Ramainya polemi nasab Ba'alawi tidak membuat sebagian masyarakat kehilangan kepercayaan pada keshahihan nasab Ba'alawi. Banyak warga masyarakat yang tak tergoyahkan kepercayaan mereka dan tetap memilih setia sebagai pengikut dan pecinta (muhibbin) habaib Ba'alawi.
Para habaib Ba'alawi dan para pendukungnya memang belum dapat menjawab tesis Kyai Imaduddin dengan menunjukkan data-data yang valid dan terverifikasi berdasarkan kitab-kitab dan manuskrip sejaman yang diperlukan. Meski demikian, bukan berarti para habaib Ba'alawi, pembela dan masyarakat pendukungnya tidak mempunyai dasar dalam mempertahankan keshahihan nasabnya.Â
Ada banyak alasan mengapa masyarakat tetap percaya pada keshahihan habaib Ba'alawi. Berikut ini diulas beberapa di antara alasan-alasan yang biasa dijadikan dasar bagi masyarakat sehinggi tetap mempercayai keshahihan nasab habaib Ba'alawi.Â
1. Â Mengikuti Ulama Terdahulu
Ini adalah argumen paling popular dan sering dinarasikan oleh para tokoh Ba'alawi maupun pendukungnya. Beberapa ulama terdahulu, khususnya yang menjadi panutan kalangan Nahdlatul Ulama (NU), seperti Ibnu Hajar, Imam Nawawi dan Hasyim Asy'ari menaruh hormat kepada para habaib Ba'alawi. Bukan hanya menghormat, mereka juga mengapresiasi kontribusi keilmuan kaum Ba'alawi dalam karya-karyanya.
Sebagaimana ulama terdahulu  yang tidak mempertanyakan keshahihan nasab habaib Ba'alawi, demikian pula para pengikut Ba'alawi. Sekalipun para ulama tidak meng-itsbat nasab, tetapi penghormatan mereka cukup sebagai bukti pengakuan atas keshahihan nasab Ba'alawi.
Di antara para ulama tersebut diyakini memiliki kemampuan keilmuan, kesalehan bahkan karomah, sehingga mampu membedakan nasab asli dan palsu. Itu sebabnya, setinggi apapun keilmuan ulama yang ada di masa sekarang tidak dengan sendirinya lebih dipercaya dibanding ulama terdahulu.
2. Â Kontribusi Keilmuan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian tokoh Ba'alawi memiliki kontribusi terhadap pengajaran keagamaan Islam di pesantren dan madrasah. Beberapa kitab yang lazim dipelajari oleh santri tingkat pemula seperti Sulam Safinah merupakan karya seorang Habib. Bagi para pendukung Habaib, mengingkari habaib akan sama halnya dengan mengingkari sanad keilmuan masyarakat.
Hal ini dikarenakan menghormati habaib merupakan bagian dari tradisi menjunjung sanad keilmuan. Apalagi sebagian ulama tradisionalis yang selama ini dijadikan panutan kaum muslim tradisionalis konon pernah berguru pada habaib, yang membuat penghormatan terhadap para habaib menjadi bagian dari keharusan bagi para pengikut ulama pribumi.
3. Â Dukungan Tokoh-Tokoh Islam Saat Ini
Polemik nasab pada dasarnya muncul dari muslim tradisionalis kelas menengah, setingkat pengurus cabang NU di daerah-daerah. Demikian pula masyarakat yang sepaham dengannya, kebanyakan berasal dari nahdliyyin kelas menengah . Kyai Imaduddin sendiri merupakan pengurus Cabang NU yang sebelumnya bahkan merupakan pendukung para habaib melalui FPI, sementara Fuad Plered konon merupakan mantan presiden muhibbin (pecinta) habaib Indonesia.Â
Berbeda dari masyarakat yang menolak keshahihan nasab Ba'alawi, kaum Ba'alawi dan para pendukungnya justeru mendapat dukungan kuat dari para elit muslim tradisionalis. Apalagi sebagian tokoh Ba'alawi bahkan menjadi salah satu elit NU yang sangat dihormati. Selain itu, sebagian di antara tokoh-tokoh penting NU ada yang memiliki kekerabatan dengan klan Ba'alawi.
Sejak awal polemik nasab, para elit NU sudah menegaskan bahwa keabsahan nasab Ba'alawi tidak perlu dipersoalkan lagi. Belakang salah seorang pimpinan NU secara emosional bahkan melabeli para penolak keshahihan nasab Ba'alawi sebagai kaum wahabi, Syi'ah hingga khawarij.
