"Justru itu, Ki Sanak! Ini pemberian sahabat karibku, tidak pantas kan kujual?"
"Tapi keris sebagus ini sayang bila tak diberi warangka. Apa kamu sanggup memberi warangka yang cocok untuknya?"
Kebo Ijo tak mempedulikan lagi omongannya. Ia teruskan berjalan meninggalkan orang itu, kemudian berjalan menuju ke sudut lain alun-alun Tumapel.
Malam itu begitu pekat dan senyap. Kebo Ijo telah pulas mengunyah mimpi-mimpinya. Raut wajahnya masih menampakkan sisa-sisa rasa bangga karena telah memiliki sebuah keris ampuh pemberian Ken Arok. Semua orang kagum oleh katuranggan dan pamor keris buatan Empu Gandring itu.
Diam-diam Ken Arok menyelinap ke dalam istana. Segera dicarinya peraduan Akuwu Tunggul Ametung. Begitu diketemukan serta-merta Ken Arok mengendap-endap mendekati Akuwu. Dengan sebuah tikaman keras tangan Ken Arok, keris Empu Gandring menancap tepat di jantung Akuwu. Seketika tewaslah Akuwu dengan keris masih menancap di dadanya.
Begitu pagi merekah, gemparlah Tumapel dengan tewasnya sang Akuwu. Tak pelak lagi, orang-orang Tumapel menuduh Kebo Ijo sebagai pembunuh Akuwu. Mereka yakin karena Ken Arok memperlihatkan keris milik Kebo Ijo yang menancap di dada Tunggul Ametung.
"Bukan saya, bukan saya pembunuhnya!"
"Bohong! Bohong!" suara ramai orang-orang di alun-alun.
"He, Kebo Ijo! Teganya kau membunuh junjungan kita?"
"Bukan aku Ken Arok!"
"Tapi ini keris milikmu bukan?"