Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemahat Rupadhatu

20 Agustus 2019   21:09 Diperbarui: 20 Agustus 2019   21:25 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Perintah itu adalah awal siksaan yang kutanggung. Sepanjang hari, sepanjang waktu. Aku dibawa menghadap raja. Aku diperintah Gunadharma memahat dinding candi. Aku meneruskan relief kisah Jataka Awadhana. Relief-relief penghias rupadhatu, penghias tempat pemujaan agung. Kamulan yang akan menjadi bukti kejayaan wangsa Syailendra.

Aku sangat tersiksa. Hatiku teriris-iris sepanjang napas. Betapa tidak? Aku berada di antara ribuan manusia yang sibuk bekerja, di bawah ketakutan. Memikul batu, mendorong batu, memecah batu, memahat batu. Mata mereka kuyu, tubuh kotor berdaki. Dan sendi-sendi menyembul seakan ingin merobek kulit yang membalutnya.

Batinku tersayat-sayat, oleh geletar cemeti mengiringi erangan-erangan memilukan. Tubuh-tubuh berdarah bergelimpangan. Aku melihat lautan anyir keringat bercampur darah di sekelilingku.

Laut yang mengapungkan tubuh-tubuh tak bernyawa. Melepas jiwa demi sang penguasa. Aku semakin tersiksa dengan pemandangan itu, kesewenang-wenangan penindasan manusia atas manusia. Meski kubutakan mataku, meski kutulikan telingaku. Namun aku tidak dapat membutakan mata hatiku dan menulikan nuraniku.

***

Aku masih memahat Jataka Awadhana. Entah telah berapa depa panjangnya, aku tak dapat mengukurnya. Aku tak dapat pergi ke mana-mana. Cambukan cemeti akan mendarat di punggungku bila aku berlama-lama istirahat. Aku dijaga ketat oleh dua prajurit kekar. Aku harus terus memahat. Tidak beda dengan orang-orang disekelilingku. Mereka terus menyemut. Ribuan semut yang mengangkat batu.

Suara palu dan pahat di tanganku telah dapat meredam geletar cemeti dan erangan pilu. Ayunan tanganku tak mampu mencegah nyawa-nyawa yang melayang. Setiap saat di kelilingku selalu ada geletar cemeti melukis tubuh. Erangan yang merobek langit dan darah yang mengalirkan jiwa ke dalam sayatan-sayatan sanubari.

Aku sangat terkejut ketika harus memahat kisah kehidupan para pelayar. Pelayar dengan bahita di tengah-tengah samudra. Bahita, sebuah perahu besar, seperti yang membawa ayah manakala beliau menuntut ilmu ke negeri Kapilawastu. Aku masih ingat ciri-ciri bahita. Perahu besar yang ditumpangi ayahku.

Tanganku mulai menarikan pahat di dinding batu, memahatkan Jataka Awadhana dari kisah ke kisah. Adegan-adegan kehidupan dunia, kehidupan yang akan kutinggalkan. Kehidupan semu yang penuh gelimang kesenangan menyesatkan. Bukan kehidupan abadi yang kudamba melalui pemadaman nafsu dunia mencapai nirwana.

Meski penuh derita jalan ke sana. Meski aku harus mengalaminya. Meski itu harus kuselesaikan Jataka Awadhana dan Gandawyuha. Aku sadar memang hidup adalah pengorbanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun