Kyai Imaduddin Usman al-Bantani, yang popular dipanggil kyai Imad, secara mengejutkan telah menghentak diskursus sosial keagamaan kalangan Islam tradisionalis Indonesia. Tesisnya yang menyatakan bahwa secara akademis nasab klan Baalawi terputus (munqathi) dari jalur keturunan nabi saw, telah menimbulkan pro dan kontra, mengingat kaum Baalawi, yang tokoh-tokohnya di Indonesia disebut habaib (jama’ dari kata habib), terlanjur diyakini sebagai keturunan nabi saw.
Bukannya menjawab tesis kyai Imad dengan data dan anti tesis ilmiah, para tokoh Baalawi justeru merespon dengan emosional. Di berbagai kanal media sosial dapat dijumpai pernyataan hingga ceramah para habaib yang penuh kemarahan dan caci maki. Bahkan narasi kutukan ditebar bagi mereka yang dianggap pembenci dzuriyyah nabi, yang dikonotasikan dengan kebencian terhadap kalangan Baalawi.
Kaum Baalawi juga melakukan penggalangan massa melalui berbagai kegiatan keagamaan untuk memamerkan besarnya pendukung masyarakat terhadap mereka. Lebih ironis lagi, tidak jarang pendukung Baalawi berupaya melakukan persekusi terhadap mereka yang mendukung tesis kyai Imad dan dianggap membenci habaib.
Para pendukung Baalawi berusaha keras memberikan counter opinion, tapi sayang sekali kebanyakan hanya berupa narasi di luar diskursus ilmu nasab secara ilmiah. Sebagian dari mereka mendasarkan validasi keshahihan nasab Baalawi hanya berdasarkan klaim bahwa penghormatan para ulama terdahulu terhadap habaib sebagai bukti pengakuan (itsbat nasab).
Ada pula pendukung Baalwi yang memvalidasi keshahihan nasab Baalawi atas dasar sanad keilmuan dan beberapa wirid keagamaan yang sebagian sanadnya melalui jalur tokoh Baalawi. Hanif Alatan bahkan mengharamkan pembahasan nasab Baalwi dengan menggunakan fiqih versi mereka sendiri.
Kaum Baalwi berusaha keras mendapatkan validasi dengan mencari dukungan tokoh-tokoh nasional maupun Timur Tengah meski sampai saat ini belum jelas naqabah mana yang memberikan pengakuan (isbat) resmi. Sampai saat ini kaum Baalwi masih relatif aman karena beberapa tokoh di tanah air terlihat berpihak pada mereka.
Tokoh-tokoh NU sendiri terlihat gamang dan kesulitan menyikapi masalah ini. Para tokohnya tampak berbeda pendapat dan berbeda dalam menyikapi masalah polemik nasab. Kegamangan ini dapat dipahami karena persoalan nasab merupakan masalah sensitif, sehingga sikap pro ataupun kontra akan berdampak tidak mengenakkan bagi keutuhan NU.
Tidak mengherankan bila respon tokoh-tokoh NU berbeda-beda dan tidak satupun yang mewakili sikap resmi organisasi. Ada tokoh-tokoh yang berusaha tidak merespon, ada yang diam-diam mendukung salah satu pihak dan ada pula yang memilih prasangka baik (husnudzon) dibanding mempercayai tesis ilmiah.
Para pendukung Baalawi yang mampu berfikir akademis tampaknya tidak terlalu banyak, hingga kesulitan memberikan data pembanding yang mampu meruntuhkan tesis kyai Imad. Data-data pembanding yang diklaim diperoleh oleh Gus Rumeil, tidak juga dapat diverifikasi. Selain itu, data-data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan yang mendukung keabsahan nasab Baalwi tampaknya hampir mustahil ditemukan, mengingat data-data terverifikasi berada di tangan mereka yang membatalkan nasabnya.
