Kebangkitan Tokoh Lokal
Mungkin istilah kebangkitan sedikit berlebihan, tetapi faktanya di beberapa daerah sudah muncul gerakan yang mengatasnamakan pendukung ulama pribumi yang bangkit berhadapan dengan Habaib Baalwi. Gerakan ulama pribumi yang dikomandoi kyai Abbas Banten tampak mulai intensif melakukan konsolidasi, meluruskan sejarah dengan mempertegas eksistensi nasab para ulama lokal dan berupaya menghapus upaya pem-Baalawi-an makam-makam kuno, serta membongkar makam-makan keramat palsu yang diduga disponsori oleh kaum Baalawi.
Keberadaan komunitas ini juga menjadikan kaum Balawi dan para pendukungnya tidak lagi dapat seenaknya memperkusi masyarakat yang tidak sepaham. Kalaupun masih terdapat upaya persekusi seperti yang terjadi di beberapa daerah akhir-akhir ini, intensitasnya dipastikan akan berkurang, apalagi bila gerakan kaum pribumi ini semakin meluas ke berbagai daerah.
Reduksi Arogansi
Mengemukanya diskursus nasab Baalawi sebenarnya dipicu oleh sikap dan perilaku tokoh-tokoh Baalawi sendiri. Sikap dan ucapan mereka yang dengan congkak menyatakan “di dalam darahku mengalir darah rasulullah” merupakan satu bentuk kesombongan yang tidak dapat diterima, karena jauh dari nilai-nilai etika sosial kaum tradisionalis Islam di Indonesia.
Kesombongan kaum Baalwi yang menafikan keturunan Wali Songo yang diikuti dengan pem-Baalawi-an makam-makan yang belakangan terbongkar, menimbulkan kecurigaan terhadap misi pem-baalawi-an sejarah Islam di nuantara. Hal ini mendorong masyarakat menilai kaum Baalawi sengaja membelokkan sejarah dan menghapus jejak leluhur ulama lokal.
Ceramah-ceramah keagamaan yang selama ini penuh nada politik, caci maki, provokasi sedikit banyak mulai melunak. Rasisme bebalut agama sedikit banyak pasti kurang terekspose. Yang jelas, dai’dai dari kalangan Baalawi terlihat lebih berhati-hati dalam berbicara di depan umum.
Pernyataan-pernyataan provokatif memang masih sulit dihindari, tapi setidaknya caci-maki dan penggunaan nama-nama binatang tidak terlalu sering menghiasi ceramah mereka media-media sosial. Tokoh-tokoh Baalawi tidak lagi leluasa berucap sesuka hati karena banyak masyarakat yang tak segan lagi untuk memberikan counter balance, menentang atau sekedar mentertawakannya tanpa perlu takut dosa.
Penutup
Tulisan Kyai Imad telah membuka perspektif baru bukan saja tentang eksistensi kaum Baalawi, melainkan juga mengangkat diskursus keilmuan yang relatif jarang dipelajari secara ilmiah, bahkan cenderung dianggap tabu, yaitu tentang ilmu nasab. Sebelumnya kemunculan kyai Imad, hampir-hampir tidak ada yang menyangka bahwa nasab suatu komunitas dapat diteliti, diuji dan divefikasi sedemikian rupa, sehingga mampu membuka sebuah tabir sejarah yang sedemikian mengejutkan.
Tesis kyai Imad juga menyadarkan siapapun yang mempunyai klaim sebagai keturunan orang-orang mulia atau orang-orang hebat di masa lalu, tidak serta merta dapat mengklaim secara sepihak. Apalagi bila tokoh di masa lalu tersebut merupakan seseorang yang ditokohkan oleh banyak orang, maka dapat dipastikan tidak mungkin menghindar dari penelitian dan pengujian oleh pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya. Belum lagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin sulit menutup informasi serapat mungkin disimpan.