"He... Papa mau cerita beneran. Mau dengar, nggak?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Ntar, aku pikir-pikir dulu" Sergahnya sok jual mahal. Seketika suasana begitu senyap. Hanya terdengar suara TV yang volumenya tak seberapa keras.
"Waktu muda, ayah pernah jadi anak nakal. Ayah suka membuat kakek, nenek dan saudara ayah kesal, kecewa, karena meski dari kecil diajari agama, mengaji, tetapi perilaku ayah penuh dengan maksiat" Jelasku.
"Ayah cerita apaan, sih?" Sergah istriku mecoba menghentikan ceritaku.
"Tenang, sayang"
"Tapi, ya..." Istriku kembali berusaha menghentikan ceritaku.
"Sudahlah. Biar mereka juga belajar" sahutku.
"Oke ayah jelaskan lagi", sambungku lagi.
"Perilaku ayah masa itu penuh dengan kemasiatan, buruk, bahkan jahat. Kamu mengerti maksud ayah?" Tanyaku pada Zahra. Gadis itupun mengangguk tanda mengerti.
"Dengan berperilaku begitu, ayah tak pantas disebut manusia. Ayah mungkin lebih tepat disebut nyamuk yang suka mengisap darah, atau kodok yang suka berkubang kotoran, atau bahkan kecoa yang berwajah manusia" sambungku.
"Papa beruntung bertemu puteri cantik jelita ini" sambungku seraya merangkul pundak istriku. Segurat keki terlihat di wajah Zahra dan istriku, meski Salma terlihat belum memahami.