Selain dukungan elit, sebagian tokoh pesantren besar juga memberikan dukungan terhadap Habaib, sekalipun ada pula yang memilih tidak melibatkan diri dalam polemik nasab. Sikap dan pernyataan tokoh-tokoh terhormat seperti guru sekumpul dan beberapa tokoh pesantren besar dipahami oleh sebagian masyarakat berada pada pihak habaib. Â
Beberapa penceramah agama kondang juga menunjukkan hal yang sama. Gus Miftah, salah satu muballigh andalan nahdliyyin mengikuti jejak tokoh NU yang lain, yang dengan tegas memilih mengedepankan sikap lebih baik salah mencintai dari pada salah membenci.
4. Â Ketokohan Kalangan Ba'alawi
Sejak reformasi, banyak habaib yang menjadi tokoh populer, panutan dan idola bagi sebagian umat Islam di Indonesia. Habib Riziq, imam besar FPI memiliki banyak pengikut yang militan di berbagai daerah. Sebagaimana Habib Umar dari Yaman, Habib Syeh memiliki penggemar yang luar biasa banyak. Habib Bahar juga memiliki pengaruh kuat di komunitas tertentu, yang tentu saja tidak dapat diubah begitu saja atas alasan apapun.
Bahkan di beberapa wilayah tertentu sebagian habaib juga telah menjadi tokoh agama paling dominan bahkan lebih popular dibanding tokoh-tokoh agama pribumi. Di beberapa tempat seperti sebagian Jawa Timur bagian timur, beberapa kota di Jawa Tengah dan beberapa wilayah tertentu di Jakarta sudah cukup lama menjadikan habaib sebagai panutan dan bagian dari kehidupan keagamaan mereka.
Penampilan para Habaib yang rata-ratta berparas mediteranian begitu menarik di mata masyarakat dan membangkitkan rasa kagum, yang membuat masyarakat sulit percaya bahwa mereka bukan dzuriyyah nabi. Penampilan, kata-kata, daya tarik dan energi yang dipancarkan oleh para habaib di berbagai acara keagamaan jarang ditemukan bandingannya dari tokoh-tokoh agama dari kalangan pribumi.
Hal ini menjadikan keyakinan para pecinta (muhibbin) habaib tidak mudah berubah, meski banyak informasi tentang nasab Ba'alawi yang bertolak belakang dengan keyakinan mereka. Para muhibbin bukan saja tidak tertarik untuk mempertanyakan keshahihan nasab, melainkan juga siap membela para habaib dari para penentangnya. Â Â
5. Â Latar Belakang Pendidikan
Sebagian tokoh Ba'alawi berhasil mendirikan pesantren dengan jumlah santri yang besar. Sudah barang tentu santri dan alumni yang berjumlah ribuan akan cenderung berpihak pada Habaib, apalagi menjadi santri dari Habaib merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi sebagian orang.Â
Menjadi santri dari sebuah pesantren biasanya melahirkan ikatan emosional yang kuat antara santri dan pengasuhnya. Hubungan emosional tersebut menjadikan alumni pesantren pada umumnya memiliki kesamaan pemikiran bahkan orientasi politik dengan pengasuh pesantren yang menjadi almamaternya. Apalagi ketika muncul narasi-narasi yang bersifat "menyerang" almamaternya. Â
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa pembela kaum Ba'alawi dari kalangan pribumi yang mengaku memiliki ikatan dengan Ba'alawi karena sanad keilmuan mereka tersambung pada Ba'alawi. Mereka tidak mungkin membatalkan sanad keilmuannya dengan bergabung dengan masyarakat yang menafikan keshahihan nasab Ba'alawi.
6. Â Pengalaman Spiritual
Sebagian orang tetap menganggap Ba'alawi sebagai dzuriyyah nabi karena pengalaman-pengalaman spiritual mereka. Hal ini terjadi karena ada sebagian orang yang percaya bahwa tokoh-tokoh Ba'alawi merupakan manusia pembawa keberkahan. Tidak mengherankan banyak di antara mereka yang berupaya mencari keberkahan dengan mencium surban, bahkan sisa makanan, bekas tempat duduk atau bekas jalan yang dilewati tokoh Ba'alawi.
Tidak dapat dipungkiri ada sebagian orang yang merasa tercapai hajatnya setelah mengamalkan amalan-amalan tertentu yang diijazahkan oleh habaib, atau hajatnya terkabut setelah bermunajat di makan tokoh Ba'alawi. Hal ini membuat mereka yakin adanya darah nabi dalam tubuh habaib.
Mereka tidak mungkin mengubah keyakinannya begitu saja, sekalipun pengalaman spiritual mereka tidak mudah dijelaskan dengan kata-kata ataupun akal sehat. Mereka tidak peduli dengan narasi dan berbagai informasi yang berkembang di luar, sebab mereka hanya percaya pada apa yang mereka jalani, rasakan dan mereka alami sendiri.