Tantangan tes DNA sebagai metode paling ilmiah di era saat ini juga dihindari oleh kalangan Baalawi dengan berbagai dalih. Penolakan tersebut justeru menambah ketidakyakinan bagi mereka yang mendukung tesis kyai Imad tentang keshahihan nasab Baalawi secara biologis.
Belakangan, kaum Baalawi dan pendukungnya sepertinya berusaha menurunkan tensi pedebatan dengan tidak banyak merespon propaganda para pendukung tesis Kyai Imad seperti masa-masa sebelumnya. Beberapa narasi memperlihatkan bahwa kaum Baalawi berusaha tidak menganggap tesis Kyai Imad sebagai sesuatu yang berpengaruh bagi umat Islam.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di kalangan muslim tradisionalis sebenarnya terjadi perubahan signifikan sebagai dampak dari tesis Kyai Imad. Beberapa perubahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut.
Validasi Keraguan
Tesis kyai Imad tentu tidak dipercaya atau lebih tepatnya tidak diterima oleh semua orang, bahkan tidak sedikit yang menentangnya dengan berbagai alasan. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya semakin banyak masyarakat yang secara diam-diam (pasif) atau terbuka mempercayai tesis kyai Imad.
Kalangan yang mampu berfikir ilmiah tentu lebih mempercayai tesis ilmiah dibanding pengakuan sepihak dari internal Baalawi. Setidaknya, sebagian masyarakat yang mampu berfikir rasional pasti lebih mudah percaya pada kyai Imad, karena belum ada anti tesis yang mematahkannya secara ilmiah.
Apalagi tesis kyai Imad mendapat dukungan data yang semakin komprehensif dari berbagai segi. Beredarnya data-data dan informasi seperti catatan sejarah tentang larangan Syarif Makkah pada kaum balawi memakai gelar Syarif dan Sayyid, serta informasi tentang Haplogroup DNA semakin menguatkan keraguan terhadap kebenaran nasab Baalwi. .
Tesis kyai Imad juga memvalidasi keraguan sebagian masyarakat yang beberapa waktu sebelumnya memang sudah meragukan kebenaran nasab Baalawi sebagai keturunan nabi saw. Keraguan tersebut terjadi akibat sikap, perilaku dan ucapan beberapa tokoh Balawi yang jauh dari nilai-nilai etika keagamaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat muslim.
Tanpa perlu kajian nasab, ceramah tokoh-tokoh Habaib Baalwi yang penuh provokasi, caci maki, hingga doa buruk bagi mereka yang tidak sepaham membuat masyarakat ragu bahwa mereka keturunan nabi. Apalagi beredar luas doktrin-doktrin Habaib yang tidak mauk akal, sarat khurafat hingga kisah-kisah kewalian yang berlebihan.
Proporsionalisasi Respektasi
Masyarakat yang memandang temuan Kyai Imad sebagai tesis yang masuk akal, tidak serta merta antipati terhadap kaum Baalawi. Bahkan mereka yang terang-terangan mendukung tesis kyai Imad juga tidak berarti antipati atau membenci kaum kaum habaib sebagaimana dinarasikan oleh tokoh-tokoh Baalawi.
Muslim tradisionalis di Indonesia dikenal sangat terbuka dan menghargai kaum pendatang dari manapun, seperti Cina, India, Timur Tengah dan sebagainya. Mereka yang menanggalkan keyakinan bahwa Baalawi adalah keturunan nab saw akan tetap menghormati para habaib, meski konteksnya bukan atas dasar klaim sebagai keturunan nabi.
Mereka akan tetap dihargai sesuai kapasitas, kompetensi dan peran sosial keagamaannya. Sebagai misal, para habaib yang mengelola pesantren akan tetap dihormati sebagaimana lazimnya pengasuh pesantren. Kalangan akademisi juga tetap menghormati Prof. Quraish Shihab atau Said Aqil Munawwar sebagai pakar al_Qur’an dan Hadis tanpa memandang latar belakang nasabnya. Sementara tokoh-tokoh Baalawi partisan juga tetap didukung oleh para pendukungnya (muhbbin).
