Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pangeran Kecoa

21 Agustus 2013   09:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:02 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_282316" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: Kreasi Pribadi"][/caption] "Aduh... Kakak...!" Teriak Salma anak keduaku saat Zahra, kakaknya yang kini kelas III SMA, memindahkan chanel TV.

"Jangan lihat ini, dik. Jelek!" Jelas Zahra pada adiknya yang baru sekolah di taman kanak-kanak.

"Eng.... Bagus!" Rengek Salma sembari merebut remote TV dari tangan kakaknya.

"Acara itu nggak baik. Ini aja" Sergah kakaknya setelah memindahkan chanel TV ke acara dialog.

"Zahra, biarkan saja, sayang" Sahutku mendengar kedua anak gadisku ribut bertengkar.

"Acara jelek, yah! Itu cuma sinetron hayalan" Sanggahnya.

"Biarkan. Nggak apa-apa" Sahutku sambil terus bekerja di depan laptop.

"Itu tidak mendidik, ayah" sambungnya menirukan ucapakn anggota KPI saja.

"Nggak apa-apa" sahutku.

"Itu tidak baik ditonton, sayang" Jelas ibunya yang tiba-tiba datang mendamaikan.

"Adik nggak baik lihat acara kaya gini" Sambung ibunya lembut, tapi Salma terus saja merengek dan tak henti berusaha merebut remote TV dari tangan kakaknya.

Tak tahan dengan keributan yang tak kunjung usai, akupun beranjak dari meja kerja. "Sini. Biar ayah yang pegang remote" Sahutku sembari mengambil remote dari tangan Zahra.

Sejenak kemudian, aku pindahkan chanel ke acara sinetron, tapi sejenak kemudian berganti iklan.

"Ih.., ayah" sergah Zahra dengan raut kesal.

"Ayah juga suka cerita itu, sayang" jelasku santai.

"O... Pantes. Ada keturunannya" sergah anak gadis remajaku dengan wajah kian sewot.

"Ayah kok malah gitu, sih?" Sambung istriku.

"Itu cerita tidak mendidik, yah. Itu kan kaya cerita pangeran kodok, pangeran ikan, puteri angsa. ceritanya selalu sama. Dia dikutuk jadi binatang, lalu kembali menjadi manusia setelah menemukan puteri atau pengeran cantik yang mencintainya dengan tulus" Zahra menjelaskan lagi.

"Itu artinya kamu sudah nonton, kan? Adikmu kan belum? Jadi biarkan saja, sayang" bujukku.

"Idih... malah ngeledek. Ayah memang paling pinter ngeles" sergah anak gadisku.

"Itu cerita yang paling ayah suka, sebab ayah juga pernah jadi pangeran kodok, bahan pangeran kecoa", sahutku tenang.

"Bohong" Sergahnya lagi.

"Bener" Sahutku tenang.

"Ayah pernah main sinetron?" Selidiknya.

"Dulu belum ada sinetron" Kilahku.

"Drama?" selidiknya lagi.

"Emmm..., Semacam itulah" Aku menanggapi.

"Kok aku nggak pernah dengar ayah main drama?" Tanyanya lagi.

"Hahaha..., Ayah memang belum pernah cerita" Kilahku sembari tergelak. Dengan raut serius anak istriku diam memperhatikanku.

"Ini drama beneran" Sambungku.

"Mama juga ikut main, pa? Tanya anak bungsuku.

"Iya" Jawabku.

"Idih..., Mulai ngaco, pasti" Sergah Zahra tak percaya.

"He... Papa mau cerita beneran. Mau dengar, nggak?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Ntar, aku pikir-pikir dulu" Sergahnya sok jual mahal. Seketika suasana begitu senyap. Hanya terdengar suara TV yang volumenya tak seberapa keras.

"Waktu muda, ayah pernah jadi anak nakal. Ayah suka membuat kakek, nenek dan saudara ayah kesal, kecewa, karena meski dari kecil diajari agama, mengaji, tetapi perilaku ayah penuh dengan maksiat" Jelasku.

"Ayah cerita apaan, sih?" Sergah istriku mecoba menghentikan ceritaku.

"Tenang, sayang"

"Tapi, ya..." Istriku kembali berusaha menghentikan ceritaku.

"Sudahlah. Biar mereka juga belajar" sahutku.

"Oke ayah jelaskan lagi", sambungku lagi.

"Perilaku ayah masa itu penuh dengan kemasiatan, buruk, bahkan jahat. Kamu mengerti maksud ayah?" Tanyaku pada Zahra. Gadis itupun mengangguk tanda mengerti.

"Dengan berperilaku begitu, ayah tak pantas disebut manusia. Ayah mungkin lebih tepat disebut nyamuk yang suka mengisap darah, atau kodok yang suka berkubang kotoran, atau bahkan kecoa yang berwajah manusia" sambungku.

"Papa beruntung bertemu puteri cantik jelita ini" sambungku seraya merangkul pundak istriku. Segurat keki terlihat di wajah Zahra dan istriku, meski Salma terlihat belum memahami.

"Kalau bukan karena ketulusan cintanya, mungkin papa nggak bisa jadi manusia lagi seperti saat ini. Apalagi menjadi ustadz dan jadi panutan banyak orang" Jelasku lagi.

"Bener begitu, bu?" Tanya anak gadisku serius. Istriku hanya menganggup haru.

"Kisah-kisah masa lalu dibuat untuk mendidik anak-anak. Dikemas jadi cerita begitu supaya mudah diingat dan diceritakan. Karena itu, ajari adikmu bukan hanya dengan kekuatan kecerdasanmu, tapi juga ketulusan cintamu" Jelasku, yang disambut Zahra hanya dengan mengangguk-angguk.

"Papa pelnah jadi pangelan kecoa?" Tanya si kecil Salma yang masih cidal memecah keharuan.

"Hmm, sayang" sahutku mengiyakan.

"Kecoaknya segede apa?" Tanyanya yang membuat kami serentak tertawa, dan berebut menciuminya dengan gemas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun