SUDAH seminggu ini aku ditugaskan di Rumah Sakit Umum di kota ini. Sebagai seorang dokter pemerintah memang baru kali ini aku ditugaskan di sebuah rumah sakit besar. Sebelumnya aku bertugas diperbantukan di sebuah rumah sakit pembantu di kota asalku, yang tak jauh dari kota ini.
"Selamat pagi dokter?"
Sapa lembut pasien kamar 10 kepadaku. Dia seorang ibu seumuran ibuku. Sudah seminggu ini dia kurawat. Sakit karena kecelakaan. Selain luka parah saat dibawa ke ruang IGD, salah satu kakinya cidera.Â
Meski sudah seminggu berbaring, pasienku ini belum juga banyak bicara. Hanya menyapa dengan ucapan selamat pagi, selamat siang, atau selamat sore kepadaku.
Namun ada sesuatu yang membuatku kadang kikuk setiap memeriksanya. Dia menatap wajahku tiada lepas. Seolah dia mengenaliku namun enggan berkata-kata. Seperti pagi ini, dia mengucapkan salam dengan lembut. Tapi kali ini beda, dia mulai bercerita. Tentang kenapa dia kecelakaan hingga harus dirawat di rumah sakit ini.
"Sudikah dokter menemani saya selepas dinas nanti?"
"Maaf Ibu, saya sudah janji dengan suami dan anak saya, sore nanti mau membelikan mainan."
"Tolonglah dokter, kali ini saja."
"Coba nanti saya ijin suami dulu Ibu..."
Aku ingin sekali menghiburnya, namun aku juga tidak ingin mengecewakan anakku. Ada getaran aneh tatkala ibu ini memintaku menemani sambil memegang tanganku.
"Dokter selalu ijin suami?"
"Tentu Ibu. Kewajiban sebagai seorang istri. Ke mana pun harus seijin suaminya."
***
Hari berikutnya aku sengaja menemani Bu Rahma, pasien kamar 10, untuk sekedar menghibur dan mengobrol. Aneh, getaran-getaran itu muncul lagi saat aku memegang tangannya.
"Mungkin anak ibu sekarang sudah sedewasa dengan dokter."
Kata ibu ini setelah menceritakan bahwa dia pernah punya anak, namun sebelum anaknya lahir, ayah dari anak itu meninggal karena kecelakaan. Begitu anaknya lahir, anak itu diadopsi oleh seseorang di kota asalku.
Getaran di dada ini semakin kuat saat dia bercerita tentang anak perempuannya itu diadopsi orang. Untuk menutupi getaran itu aku pun menanyakan kepada pasienku sekenanya.
Pasien kamar 10 ini seusia ibuku. Cantik seperti ibuku meski usia mereka lebih setengah abad. Dia mengatakan bila hampir 30 tahun dia menyimpan rapat-rapat rahasianya. Tak seorang pun tahu bila dia pernah punya anak. Bahkan suaminya yang sekarang pun tidak tahu.
"Kenapa Ibu bercerita kepada saya Bu?"
"Ibu juga tidak tahu. Mungkin karena wajah dokter mengingatkan Ibu kepada wajah almarhum suami Ibu. Ayah dari anak Ibu itu, dok."
"Benarkah Ibu?"
Dia mengangguk dan obrolan pun segera kusudahi, kusarankan dia untuk beristirahat.
Sepanjang jalan aku teringat cerita pasien kamar 10 itu. Wajahnya, cara berceritanya. Sepertinya ingin menceritakan semua rahasianya kepadaku. Entah mengapa dia bercerita. Entah mengapa harus kepadaku. Sedangkan aku hanya dokter biasa. Yang merawat dan memperlakukan sama kepada para pasien.
***
Sampai di rumah kuceritakan pengalaman anehku kepada ibu. Dia menyimak dengan sesekali mengernyitkan dahi. Seolah ibu paham dengan pasien kamar 10 setelah kuceritakan ciri-cirinya.
Ibu pun bercerita bila perempuan yang memberikan bayinya kepada ibu 30 tahun lalu ciri-cirinya seperti pasien kamar 10 itu. Tapi apakah mungkin pasien itu adalah ibu kandungku? Sedangkan sejak memberikan bayinya, ibu dan ayahku tidak pernah lagi bertemu. Alamatnya pun tidak tahu di mana sekarang.
"Ibu hanya ingat wajahnya mirip ibunya. Perawakannya setinggi kamu. Wajahnya bulat berambut lurus. Namanya Rahma, itu yang Ibu ingat."
***
Hari ini aku dinas sore, sengaja aku datang ke tempat kerja pagi ini. Aku ingin ngobrol lagi dengan pasien kamar 10. Namun terkejutnya aku saat kudapati kamar itu telah kosong. Bergegas kutanyakan ke bagian administrasi.
"Maksud dokter pasien kamar 10 bernama Ibu Rahma, dok?"
"Iya betul. Sudah pulangkah dia?"
"Sudah dok. Sekitar dua jam lalu, ini catatannya."
Petugas administrasi menceritakan seorang laki-laki yang mengaku suaminya telah membawanya pulang tadi pagi. Ada seonggok kecewa di dada. Getaran-getaran aneh itu muncul lagi.Â
Benarkah pasien kamar 10 yang kurawat seminggu ini Bu Rahma seperti diceritakan ibuku kemarin? Perempuan yang melahirkanku? Semakin aku penasaran, getaran itu semakin menghebat di dadaku.
Semoga aku menemukannya lewat alamat di catatan pasien ini. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H