Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fragmen Identitas, Guru sebagai Korban Krisis Pendidikan

1 Februari 2025   21:23 Diperbarui: 1 Februari 2025   21:31 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi resonansi pendidikan | Image by Kompas/Supriyanto

Miris. Kata yang tepat untuk menggambarkan video viral yang memperlihatkan seorang guru dikeroyok oleh murid-muridnya. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pembelajaran dan pembentukan karakter justru berubah menjadi arena kekerasan.

Lebih dari sekadar insiden, kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar "Bagaimana kondisi mental anak-anak ini di rumah? Seperti apa lingkungan yang membentuk mereka hingga mampu menyerang figur yang seharusnya mereka hormati?"

Kejadian ini bukan yang pertama. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan di lingkungan pendidikan masih tinggi.

Dari Januari hingga Agustus 2023, terdapat 861 kasus kekerasan di satuan pendidikan, dengan rincian: 487 kasus kekerasan seksual, 236 kasus kekerasan fisik dan/atau psikis, 87 kasus perundungan (bullying), 27 kasus terkait pemenuhan fasilitas pendidikan, dan 24 kasus terkait kebijakan pendidikan (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2023).

Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam pendidikan bukan lagi anomali, tetapi bagian dari pola sosial yang semakin mengkhawatirkan.  

Anak-Anak yang Tumbuh Tanpa Kendali

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus agresivitas remaja semakin sering muncul di media sosial. Banyak di antara mereka tumbuh dalam lingkungan yang minim kontrol emosional dan cenderung bebas tanpa bimbingan orang tua.

Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada tahun 2022, lebih dari separuh kasus kekerasan terjadi pada anak dan 34,27% pada anak berusia 13-17 tahun  (Amalia, 2023).

Meskipun data spesifik mengenai pola asuh tidak tersedia, angka-angka ini menunjukkan adanya masalah serius dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan.  

Lalu, bagaimana mental anak-anak ini di rumah? Jawabannya bisa beragam. Sebagian besar mungkin mengalami tekanan emosional tanpa ruang sehat untuk meluapkannya. Mungkin mereka tumbuh dalam rumah tangga yang penuh konflik, di mana kekerasan verbal atau bahkan fisik menjadi hal yang biasa.

Bisa jadi, mereka dibesarkan dalam lingkungan di mana menghormati orang lain bukanlah nilai yang diajarkan, melainkan bagaimana menjadi yang paling dominan agar tidak ditindas.

Sekolah yang Kehilangan Wibawa

Dulu, guru adalah sosok yang dihormati. Tapi kenyataannya, survei terbaru yang dapat diakses secara publik mengenai perubahan tingkat penghormatan siswa terhadap guru di Indonesia masih terbatas.

Meskipun demikian, fenomena menurunnya otoritas guru dapat diamati dari meningkatnya kasus kekerasan terhadap tenaga pendidik. Banyak institusi pendidikan yang memilih menghindari konfrontasi dengan orang tua murid yang semakin protektif.

Guru yang berusaha menegakkan disiplin sering kali malah mendapat serangan balik, baik dari murid maupun orang tua mereka. Beberapa kasus bahkan menunjukkan bagaimana orang tua ikut melibatkan diri dalam kekerasan terhadap guru yang dianggap "terlalu keras" terhadap anak mereka.  

Budaya Kekerasan yang Dinormalisasi  

Lebih jauh, kita hidup dalam lingkungan yang, sadar atau tidak, menormalkan kekerasan. Media sosial penuh dengan konten perundungan, di mana pelaku malah mendapat atensi lebih banyak dibanding korban.

Film, game, bahkan kehidupan sehari-hari anak-anak saat ini dipenuhi dengan gambaran bahwa menjadi kuat berarti bisa mengintimidasi orang lain.  

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal Societies menunjukkan bahwa anak-anak yang sering terpapar kekerasan di media memiliki kemungkinan lebih besar untuk menirunya dalam kehidupan nyata (Mle et al., 2014).

Jika setiap hari mereka melihat kekerasan sebagai bagian dari hiburan, apakah aneh jika suatu hari mereka menganggapnya sebagai solusi dalam kehidupan sosial?  

Keprihatinan saja tidak cukup. Jika kita tidak ingin melihat lebih banyak video viral serupa, maka perbaikan harus dimulai dari berbagai aspek:  

Pertama, pendidikan karakter yang serius. Tidak cukup sekadar teori. Pendidikan karakter harus diterapkan secara nyata, di mana sekolah tidak hanya mengejar nilai akademis, tetapi juga membentuk moralitas siswa. Jepang, misalnya, menerapkan pendidikan moral sejak SD sebagai bagian dari kurikulum utama (Bamkin, 2020).  

Kedua, keterlibatan orang tua yang lebih baik. Orang tua harus memahami bahwa membiarkan anak tumbuh tanpa batasan bukanlah bentuk kasih sayang, melainkan membiarkan mereka tersesat. Kontrol yang sehat, komunikasi terbuka, dan keteladanan adalah kunci.  

Ketiga, restorasi otoritas guru. Guru tidak boleh lagi menjadi pihak yang selalu dikorbankan. Sekolah dan pemerintah harus mendukung mereka dengan regulasi yang jelas terkait disiplin dan perlindungan tenaga pendidik.  

Terakhir, mengurangi paparan kekerasan di media. Regulasi yang lebih ketat terhadap konten media yang mengandung unsur kekerasan perlu ditegakkan. Orang tua juga harus lebih selektif dalam mengawasi konsumsi media anak-anak.  

Kita Semua Bertanggung Jawab

Miris, memang. Tapi miris saja tidak cukup. Pengeroyokan guru oleh murid adalah cermin dari apa yang telah kita biarkan terjadi dalam sistem pendidikan dan sosial kita. Jika kita tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan, kasus semacam ini akan menjadi hal biasa.

Dan saat itu terjadi, kita tidak lagi bisa hanya menyebutnya sebagai "insiden." Itu adalah tanda bahwa kita telah gagal sebagai sebuah masyarakat.  

Referensi

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun