Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi

29 Agustus 2019   22:03 Diperbarui: 29 Agustus 2019   22:17 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MATAHARI memancarkan cahaya tepat di atas ubun-ubun. Seorang pemuda dengan langkah cepat menuju utara. Di pinggangnya terselip keris tak ber-warangka, hanya dibungkus kain putih. Bungkusan itu sesekali dipegangnya. Ia memastikannya tidak jatuh, atau terlihat orang lain.

Ken Arok, pemuda jelata itu, ingin segera sampai di Tumapel. Ingin ia mengabdi di Pakuwon Tumapel. Dia yakin sekali untuk mencapai cita-citanya -menjadi seorang raja- harus dimulai dari bawah. Mulai menjadi seorang abdi atau parajurit misalnya.

Meski Ken Arok tidak menyukai pekerjaan itu. Ia lebih menyukai sebagai pencuri atau perampok. Seperti masa lalunya sebelum bertemu dengan Loh Gawe. Berkat didikan Loh Gawe-lah dia berubah menjadi pemuda baik dan bercita-cita luhur.

Di Tumapel, Akuwu Tunggul Ametung tanpa ragu-ragu menerima pengabdian Ken Arok. Pemuda desa itu pun mulai bekerja di Pakuwon Tumapel. Dengan cepat Ken Arok akrab dengan pekerjaannya. Para abdi lain pun menyenagi kerja Ken Arok, rajin dan cekatan. Sebenarnya, sifat rajinnya hanya untuk menarik perhatian majikan putrinya, Ken Dedes, istri Tunggul Ametung.

Di mata Ken Arok, Ken Dedes adalah bidadari. Mata malingnya selalu mencuri pandang saat melihat majikan putrinya lewat. Tak ada lekuk tubuh Ken Dedes yang luput dari perhatian mata Ken Arok.

Bidadari itu begitu sempurna. Ken Arok melihat cahaya yang meyilaukan mata dari bawah pusar Ken Dedes. Selalu, selalu bercahaya di mata Ken Arok. Sungguh dia bidadari yang kini bersemayam di Tumapel.

***

Keheningan malam dipecahkan oleh suara tangis bayi di Kaputren. Ken Arok terjaga dari tidurnya, membuat Kebo Ijo pun terjaga, namun hanya membalikkan tubuhnya lalu tidur lagi. Mata Ken Arok berkedip-kedip. Ia membayangkan, lusa akan melihat lagi sang bidadari lewat di depannya.

Seperti dulu, sebelum tambun karena hamil. Lama sekali Ken Arok menanti saat-saat itu. Saat bidadarinya berjalan dan menyapanya dengan senyum yang mampu melambungkan angannya. Lamunan Ken Arok terus melayang jauh hingga melampui puncak gunung Arjuna di sebelah utara.

Gejolak hati yang memendam cita-cita semakin meletup-letup. Bahkan kini bercampur birahi untuk memiliki sang bidadari Tumapel. Wanita yang rahimnya memancarkan cahaya, sangat pantas menjadi seorang permaisuri yang kelak akan menurunkan raja-raja.

Pikiran-pikiran itu terus berdesak-desakkan di kepala Ken Arok. Maka timbullah keinginan untuk memperistri Ken Dedes yang kini telah menjadi seorang ibu.

Hari-hari terus berlalu seiring dengan mengalirnya sang waktu. Otak Ken arok terus mengatur siasat.

"Bunuh Akuwu! Bunuh Akuwu!"

Suara-suara itu memenuhi dada dan kepalanya. Tiba-tiba Ken arok teringat dengan keris Empu Gandring. Dia ingat betul sumpah serapah Empu Gandring tatkala dadanya berlubang oleh keris buatannya sendiri keris pesanan Ken Arok, namun dicoba keampuhannya pada si pembuatnya.

Tangan Ken Arok bergetar memegang tangkai keris. Dipandanginya keris tanpa warangka itu.

"Bunuh Akuwu! Bunuh Akuwu!"

Suara itu kini sangat jelas. Ken Arok yakin keris itu yang bersuara. Tubuhnya berkeringat, tangannya bergetar. Dipandanginya keris itu dengan mata nanar. Rupanya kutukan Empu Gandring akan segera menjadi kenyataan. Keris itu haus darah manusia.

***

Kebo Ijo sangat bangga dengan keris di tangannya, keris pemberian Ken Arok. Ia pamerkan kepada setiap orang yang dijumpainya. Di tempat kerja, di rumah, bahkan di alun-alun Tumapel pun tak segan-segan dipamerkannya keris Empu Gandring kepada orang-orang.

