Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Realitas di Bawah Bayang Hipokrisi

31 Desember 2024   10:51 Diperbarui: 1 Januari 2025   15:14 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hipokrisi | Image by Kompas/Didie SW

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat kenyataan yang tampak begitu berlawanan. Ada orang yang berkata bahwa kejujuran adalah hal terpenting, tetapi justru membohongi orang lain.

Ada pula yang berkoar tentang pentingnya hidup sederhana, tetapi secara diam-diam memamerkan kemewahan di balik layar. Inilah fenomena yang disebut hipokrisi (sikap berpura-pura menjalani nilai tertentu, padahal perilakunya bertentangan).  

Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Personality and Social Psychology (Kalkstein et al., 2023), hipokrisi sering terjadi ketika seseorang merasa tertekan oleh norma sosial. Orang ingin diterima oleh kelompoknya, jadi mereka memalsukan sikap atau perilaku mereka demi terlihat "sesuai."

Akibatnya, mereka menjadi bagian dari lingkaran kebohongan yang tidak hanya merusak diri mereka sendiri, tetapi juga merugikan orang lain.  

Kita Semua Pelaku, Kita Semua Korban (dusta kolektif)

Sadarkah kita bahwa hipokrisi sering kali bukan hanya perilaku individu, melainkan fenomena bersama? Kita, secara sadar atau tidak, menjadi pelaku sekaligus korban. Contohnya sederhana, ketika kita memuji orang lain di depan, tetapi mengkritiknya di belakang. Atau saat kita mengeluhkan korupsi, tetapi tidak ragu melanggar aturan kecil seperti menerobos lampu merah.  

Penelitian dari Morrongiello & Mark (2008) menunjukkan bahwa orang yang terjebak dalam hipokrisi mengalami konflik batin yang tinggi. 

Mereka merasa bersalah karena tidak hidup sesuai dengan keyakinan mereka. Ini bisa berujung pada stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Di sisi lain, lingkungan sosial juga mendorong hal ini. Ketika kejujuran dihargai rendah, orang merasa perlu "menyembunyikan" diri mereka yang sebenarnya.

Hipokrisi bukan hal baru, dan kita melihatnya di berbagai tempat. Dalam dunia pendidikan, misalnya, kita sering mendengar kampanye tentang pentingnya pendidikan karakter, tetapi praktiknya? Anak-anak justru diajarkan bersikap kompetitif tanpa memperhatikan nilai-nilai etika.

Dalam politik, fenomena ini lebih mencolok. Seorang pemimpin bisa berbicara tentang transparansi, tetapi menutupi banyak hal dari publik. 

David Runciman dalam bukunya Political Hypocrisy: The Mask Of Power, From Hobbes To Orwell And Beyond (2008) menulis bahwa hipokrisi dalam politik adalah ancaman serius karena bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Hipokrisi tidak hanya terjadi di tempat yang jauh dari kita. Dalam hubungan antarindividu, kita juga sering mengalaminya. 

Kamu mungkin pernah menemukan orang yang menasihati kamu tentang pentingnya kesabaran, tetapi mudah marah saat menghadapi masalah kecil? Atau mereka yang mengatakan bahwa mereka selalu mendukung kamu, tetapi menghilang ketika kamu benar-benar membutuhkan bantuan?

Kenapa Kita Jadi Hipokrit?

Hipokrisi muncul dari berbagai faktor, tetapi salah satu penyebab utamanya adalah tekanan sosial. Kita hidup di dunia yang sering kali menilai orang dari penampilan luar. 

Dalam survei oleh Darr dan Doss (2022), ditemukan bahwa  fenomena remaja yang menggunakan akun media sosial palsu (finsta) untuk mengekspresikan diri secara lebih autentik, yang bisa dianggap sebagai bentuk berpura-pura atau penyesuaian diri dengan ekspektasi sosial dalam kelompok.

Ada pula rasa takut akan penolakan. Orang lebih memilih menyesuaikan diri dengan norma kelompok daripada jujur pada diri sendiri. Sayangnya, hal ini hanya menciptakan kebohongan yang terus tumbuh.  

Dampak Buruk Hipokrisi  

Hipokrisi tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga menghancurkan diri kita dari dalam. Ketika seseorang terus-menerus berpura-pura, mereka kehilangan rasa autentisitas. Ini adalah kondisi yang disebut oleh psikolog Clark dan Beck (2010) sebagai "self-alienation," di mana seseorang merasa terpisah dari identitas aslinya.

Lebih parah lagi, hipokrisi bisa menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketidakpercayaan. Ketika kita tahu bahwa orang lain sering berpura-pura, kita mulai meragukan niat baik mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang rapuh dan penuh kecurigaan.

Mengatasi Hipokrisi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Untuk keluar dari bayang-bayang hipokrisi, langkah pertama adalah refleksi diri. Tanya pada diri kamu, apakah nilai yang kamu yakini sudah tercermin dalam tindakan kamu? Jika belum, apa yang menghalangi kamu untuk konsisten?

Menurut Clark dan Beck (2010), terapi kognitif-behavioral bisa membantu individu mengatasi pola pikir yang bertentangan. Pendekatan ini melibatkan identifikasi keyakinan yang tidak konsisten dan menggantinya dengan keyakinan yang lebih sejalan dengan tindakan.

Di tingkat sosial, pendidikan tentang kejujuran dan integritas perlu diterapkan sejak dini. Anak-anak harus diajarkan bahwa menjadi diri sendiri jauh lebih penting daripada berpura-pura demi diterima oleh orang lain.

Fenomena hipokrisi begitu dekat dengan kita sehingga terkadang kita tidak menyadarinya. Saat kita memberi tahu anak-anak untuk tidak menggunakan gadget terlalu lama, tetapi kita sendiri sibuk dengan ponsel, kita sedang menjadi hipokrit. Ketika kita mengeluhkan polusi, tetapi tidak mau repot membawa kantong belanja sendiri, itulah bentuk kecil dari hipokrisi.  

Dalam skala yang lebih besar, kita melihat perusahaan yang memasarkan produk "ramah lingkungan," tetapi ternyata memiliki jejak karbon tinggi dalam proses produksinya. Kita juga melihat lembaga-lembaga besar yang berbicara tentang pentingnya kesetaraan, tetapi masih mempraktikkan diskriminasi secara diam-diam.

Kita Semua Bisa Berubah

Hipokrisi adalah bagian dari realitas yang sulit dihindari, tetapi bukan berarti tidak bisa diubah. Langkah pertama adalah keberanian untuk jujur, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Kita harus menciptakan lingkungan di mana kejujuran dihargai dan kepura-puraan tidak diperlukan.

Referensi

  • Kalkstein, D. A., Hook, C. J., Hard, B. M., & Walton, G. M. (2023). Social norms govern what behaviors come to mind And what do not. Journal of Personality and Social Psychology, 124(6), 1203-1229. https://doi.org/10.1037/pspi0000412
  • Morrongiello, B. A., & Mark, L. (2008). Practice what you preach: Induced hypocrisy as an intervention strategy to reduce children's intentions to risk take on playgrounds. Journal of Pediatric Psychology, 33(10), 1117-1128. https://doi.org/10.1093/jpepsy/jsn011
  • Runciman, D. (2008). Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond. Princeton: Princeton University Press.
  • Darr, C. R., & Doss, E. F. (2022). The fake one is the real one: Finstas, authenticity, and context collapse in teen friend groups. Journal of Computer-Mediated Communication, 27 (4), Article zmac009. https://doi.org/10.1093/jcmc/zmac009
  • Clark, D. A., & Beck, A. T. (2010). Cognitive Therapy of Anxiety Disorders: Science and Practice. New York: Guilford Press.  

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun