Hipokrisi tidak hanya terjadi di tempat yang jauh dari kita. Dalam hubungan antarindividu, kita juga sering mengalaminya.Â
Kamu mungkin pernah menemukan orang yang menasihati kamu tentang pentingnya kesabaran, tetapi mudah marah saat menghadapi masalah kecil? Atau mereka yang mengatakan bahwa mereka selalu mendukung kamu, tetapi menghilang ketika kamu benar-benar membutuhkan bantuan?
Kenapa Kita Jadi Hipokrit?
Hipokrisi muncul dari berbagai faktor, tetapi salah satu penyebab utamanya adalah tekanan sosial. Kita hidup di dunia yang sering kali menilai orang dari penampilan luar.Â
Dalam survei oleh Darr dan Doss (2022), ditemukan bahwa  fenomena remaja yang menggunakan akun media sosial palsu (finsta) untuk mengekspresikan diri secara lebih autentik, yang bisa dianggap sebagai bentuk berpura-pura atau penyesuaian diri dengan ekspektasi sosial dalam kelompok.
Ada pula rasa takut akan penolakan. Orang lebih memilih menyesuaikan diri dengan norma kelompok daripada jujur pada diri sendiri. Sayangnya, hal ini hanya menciptakan kebohongan yang terus tumbuh. Â
Dampak Buruk Hipokrisi Â
Hipokrisi tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga menghancurkan diri kita dari dalam. Ketika seseorang terus-menerus berpura-pura, mereka kehilangan rasa autentisitas. Ini adalah kondisi yang disebut oleh psikolog Clark dan Beck (2010) sebagai "self-alienation,"Â di mana seseorang merasa terpisah dari identitas aslinya.
Lebih parah lagi, hipokrisi bisa menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketidakpercayaan. Ketika kita tahu bahwa orang lain sering berpura-pura, kita mulai meragukan niat baik mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang rapuh dan penuh kecurigaan.
Mengatasi Hipokrisi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Untuk keluar dari bayang-bayang hipokrisi, langkah pertama adalah refleksi diri. Tanya pada diri kamu, apakah nilai yang kamu yakini sudah tercermin dalam tindakan kamu? Jika belum, apa yang menghalangi kamu untuk konsisten?
Menurut Clark dan Beck (2010), terapi kognitif-behavioral bisa membantu individu mengatasi pola pikir yang bertentangan. Pendekatan ini melibatkan identifikasi keyakinan yang tidak konsisten dan menggantinya dengan keyakinan yang lebih sejalan dengan tindakan.
Di tingkat sosial, pendidikan tentang kejujuran dan integritas perlu diterapkan sejak dini. Anak-anak harus diajarkan bahwa menjadi diri sendiri jauh lebih penting daripada berpura-pura demi diterima oleh orang lain.
Fenomena hipokrisi begitu dekat dengan kita sehingga terkadang kita tidak menyadarinya. Saat kita memberi tahu anak-anak untuk tidak menggunakan gadget terlalu lama, tetapi kita sendiri sibuk dengan ponsel, kita sedang menjadi hipokrit. Ketika kita mengeluhkan polusi, tetapi tidak mau repot membawa kantong belanja sendiri, itulah bentuk kecil dari hipokrisi. Â