Kebangkitan Tokoh Lokal
Mungkin istilah kebangkitan sedikit berlebihan, tetapi faktanya di beberapa daerah sudah muncul gerakan yang mengatasnamakan pendukung ulama pribumi yang bangkit berhadapan dengan Habaib Baalwi. Gerakan ulama pribumi yang dikomandoi kyai Abbas Banten tampak mulai intensif melakukan konsolidasi, meluruskan sejarah dengan mempertegas eksistensi nasab para ulama lokal dan berupaya menghapus upaya pem-Baalawi-an makam-makam kuno, serta membongkar makam-makan keramat palsu yang diduga disponsori oleh kaum Baalawi.
Keberadaan komunitas ini juga menjadikan kaum Balawi dan para pendukungnya tidak lagi dapat seenaknya memperkusi masyarakat yang tidak sepaham. Kalaupun masih terdapat upaya persekusi seperti yang terjadi di beberapa daerah akhir-akhir ini, intensitasnya dipastikan akan berkurang, apalagi bila gerakan kaum pribumi ini semakin meluas ke berbagai daerah.
Reduksi Arogansi
Mengemukanya diskursus nasab Baalawi sebenarnya dipicu oleh sikap dan perilaku tokoh-tokoh Baalawi sendiri. Sikap dan ucapan mereka yang dengan congkak menyatakan “di dalam darahku mengalir darah rasulullah” merupakan satu bentuk kesombongan yang tidak dapat diterima, karena jauh dari nilai-nilai etika sosial kaum tradisionalis Islam di Indonesia.
Kesombongan kaum Baalwi yang menafikan keturunan Wali Songo yang diikuti dengan pem-Baalawi-an makam-makan yang belakangan terbongkar, menimbulkan kecurigaan terhadap misi pem-baalawi-an sejarah Islam di nuantara. Hal ini mendorong masyarakat menilai kaum Baalawi sengaja membelokkan sejarah dan menghapus jejak leluhur ulama lokal.
Ceramah-ceramah keagamaan yang selama ini penuh nada politik, caci maki, provokasi sedikit banyak mulai melunak. Rasisme bebalut agama sedikit banyak pasti kurang terekspose. Yang jelas, dai’dai dari kalangan Baalawi terlihat lebih berhati-hati dalam berbicara di depan umum.
Pernyataan-pernyataan provokatif memang masih sulit dihindari, tapi setidaknya caci-maki dan penggunaan nama-nama binatang tidak terlalu sering menghiasi ceramah mereka media-media sosial. Tokoh-tokoh Baalawi tidak lagi leluasa berucap sesuka hati karena banyak masyarakat yang tak segan lagi untuk memberikan counter balance, menentang atau sekedar mentertawakannya tanpa perlu takut dosa.
Penutup
Tulisan Kyai Imad telah membuka perspektif baru bukan saja tentang eksistensi kaum Baalawi, melainkan juga mengangkat diskursus keilmuan yang relatif jarang dipelajari secara ilmiah, bahkan cenderung dianggap tabu, yaitu tentang ilmu nasab. Sebelumnya kemunculan kyai Imad, hampir-hampir tidak ada yang menyangka bahwa nasab suatu komunitas dapat diteliti, diuji dan divefikasi sedemikian rupa, sehingga mampu membuka sebuah tabir sejarah yang sedemikian mengejutkan.
Tesis kyai Imad juga menyadarkan siapapun yang mempunyai klaim sebagai keturunan orang-orang mulia atau orang-orang hebat di masa lalu, tidak serta merta dapat mengklaim secara sepihak. Apalagi bila tokoh di masa lalu tersebut merupakan seseorang yang ditokohkan oleh banyak orang, maka dapat dipastikan tidak mungkin menghindar dari penelitian dan pengujian oleh pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya. Belum lagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin sulit menutup informasi serapat mungkin disimpan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H