alawi kebanyakan didasarkan atas data-data, informasi dan pertimbangan-pertimbangan logis dan faktual. Meski begitu, di antara semua alasan pembatalan nasab Ba'alawi sebenarnya bukanlah data-data dan argument logis yang menjadi pemicunya, melainkan akumulasi dari dampak diabaikannya etika, yang menggantarkan pada pembatalan nasab mereka, sebuah titik balik paling menyakitkan dan mustahil dipulihkan seperti semula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H