Kejanggalan pertama berkenaan dengan klaim para habaib di Indonesia saat ini yang rata-rata mengaku sebagai generasi ke 37-39. Klaim tersebut tidak masuk akal bila dihitung berdasarkan standar umum perhitungan peralihan generasi yang setiap satu abad rata-rata terjadi 4-5 peralihan generasi. Klaim sebagai keturunan nabi kurang masuk akal karena dalam rentang waktu sekitar 1500 tahun, peralihan generasi sejak masa nabi sampai saat ini normalnya sudah mencapai generasi ke 49-53, yang berarti ada sekitar 10 atau 11 generasi yang tidak tercatat.
Hal ini berkaitan erat dengan kejanggalan berikutnya. Bila benar para habaib adalah keturunan nabi ke 37-39 berarti para pendahulunya baru punya anak rata-rata di usia sekitar 60 tahun. Untuk satu atau dua kasus mungkin saja terjadi tetapi mustahil terjadi selama hampir 40 generasi secara turun-temurun. Apalagi masyarakat di masa lalu cenderung menikah dan punya anak di usia yang jauh lebih muda.
Kejanggalan lain terlihat dari pembulatan umur tokoh-tokoh yang dalam rangkaian nasab kaum Ba'alawi yang rata-rata menggunakan angka bulat. Hal ini menurut Guru Gembul menimbulkan kecurigaan atas adanya indikasi bahwa rangkaian nasab mereka tidak disusun berdasarkan data silsilah yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
5. Â Indikasi Pembelokan Sejarah
Bersamaan dengan polemik nasab, masyarakat menemukan makan-makan kuno yang diubah identitasnya menjadi makam orang bermarga Ba'alawi. Selain itu, ditemukan pula makan-makan kosong yang diidentifikasi dibuat oleh kalangan Ba'alawi. Mengubah identitas makam dan pembuatan makan-makam palsu menimbulkan kecurigaan bahwa kaum Ba'alawi sengaja membangun sejarah kekeramatan bagi golongannya sendiri.
Mereka sudah berhasil mempromosikan beberapa makam habaib di luar Jawa sebagai destinasi ziarah. Bahkan makam kosong mbah Priuk di Jakarta sukses dipopulerkan sebagai makam seorang Habib.
Kaum Ba'alawi tampaknya juga berupaya menulis ulang sejarah Indonesia dengan versi mereka sendiri. Memang tidak menutup kemungkinan di kalangan Ba'alawi ada yang turut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, sebagai mana halnya etnis Tionghoa. Masalahnya, mereka mengklaim berjasa dalam berbagai momentum sejarah tanpa dukungan data yang terpercaya, semisal mengklaim sebagai inisiator pembuatan simbut-simbul negara hingga menentukan hari kemerdekaan.
Tokoh-tokoh Ba'alawi juga mengklaim berperan besar terhadap berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Ini dapat dibaca di situs tarekat yang dipimpin oleh seorang habib terkemuka, termuat dalam buku Cahaya dari Nusantara karangan kaum Ba'alawi serta dinarasikan dalam ceramah beberapa habaib. Bahkan dalam sebuah buku pelajaran ke-NU-an Madrasah Diniyyah Takmiliyah Ulya (MDTU) atau pendidikan khusus keagamaan setingkat SLTA kelas 2 secara misterius muncul nama Habib Hasyim bin Yahya yang dinyatakan sebagai salah satu pendiri NU, padahal NU dan Rabithah Alawiyah dalam sejarahnya berdiri sebagai ormas berbeda. Bahkan dalam sejarah, Rabithah Alawiyyah sejak awal berseberangan dengan al-Irsyad, ormas yang didirikan oleh masyarakat Arab yang sama-sama keturunan Yaman. Â Â Â
Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa kaum Ba'alawi sengaja mencangkokkan diri dalam sejarah nasional dan sejarah NU, yang memungkinkan mereka menikmati privillage dari komunitas yang menjadi inangnya. Kecenderungan ini memiliki pola serupa dengan yang dikemukakan Mufti Yaman, bahwa mereka mencangkokkan diri ke dalam nasab bani Hasyim, hingga mendapat keuntungan dari status kaum bernasab mulia.
6. Â Doktrin dan Misi Terselubung
Polemik nasab juga membuka fakta-fakta lain berkenaan dengan doktrin-doktrin kaum Ba'alawi yang sulit diterima kalangan muslim. Selain ajaran rasis berupa pengkastaan dalam agama, yang menempatkan kaum Ba'alawi sebagai umat Islam kelas satu di atas warga pribumi, Kyai Nur Ikhsan mengidentifikasi ada 30 ajaran kaum Ba'alawi yang dinilai menyimpang dan perlu diwaspadai.