Dulu, guru adalah sosok yang dihormati. Tapi kenyataannya, survei terbaru yang dapat diakses secara publik mengenai perubahan tingkat penghormatan siswa terhadap guru di Indonesia masih terbatas.
Meskipun demikian, fenomena menurunnya otoritas guru dapat diamati dari meningkatnya kasus kekerasan terhadap tenaga pendidik. Banyak institusi pendidikan yang memilih menghindari konfrontasi dengan orang tua murid yang semakin protektif.
Guru yang berusaha menegakkan disiplin sering kali malah mendapat serangan balik, baik dari murid maupun orang tua mereka. Beberapa kasus bahkan menunjukkan bagaimana orang tua ikut melibatkan diri dalam kekerasan terhadap guru yang dianggap "terlalu keras"Â terhadap anak mereka. Â
Budaya Kekerasan yang Dinormalisasi Â
Lebih jauh, kita hidup dalam lingkungan yang, sadar atau tidak, menormalkan kekerasan. Media sosial penuh dengan konten perundungan, di mana pelaku malah mendapat atensi lebih banyak dibanding korban.
Film, game, bahkan kehidupan sehari-hari anak-anak saat ini dipenuhi dengan gambaran bahwa menjadi kuat berarti bisa mengintimidasi orang lain. Â
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal Societies menunjukkan bahwa anak-anak yang sering terpapar kekerasan di media memiliki kemungkinan lebih besar untuk menirunya dalam kehidupan nyata (Mle et al., 2014).
Jika setiap hari mereka melihat kekerasan sebagai bagian dari hiburan, apakah aneh jika suatu hari mereka menganggapnya sebagai solusi dalam kehidupan sosial? Â
Keprihatinan saja tidak cukup. Jika kita tidak ingin melihat lebih banyak video viral serupa, maka perbaikan harus dimulai dari berbagai aspek: Â
Pertama, pendidikan karakter yang serius. Tidak cukup sekadar teori. Pendidikan karakter harus diterapkan secara nyata, di mana sekolah tidak hanya mengejar nilai akademis, tetapi juga membentuk moralitas siswa. Jepang, misalnya, menerapkan pendidikan moral sejak SD sebagai bagian dari kurikulum utama (Bamkin, 2020). Â
Kedua, keterlibatan orang tua yang lebih baik. Orang tua harus memahami bahwa membiarkan anak tumbuh tanpa batasan bukanlah bentuk kasih sayang, melainkan membiarkan mereka tersesat. Kontrol yang sehat, komunikasi terbuka, dan keteladanan adalah kunci. Â
Ketiga, restorasi otoritas guru. Guru tidak boleh lagi menjadi pihak yang selalu dikorbankan. Sekolah dan pemerintah harus mendukung mereka dengan regulasi yang jelas terkait disiplin dan perlindungan tenaga pendidik. Â