Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah

5 Juni 2024   09:09 Diperbarui: 5 Juni 2024   09:28 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era yang didominasi perubahan akibat perkembangan sains dan teknologi ternyata masih banyak masyarakat yang belum dapat melepaskan warisan era mitis dan tradisional. Pengakuan atas perbedaan strata, pengagungan, penghormatan, privillage dan keyakinan atas keberkahan yang dimiliki oleh sekelompok manusia atas dasar keturunan adalah warisan era tradisional yang seharusnya sudah tidak relevan untuk dipertahankan. 

Apalagi ketika klaim atas status tersebut terbukti tidak ditunjang data yang terverifikasi. Rendahnya literasi dan daya nalar membuat masyarakat tidak mampu membedakan antara fakta dan manipulasi. Hal ini membuka peluang bagi sebagian manusia untuk mengeksploitasi manusia lain dengan berbagai manipulasi demi keuntungannya sendiri.   

Secara timbul tenggelam tokoh-tokoh seperti Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah akan selalu muncul mewakili mereka yang berupaya mengendepankan akal sehat dalam memahami setiap fenomena kehidupan. Kehadiran mereka sudah pasti menimbulkan kegaduhan karena mengusik kenyamanan pihak-pihak yang diuntungkan oleh pola pikir mitis dan tradisional. 

Atas nama stabilitas sosial, para penguasa kebudayaan lazimnya juga cenderung berpihak pada status quo sekalipun mengorbankan proses pencerdasan masyarakat, sehingga tidak mengherankan bila paradigma akal sehat lebih mudah tenggelam dibanding mendapatkan panggung untuk berkembang.

Kehadiran Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah tidak dengan sendirinya menghapus praktik-praktik manipulatif di tengah masyarakat. Betapapun logis dan faktualnya penjelasan mereka tidak mudah mengubah paradigma berfikir mereka yang lebih mudah termakan framing dan narasi akal-akalan yang sebenarnya tidak ditunjang data yang terpercaya. Bahkan hal-hal yang seharusnya dapat diverifikasi secara ilmiah dihindari demi mengokohkan status quo.

Dengan demikian, betapapun lemah legitimasi ilmiah atas klaim kaum Baalwi sebagai dzuriyyah nabi tidak akan banyak mengurangi jumlah pengikutnya. 

Demikian pula para dukun juga tidak akan kekurangan pasien sekalipun praktik mereka tidak lebih dari permainan sulap. Majelis-majelis kaum Baalwi akan tetap ramai, sebagaimana pasien para dukun yang tetap berjubel oleh masyarakat yang karena rendahnya literasi menjadikan mereka bahkan sama sekali tidak pernah mendengar ada kontroversi semacam ini.

Kata Akhir

Di tengah dunia yang semakin rasional, selalu saja ada sebagian manusia yang hidup dengan mengeksploitasi rendahnya literasi masyarakat sebagai komoditas. Kehadiran Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah membuka mata dan pikiran sebagian orang yang mampu bernalar secara sehat atas berbagai manipulasi yang dilakukan sekelompok orang demi keuntungan sendiri. 

Meski demikian, betapapun logis pencerahan diberikan dan betapa pun jelasnya fenomena tipu-tipu dibongkar dengan data yang valid dan terpecaya, bukan berarti tradisi irasional terhapus dari tengah masyarakat kita, sebab faktanya masih banyak orang yang karena berbagai kondisi masih lebih nyaman terjebak dalam irasionalitasnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun