Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah

5 Juni 2024   09:09 Diperbarui: 5 Juni 2024   09:28 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain polemik nasab yang memperhadapkan Kyai Imaduddin vs kaum Baalwi, media sosial secara hampir bersamaan sebenarnya juga diramaikan oleh polemik dukun palsu, yang memperhadapkan Marcel si Pesulap Merah vs para dukun dan praktisi spiritual. Kedua polemik tersebut sama-sama berlangsung panas yang menarik sebagian masyarakat untuk mendukung yang satu dan menentang yang lain. 

Meski tidak sepanas polemik nasab dan dukun palsu, di masyarakat kita sebenarnya juga terjadi berbagai polemik serupa, semisal polemik bumi datar dan cocoklogi sains dan agama oleh Sebagian penceramah, yang secara umum memperlihatkan adanya pertarungan antara penganut paradigma berfikir akal sehat dan paradigma akal-akalan.  

Akal Sehat vs Akal-akalan

Digunakannya istilah akal sehat kali ini tentu bukanlah terjemahan common sense yang biasa digunakan dalam filsafat ilmu, melainkan sekedar penyederhanaan untuk menyebut mereka yang lebih mempercayai penjelasan ilmiah atau scientific, yang mana setiap pengetahuan harus didasarkan atas kajian ilmiah yang didukung oleh data-data yang terverifikasi dan diuji baik dari segi data maupun metodologi. 

Di sisi lain, istilah akal-akalan ditujukan bagi mereka yang berupaya membuat sebuah pengetahuan disetujui dan diterima oleh orang lain hanya dengan "akal-akalan", yang mengandalkan kekuatan narasi dan framing yang menyentuh emosi. Paradigma akal-akalan tidak membutuhkan data-data yang terverifikasi, yang itu sebabnya resisten terhadap tes dan mudah runtuh oleh pengujian secara kritis.

Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah dapat dikatakan mewakili mereka yang memilih mengedepankan akal sehat. Melalui bukti materiil berupa data-data manuskrip yang terverifikasi dan analisis yang sistematis, terperinci dan secara metodologis terbuka untuk diuji, tesis Kyai Imaduddin berhasil mendekonstruksi klaim kaum Baalwi sebagai keturunan (dzuriyyah) nabi. 

Kyai Imaduddin masih membuka peluang nasab Baalwi agar dapat dinyatakan tersambung pada nabi bila mereka mampu menjawab 13 pertanyaan, yang artinya mengharuskan adanya bukti materiil berupa data-data manuskrip yang terverifikasi.

Tesis Kyai Imaduddin spontan memancing amarah para tokoh Baalwi dan simpatisannya. Meski demikian kaum Baalwi semula berusaha meladeni perdebatan, tetapi minimnya dukungan data manuskrip yang terverifikasi membuat sanggahan Rumail Abbas begitu mudah dipatahkan. 

Minimnya kompetensi di bidang kajian nasab menjadikan sanggahan Wafi, Idrus Romli, Fakhrur Rozi hingga sang Rois Aam PBNU hanya menampakkan besarnya simpati dibanding evidensi ilmiah. Tokoh Baalwi, seperti Hanif Alatas, yang berupaya menjawab tesis melalui tulisan juga sama sekali tidak menjawab 13 pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan data yang terverifikasi dan hanya memframing Kyai Imaduddin sebagai pihak yang tidak berhak, tidak layak dan tidak dapat diterima hasil kajiannya, bahkan dianggap sebagai ahli bidah yang sesat.

Pembuktian keaslian nasab mereka semakin sulit dilakukan setelah sebagian tokoh Baalwi yang sudah melakukan tes DNA terkonfirmasi ber-haplo group G, yang berarti bukan dzuriyyah Bani Hasyim, klan nabi saw. Meski demikian, hal ini tidak membuat perdebatan terhenti, bahkan semakin keras dengan beragam narasi di luar konteks kajian yang diperdebatkan. 

Meski tidak pernah mengistbat, penghormatan para tokoh dan ulama terhadap kaum Baalwi diandalkan sebagai pijakan eksistensi mereka yang disertai beragam tuduhan terhadap Kyai Imaduddin dan mereka yang sepaham sebagai pemecah-belah, Khawarij, Wahabi, Syi'ah dengan berbagai ancaman laknat, caci maki hingga ancaman organisasi.

Tidak berbeda jauh dari polemik nasab, Pesulap Merah juga membuat marah para dukun karena konten media sosialnya membongkar rahasia para dukun. Demonstrasi kesaktian yang dipamerkan oleh para dukun di media sosial dibongkar habis oleh Pesulap Merah. 

Melalui penjelasan sederhana, masuk akal dan disertai praktik langsung, Pesulap Merah membuktikan bahwa yang dilakukan oleh para dukun bukan karena kekuatan magis. Pesulap Merah menunjukkan bahwa kesaktian para dukun yang dipertontonkan di berbagai platform media sosial tidak lebih dari sekedar permainan trik sulap biasa.

Pada awalnya Pesulap Merah hanya membongkar trik sulap dukun tertentu, seperti Syamsuddin Blitar, tetapi respon para penontonnya untuk membuka berbagai trik dukun-dukun lain menjadikan hampir semua dukun yang "jualan kesaktian" menjadikannya musuh bersama. 

Konten-konten Pesulap Merah seakan memperlihatkan pada masyarakat bahwa yang dilakukan para dukun tidak lebih dari mengeksploitasi rendahnya literasi masyarakat dengan berbagai aksi yang sebenarnya sama sekali tidak ada unsur magisnya. Para dukun meraup keuntungan dengan cara mengelabuhi masyarakat yang putus asa dalam menghadapi berbagai masalah hidup yang mereka hadapi dengan berbagai aksi sulap yang sebenarnya tidak membantu apa-apa bahkan tak lebih dari aksi tipu-tipu.