Ada rasa puas tersendiri di hati Kebo Ijo. Pernah ada seseorang ingin membeli keris itu, namun Kebo Ijo tak memberikannya. Pesan Ken Arok, keris itu tak boleh dijual atau memberitahukan kepada orag lain bila Ken Arok yang memberinya.

"Mengapa tidak boleh? Bukankah kamu memperolehnya dengan cuma-cuma dari seorang sahabatmu?"

"Justru itu, Ki Sanak! Ini pemberian sahabat karibku, tidak pantas kan kujual?"

"Tapi keris sebagus ini sayang bila tak diberi warangka. Apa kamu sanggup memberi warangka yang cocok untuknya?"

Kebo Ijo tak mempedulikan lagi omongannya. Ia teruskan berjalan meninggalkan orang itu, kemudian berjalan menuju ke sudut lain alun-alun Tumapel.

Malam itu begitu pekat dan senyap. Kebo Ijo telah pulas mengunyah mimpi-mimpinya. Raut wajahnya masih menampakkan sisa-sisa rasa bangga karena telah memiliki sebuah keris ampuh pemberian Ken Arok. Semua orang kagum oleh katuranggan dan pamor keris buatan Empu Gandring itu.

Diam-diam Ken Arok menyelinap ke dalam istana. Segera dicarinya peraduan Akuwu Tunggul Ametung. Begitu diketemukan serta-merta Ken Arok mengendap-endap mendekati Akuwu. Dengan sebuah tikaman keras tangan Ken Arok, keris Empu Gandring menancap tepat di jantung Akuwu. Seketika tewaslah Akuwu dengan keris masih menancap di dadanya.

Begitu pagi merekah, gemparlah Tumapel dengan tewasnya sang Akuwu. Tak pelak lagi, orang-orang Tumapel menuduh Kebo Ijo sebagai pembunuh Akuwu. Mereka yakin karena Ken Arok memperlihatkan keris milik Kebo Ijo yang menancap di dada Tunggul Ametung.

"Bukan saya, bukan saya pembunuhnya!"

"Bohong! Bohong!" suara ramai orang-orang di alun-alun.

"He, Kebo Ijo! Teganya kau membunuh junjungan kita?"

"Bukan aku Ken Arok!"

"Tapi ini keris milikmu bukan?"

"Betul, tapi keris itu pemberian...agh!"

Sebuah tikaman memutus kata-kata Kebo Ijo. Ia tewas di tangan Ken Arok dengan keris Empu Gandring itu juga. Berhasilnya Ken arok menemukan pembunuh Akuwu dan sekaligus telah mengeksekusinya, maka Ken Arok mengangkat dirinya menggantikan kedudukan Akuwu Tunggul Ametung sebagai bupati Tumapel. Juga memperistri Ken Dedes, janda Tunggul Ametung yang di mata Ken Arok tetap seorang bidadari.

***

Sebagai seorang bupati, membuat Ken Arok semakin yakin akan cita-citanya menjadi seorang raja. Maka ketika ada tawaran dari para Brahmana Kediri untuk membantu mereka melawan Kertajaya, Ken Arok tak menolaknya. Peperanganpun pecah di Ganter.

Di tengah berkecamuknya perang, Ken Arok berhasil membunuh Kertajaya. Kini Kediri jatuh ke tangan Ken Arok. Ibu kota kerajaan dipindah ke Tumapel dan ia sebagai rajanya. Nama kerajaan diganti menjadi Singasari. Ia pun bergelar Sri Ranggah Rajasa sang Amurwabhumi.

Rajasa puas hatinya. Cita-citanya terwujud sudah. Anak petani sahaja ini menjadi raja. Didikan Loh Gawe ini benar-benar hebat. Meski dengan kelicikan dan tipu muslihat, kekejaman dan fitnah. Anak petani Desa Pangkur yang dulu menjadi penjudi dan pencuri ini kini telah berhasil membentuk sebuah negeri.

Meskipun telah berpermaisurikan Ken Dedes -bidadari yang rahimnya bercahaya- namun kecantikan Ken Umang mampu membangkitkan kelaki-lakiannya. Ken Umang pun dijadikan selir meski dengan syarat, kelak anak dari rahim Ken Umang-lah yang akan menggantikan Ken Arok sebagai raja Singasari.

Bukan Anusapati, anak Ken Dedes dengan Tunggul Ametung yang kini menjadi anak tirinya.

Tanpa disadari Ken Arok, kelicikannya telah dikalahkan oleh kelicikan Ken Umang, perempuan cantik penuh ambisi kekuasaan ini. Kini Sri Ranggah Rajasa, sang penakluk negeri itu telah ditaklukkan seorang gadis desa bernama Ken Umang. (*)

Lembah Tidar, Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun