Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemahat Rupadhatu

20 Agustus 2019   21:09 Diperbarui: 20 Agustus 2019   21:25 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah belasan abad aku di sini. Bersemayam di dinding kamulan ini. Kamulan agung tiada tara. Orang-orang menyebut kamulan agung ini dengan sebutan Candi Borobudur. Mereka juga menyebutnya sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Berabad-abad aku di sini. Karena aku tinggal di dalam karyaku sendiri. Aku masih dalam relief rupadhatu ini. Entah sampai kapan. Berjuta pasang mata telah menatapku. Berjuta tangan telah menyentuhku, dan entah berapa kali lampu kilat menyilaukan mataku.

Berapa kali abu Merapi melaburiku. Entah berapa kali. Aku masih dalam relief ini. Dalam karyaku sendiri, yang telah kupahat dengan keringat dan darahku.

Aku ingat sekali waktu itu. Utusan Gunadharma mendatangiku, memintaku untuk memahat di bangunan kamulan agung. Aku diberi tugas meneruskan pekerjaan pemahat yang belum usai.

Belum usai, karena pemahat itu keburu tewas, disengat terik matahari yang membakar tubuhnya yang tinggal tulang berbungkus kulit.

"Engkau harus meneruskan pekerjaan itu, Gandapala!" kata utusan Gunadharma.

"Maaf, Tuan. Hamba sudah tidak memahat lagi. Hamba tidak sanggup Tuan..."

"Apa?! Kamu berani menolak perintah raja? Oh, celaka kamu, Gandapala!"

Aku memang telah lama tak memahat. Aku sedang mendalami ajaran-ajaran ayahku. Beliau menginginkan apa yang dituntutnya di negeri Kapilawastu dan telah diwariskan kepadaku dapat aku dalami dan aku amalkan. Memadamkan segala api nafsu duniawi.

"Prajurit! Seret orang ini dan bawa menghadap Gusti Prabu!"

***

Perintah itu adalah awal siksaan yang kutanggung. Sepanjang hari, sepanjang waktu. Aku dibawa menghadap raja. Aku diperintah Gunadharma memahat dinding candi. Aku meneruskan relief kisah Jataka Awadhana. Relief-relief penghias rupadhatu, penghias tempat pemujaan agung. Kamulan yang akan menjadi bukti kejayaan wangsa Syailendra.

Aku sangat tersiksa. Hatiku teriris-iris sepanjang napas. Betapa tidak? Aku berada di antara ribuan manusia yang sibuk bekerja, di bawah ketakutan. Memikul batu, mendorong batu, memecah batu, memahat batu. Mata mereka kuyu, tubuh kotor berdaki. Dan sendi-sendi menyembul seakan ingin merobek kulit yang membalutnya.

Batinku tersayat-sayat, oleh geletar cemeti mengiringi erangan-erangan memilukan. Tubuh-tubuh berdarah bergelimpangan. Aku melihat lautan anyir keringat bercampur darah di sekelilingku.

Laut yang mengapungkan tubuh-tubuh tak bernyawa. Melepas jiwa demi sang penguasa. Aku semakin tersiksa dengan pemandangan itu, kesewenang-wenangan penindasan manusia atas manusia. Meski kubutakan mataku, meski kutulikan telingaku. Namun aku tidak dapat membutakan mata hatiku dan menulikan nuraniku.

***

Aku masih memahat Jataka Awadhana. Entah telah berapa depa panjangnya, aku tak dapat mengukurnya. Aku tak dapat pergi ke mana-mana. Cambukan cemeti akan mendarat di punggungku bila aku berlama-lama istirahat. Aku dijaga ketat oleh dua prajurit kekar. Aku harus terus memahat. Tidak beda dengan orang-orang disekelilingku. Mereka terus menyemut. Ribuan semut yang mengangkat batu.

Suara palu dan pahat di tanganku telah dapat meredam geletar cemeti dan erangan pilu. Ayunan tanganku tak mampu mencegah nyawa-nyawa yang melayang. Setiap saat di kelilingku selalu ada geletar cemeti melukis tubuh. Erangan yang merobek langit dan darah yang mengalirkan jiwa ke dalam sayatan-sayatan sanubari.

Aku sangat terkejut ketika harus memahat kisah kehidupan para pelayar. Pelayar dengan bahita di tengah-tengah samudra. Bahita, sebuah perahu besar, seperti yang membawa ayah manakala beliau menuntut ilmu ke negeri Kapilawastu. Aku masih ingat ciri-ciri bahita. Perahu besar yang ditumpangi ayahku.

Tanganku mulai menarikan pahat di dinding batu, memahatkan Jataka Awadhana dari kisah ke kisah. Adegan-adegan kehidupan dunia, kehidupan yang akan kutinggalkan. Kehidupan semu yang penuh gelimang kesenangan menyesatkan. Bukan kehidupan abadi yang kudamba melalui pemadaman nafsu dunia mencapai nirwana.

Meski penuh derita jalan ke sana. Meski aku harus mengalaminya. Meski itu harus kuselesaikan Jataka Awadhana dan Gandawyuha. Aku sadar memang hidup adalah pengorbanan.

***

Kupahat relief bahita di tengah samudra. Pahatku menari-nari di dinding batu. Mengikisnya menjadi kisah. Adegan itu terus dipengaruhi luapan perasaanku. Perasaan yang timbul akibat keadaan di sekelilingku. Penindasan, kesewenang-wenangan, dan kekuasaan yang mencabik-cabik perikemanusiaan. Merobek-robek hati nuraniku.

Relief telah jadi. Sebuah pemandangan romantika pelayanan di tengah samudra. Manusia-manusia yang melawan maut. Bahita yang dihempas badai! Relief ini penuh dengan adegan mengerikan, seperti suasana di sekelilingku. Sebuah tragedi yang menimpa makhluk bernama manusia.

"Apa maksud pahatan ini, Gandapala?"

Tanya Gunadharma -- sang arsitek candi ini -- kepadaku.

"Hamba Gusti. Inilah lukisan kehidupan pelayar di tengah samudra dengan sebuah bahita, Gusti."

"Mengapa lukisannya seperti ini?"

"Ampun Gusti, hamba sangat dipengaruhi oleh perasaan hamba saat ini."

"Apa maksudmu?"

"Hamba serasa sedang berada dalam bahita itu, Gusti. Hamba mendengar deburan ombak, gelegar petir, dan hempasan badai yang dahsyat."

"Kamu jangan mengigau, Gandapala. Sekarang kamu berada di kamulan agung, Pahatanmu sungguh tak sesuai dengan Jataka Awadhana atau Gandawyuh."

"Ampun, Gusti. Hamba merasa pahatan ini juga melukiskan kehidupan manusia. Dan hamba merasa gambaran itu sedang terjadi saat ini, Gusti."

"Maksudmu?"

"Ampun, Gusti. Bukankah kamulan ini ibarat bahita? Dan kita di sini sebagai awak bahita itu? Kita mendengar suara petir dari ujung-ujung cemeti, kita melihat geliat ombak dari ribuan tulang-tulang berbungkus kulit ..."

"Aku tak mengerti maksudmu, Gandapala."

***

Aku merasa kewalahan. Ternyata sang arsitek Candi itu tak mengerti apa yang aku maksudkan. Perumpamaan-perumpamaan itu seakan tak menyentuh hati nuraninya.

"Begini, Gusti. Bahita ibarat sebuah negara. Apabila sang pemimpin bahita tetap berpedoman pada mata angin, mampu membuat rukun awak bahitanya, berbuat adil kepada mereka, niscaya bahita akan melaju mencapai tujuan pelayaran, namun sebaliknya ..."

"Sebaliknya apa, Gandapala?"

"... Bila sang pemimpin tak lagi berpegang mata angin, membiarkan penindasan terjadi di atas geladak, sang juru mudi semaunya sendiri mengarahkan bahita. Maka tinggal menunggu waktu saja. Badai akan menenggelamkan bahita ke dasar Samudra ..."

"Apakah yang kau maksud tentang negeri ini, Gandapala?"

"Saya kira Gusti lebih mengerti ..."

Gunadharma meninggalkan tempat itu dengan meninggalkan isyarat yang tak dapat kutangkap. Isyarat itu ditujukan kepada para pengawal. Aku sama sekali tak tahu kalau Gunadharma sangat marah mendengar penuturanku. Mungkin kata-kataku dianggap menghina sang penguasa. Aku dicambuk.

Entah berapa kali geletar cemeti mendarat di punggungku. Aku mencoba bertahan, meski pedih perih merajam sekujur tubuh. Penyiksaan itu diakhiri dengan...

"Agh!"

Sebilah keris menancap jantungku. Darah segar menyembur dari dadaku. Melaburi bahita di dinding batu. Kutinggalkan ragaku yang telah penuh garis-garis merah cemeti. Aku melihat jelas, tubuhku diseret bagai hewan buruan yang terpanah. Dicampakkan begitu saja, hingga lalat-lalat bersuka ria menghisap anyir darah.

Aku menjadi pemahat rupadhatu yang mati sia-sia di depan karyanya, yang melaburi pahatan dengan darah. Namun tak tercatat oleh sejarah. Aku menjadi korban kesekian, tumbal kamulan agung. Tumbal ambisi penguasa, tumbal kejayaan suatu wangsa.

Aku masih di sini, di relief ini. Entah untuk berapa abad lagi. Entah masih berapa wangsa lagi. Aku hanya mampu menanti dan menanti. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun