Aku hamil, hamil dalam keadaan sakit yang terindikasi ganas. Lalu harus apa sekarang? Otakku benar-benar kusut, sudah tidak mampu berfikir jernih.Â
Hanya mampu berdoa dan berharap, semoga hasil di Denpasar nanti tidak seberat ini. Semoga bukan seperti yang didiagnosis di kota kelahiranku. Semoga bukan.Â
Mei 2021
Profesor ahli Onkologi itu melihat kondisi payudaraku secara fisik, coba memeriksa benjolannya. Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya. Menghembuskan nafas berat yang tak kupahami artinya saat itu.Â
Setelah selesai pemeriksaan dengan penuh harap aku bertanya. "Bagaimana prof?". Beliau menatapku dan lalu berkata "biopsi ya, secara fisik ini Kanker, stadium 3. Tapi hasil pastinya kita lihat setelah biopsi nanti."
Seketika tubuhku lemas, orangtuaku berusaha menguatkanku dengan berbagai cara. "Tuhan, bagaimana anak-anakku jika aku harus berakhir dengan Kanker di tubuhku. Â Bagaimana jika aku kalah?"
Aku ingin menangis. Dadaku sesak sekali. Otakku lalu mulai menyuarakan penyangkalan demi penyangkalan, diikuti dengan hatiku.Â
Pasti salah, aku sehat, aku tidak Kanker, bahkan aku sedang hamil sekarang. Bagaimana bisa. Itu pasti salah. Kalimat-kalimat penyangkalan itu bermain-main di pikiranku, terus dan terus.Â
Mungkin dalam Five stages of grief aku masuk ke stage denial saat itu. Semua kemungkinan kusangkal. Yang aku percayai hanya pikiranku sendiri. Pikiran yang tidak terima keadaan.Â
Pikiran yang menyalahkan kebenaran. Sampai hasil PA tertulis resminya keluarpun aku masih saja berkutat pada penyangkalan itu. Hingga aku lelah.
I AM IN ANGER