7. Â Lingkaran Sosial Keagamaan
Bagi sebagian orang, habaib yang dia kenal memang diyakini sebagai dzuriyyah nabi. Hal ini dikarenakan di beberapa daerah di Indonesia, para habaib Ba'alawi sudah cukup lama menjadi tokoh agama dominan di masyarakat. Sebagian kaum Ba'alawi sudah menjadi tokoh utama dan menjadi bagian dari kehidupan sosial keagamaan masyarakat setempat, sehingga masyarakat hanya tahu habaib memang keturunan nabi tanpa seorangpun yang mempertanyakan apalagi menafikannya.
Lingkungan sosial demikian menjadikan munculnya polemik nasab pasti terdengar aneh di telinga mereka karena selama ini mereka sudah mapan dan nyaman dengan kehadiran Habaib Ba'alawi di tengah kehidupannya. Masyarakat semacam ini justeru memandang heran dengan sikap dan pernyataan-pernyataan masyarakat di luar, karena berbeda dengan yang mereka alami dan rasakan sehari-hari.
Bagi mereka tidak ada masalah dan perlu dipermasalahkan dari kaum Ba'alawi dengan semua ajaran dan perilakunya. Mereka sudah menjadi bagian dari tradisi yang berhasil terbangun akibat kebersamaan yang cukup lama bersama kaum Ba'alawi di tengah-tengah mereka.
8. Â Keramat dan Syafaat
Hal paling ditakutkan oleh kebanyakan masyarakat muslim tradisional adalah yang berkenaan dengan keyakinan atas hal-hal yang dinilai keramat. Keyakinan bahwa habaib adalah keturunan nabi membuat masyarakat menempatkan mereka sebagai manusia keramat. Masyarakat tidak berani mengambil resiko spiritual bila tidak memulyakan para habaib seperti yang diajarkan oleh para tokoh agama.
Hal ini tidak lepas dari berbagai doktrin yang diajarkan pada mereka bahwa tidak memulyakan, menghina apalagi membatalkan nasab cucu nabi dapat mengakibatkan mati dalam keadaan kafir. Ada pula doktrin yang mengajarkan bahwa bila makam pembenci cucu nabi digali diyakini mayatnya tidak menghadap kiblat dan berbagai ancaman spiritual serupa.Â
Hal paling menakutkan lagi adalah resiko bagi orang yang tidak percaya bahwa Habaib keturunan nabi. Mereka terancam tidak mendapat syafaat nabi di hari kiamat. Doktrin ini begitu kuat dikarenakan banyak penceramah Ba'alawi maupun pribumi yang mengajarkan bahwa salah satu sarana mendapat syafaat nabi di hari kiamat adalah dengan cara memuliakan mereka yang diyakini sebagai dzuriyyah nabi. Hal ini dikarenakan nabi konon tidak mengharap apa-apa dari risalah kenabiannya, selain berharap anak cucunya dimulyakan.
Bahkan masyarakat yang mulai ragu atas keshahihan nasab Ba'alawipun banyak yang lebih memilih jalan aman. Sekalipun mampu memahami alasan menolak keshahihan nasab Ba'alawi, tetapi mereka memilih tetap percaya atas keshahihan nasab Ba'alawi. Sevalid apapun sebuah kajian nasab, tidak mampu menghapus rasa kuatir mereka, bilamana hasil penelitian tersebut mengandung kesalahan. Dari sinilah muncul ungkapan lebih baik salah mencintai dari pada salah membenci.
Penutup
Di tengah silang pendapat tentang validitas nasab Ba'alawi, masyarakat yang memilih percaya pada keshahihan nasab Ba'alawi lebih mendasarkan sikap dan keyakinannya berdasarkan kebenaran otoritatif, yaitu kebenaran yang disandarkan atas sikap dan pendapat orang yang dipandang lebih terpercaya. Tidak penting lagi apakah sikap dan pandangan tokoh tertentu memiliki dukungan data atau tidak, mereka lebih mempercayakan sepenuhnya pada otoritas tokoh tersebut sebagai sandaran kebenaran.
Alasan percaya pada keshahihan nasab Ba'alawi memang tidak didasarkan atas data dan bukti ilmiah. Kuatnya doktrin-doktrin keakheratan membuat kebanyakan orang tidak berani mengambil resiko berkenaan dengan hal-hal yang diyakini berkaitan dengan nasib mereka di akherat kelak. Ancaman mati dalam keadaan kafir atau tidak mendapat syafaat nabi di hari kiamat adalah ancaman paling mengerikan bagi mereka yang tidak terlalu mempercayai sains dan akal sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H