Senasib dengan Kyai Imaduddin, Pesulap Merah juga harus menghadapi kemarahan para dukun dan banyak praktisi spiritualis yang menjadi "korban" konten media sosialnya. Konten-konten media sosialnya potensial mengancam eksistensi dan kepercayaan masyarakat yang pada gilirannya dapat merusak mata pencaharian mereka. Berbagai kecaman dan penyangkalan para dukun terhadap Pesulap Merah tidak terhindarkan, yang diikuti dengan perang narasi yang berlangsung sengit di berbagai platform media online.

Entah serius atau sekedar gimmic, salah seorang dukun, Habib Jindan, bahkan menantang Pesulap Merah menyelesaikannya dengan kekerasan. 

Sebagaimana halnya Kyai Imaduddin yang menantang kaum Baalwi menjawab 13 pertanyaan, Pesulap Merah pun menantang para dukun untuk membuktikan kesaktiannya termasuk menyantetnya di depan kamera, tetapi dengan berbagai dalih tidak ada satupun yang mampu menunjukkannya. 

Meski tidak satupun dukun memungkiri ataupun membenarkan bahwa penjelasan Pesulap Merah sebagai fakta, para dukun tetap punya banyak followers dan views yang Sebagian besar tetap mempercayai kesaktiannya.

Transisi Dua Alam Pikiran

Fenomena Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah memperlihatkan bahwa dunai berfikir masyarakat sedang menghadapi transisi berfikir dari era mitis dan tradisional menuju era yang lebih rasional. Beberapa abad silam, perubahan semacam ini pernah dialami bangsa Eropa yang oleh Auguste Comte dipetakan ke dalam tiga fase perubahan, yaitu fase mitis, tradisionalis dan pragmatis. 

Perubahan serupa pada bangsa-bangsa lain, terutama Asia, berjalan lamban. Padahal era pragmatis yang berkembang di Eropa sebenarnya juga merasuki seluruh benua, tetapi di Asia pragmatisme sering berbenturan dengan nilai-nilai yang seharusnya sudah ditinggalkan di era mitis dan tradisional.

Di era yang didominasi perubahan akibat perkembangan sains dan teknologi ternyata masih banyak masyarakat yang belum dapat melepaskan warisan era mitis dan tradisional. Pengakuan atas perbedaan strata, pengagungan, penghormatan, privillage dan keyakinan atas keberkahan yang dimiliki oleh sekelompok manusia atas dasar keturunan adalah warisan era tradisional yang seharusnya sudah tidak relevan untuk dipertahankan. 

Apalagi ketika klaim atas status tersebut terbukti tidak ditunjang data yang terverifikasi. Rendahnya literasi dan daya nalar membuat masyarakat tidak mampu membedakan antara fakta dan manipulasi. Hal ini membuka peluang bagi sebagian manusia untuk mengeksploitasi manusia lain dengan berbagai manipulasi demi keuntungannya sendiri.   

Secara timbul tenggelam tokoh-tokoh seperti Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah akan selalu muncul mewakili mereka yang berupaya mengendepankan akal sehat dalam memahami setiap fenomena kehidupan. Kehadiran mereka sudah pasti menimbulkan kegaduhan karena mengusik kenyamanan pihak-pihak yang diuntungkan oleh pola pikir mitis dan tradisional. 

Atas nama stabilitas sosial, para penguasa kebudayaan lazimnya juga cenderung berpihak pada status quo sekalipun mengorbankan proses pencerdasan masyarakat, sehingga tidak mengherankan bila paradigma akal sehat lebih mudah tenggelam dibanding mendapatkan panggung untuk berkembang.

Kehadiran Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah tidak dengan sendirinya menghapus praktik-praktik manipulatif di tengah masyarakat. Betapapun logis dan faktualnya penjelasan mereka tidak mudah mengubah paradigma berfikir mereka yang lebih mudah termakan framing dan narasi akal-akalan yang sebenarnya tidak ditunjang data yang terpercaya. Bahkan hal-hal yang seharusnya dapat diverifikasi secara ilmiah dihindari demi mengokohkan status quo.

Dengan demikian, betapapun lemah legitimasi ilmiah atas klaim kaum Baalwi sebagai dzuriyyah nabi tidak akan banyak mengurangi jumlah pengikutnya. 

Demikian pula para dukun juga tidak akan kekurangan pasien sekalipun praktik mereka tidak lebih dari permainan sulap. Majelis-majelis kaum Baalwi akan tetap ramai, sebagaimana pasien para dukun yang tetap berjubel oleh masyarakat yang karena rendahnya literasi menjadikan mereka bahkan sama sekali tidak pernah mendengar ada kontroversi semacam ini.

Kata Akhir

Di tengah dunia yang semakin rasional, selalu saja ada sebagian manusia yang hidup dengan mengeksploitasi rendahnya literasi masyarakat sebagai komoditas. Kehadiran Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah membuka mata dan pikiran sebagian orang yang mampu bernalar secara sehat atas berbagai manipulasi yang dilakukan sekelompok orang demi keuntungan sendiri. 

Meski demikian, betapapun logis pencerahan diberikan dan betapa pun jelasnya fenomena tipu-tipu dibongkar dengan data yang valid dan terpecaya, bukan berarti tradisi irasional terhapus dari tengah masyarakat kita, sebab faktanya masih banyak orang yang karena berbagai kondisi masih lebih nyaman terjebak dalam irasionalitasnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun