"Ampun, Gusti. Hamba merasa pahatan ini juga melukiskan kehidupan manusia. Dan hamba merasa gambaran itu sedang terjadi saat ini, Gusti."
"Maksudmu?"
"Ampun, Gusti. Bukankah kamulan ini ibarat bahita? Dan kita di sini sebagai awak bahita itu? Kita mendengar suara petir dari ujung-ujung cemeti, kita melihat geliat ombak dari ribuan tulang-tulang berbungkus kulit ..."
"Aku tak mengerti maksudmu, Gandapala."
***
Aku merasa kewalahan. Ternyata sang arsitek Candi itu tak mengerti apa yang aku maksudkan. Perumpamaan-perumpamaan itu seakan tak menyentuh hati nuraninya.
"Begini, Gusti. Bahita ibarat sebuah negara. Apabila sang pemimpin bahita tetap berpedoman pada mata angin, mampu membuat rukun awak bahitanya, berbuat adil kepada mereka, niscaya bahita akan melaju mencapai tujuan pelayaran, namun sebaliknya ..."
"Sebaliknya apa, Gandapala?"
"... Bila sang pemimpin tak lagi berpegang mata angin, membiarkan penindasan terjadi di atas geladak, sang juru mudi semaunya sendiri mengarahkan bahita. Maka tinggal menunggu waktu saja. Badai akan menenggelamkan bahita ke dasar Samudra ..."
"Apakah yang kau maksud tentang negeri ini, Gandapala?"
"Saya kira Gusti lebih mengerti ..."