Sebagian tokoh Ba'alawi berhasil mendirikan pesantren dengan jumlah santri yang besar. Sudah barang tentu santri dan alumni yang berjumlah ribuan akan cenderung berpihak pada Habaib, apalagi menjadi santri dari Habaib merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi sebagian orang.Â
Menjadi santri dari sebuah pesantren biasanya melahirkan ikatan emosional yang kuat antara santri dan pengasuhnya. Hubungan emosional tersebut menjadikan alumni pesantren pada umumnya memiliki kesamaan pemikiran bahkan orientasi politik dengan pengasuh pesantren yang menjadi almamaternya. Apalagi ketika muncul narasi-narasi yang bersifat "menyerang" almamaternya. Â
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa pembela kaum Ba'alawi dari kalangan pribumi yang mengaku memiliki ikatan dengan Ba'alawi karena sanad keilmuan mereka tersambung pada Ba'alawi. Mereka tidak mungkin membatalkan sanad keilmuannya dengan bergabung dengan masyarakat yang menafikan keshahihan nasab Ba'alawi.
6. Â Pengalaman Spiritual
Sebagian orang tetap menganggap Ba'alawi sebagai dzuriyyah nabi karena pengalaman-pengalaman spiritual mereka. Hal ini terjadi karena ada sebagian orang yang percaya bahwa tokoh-tokoh Ba'alawi merupakan manusia pembawa keberkahan. Tidak mengherankan banyak di antara mereka yang berupaya mencari keberkahan dengan mencium surban, bahkan sisa makanan, bekas tempat duduk atau bekas jalan yang dilewati tokoh Ba'alawi.
Tidak dapat dipungkiri ada sebagian orang yang merasa tercapai hajatnya setelah mengamalkan amalan-amalan tertentu yang diijazahkan oleh habaib, atau hajatnya terkabut setelah bermunajat di makan tokoh Ba'alawi. Hal ini membuat mereka yakin adanya darah nabi dalam tubuh habaib.
Mereka tidak mungkin mengubah keyakinannya begitu saja, sekalipun pengalaman spiritual mereka tidak mudah dijelaskan dengan kata-kata ataupun akal sehat. Mereka tidak peduli dengan narasi dan berbagai informasi yang berkembang di luar, sebab mereka hanya percaya pada apa yang mereka jalani, rasakan dan mereka alami sendiri.
7. Â Lingkaran Sosial Keagamaan
Bagi sebagian orang, habaib yang dia kenal memang diyakini sebagai dzuriyyah nabi. Hal ini dikarenakan di beberapa daerah di Indonesia, para habaib Ba'alawi sudah cukup lama menjadi tokoh agama dominan di masyarakat. Sebagian kaum Ba'alawi sudah menjadi tokoh utama dan menjadi bagian dari kehidupan sosial keagamaan masyarakat setempat, sehingga masyarakat hanya tahu habaib memang keturunan nabi tanpa seorangpun yang mempertanyakan apalagi menafikannya.
Lingkungan sosial demikian menjadikan munculnya polemik nasab pasti terdengar aneh di telinga mereka karena selama ini mereka sudah mapan dan nyaman dengan kehadiran Habaib Ba'alawi di tengah kehidupannya. Masyarakat semacam ini justeru memandang heran dengan sikap dan pernyataan-pernyataan masyarakat di luar, karena berbeda dengan yang mereka alami dan rasakan sehari-hari.
Bagi mereka tidak ada masalah dan perlu dipermasalahkan dari kaum Ba'alawi dengan semua ajaran dan perilakunya. Mereka sudah menjadi bagian dari tradisi yang berhasil terbangun akibat kebersamaan yang cukup lama bersama kaum Ba'alawi di tengah-tengah mereka.