Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cemamat (Cerita Malam Jumat) Bocah Lelaki di Kamarku

5 Januari 2023   20:20 Diperbarui: 5 Januari 2023   21:03 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Juliana (nama samaran). Aku tinggal di Kabupaten Indramayu Kecamatan Haurgeulis di sebuah Desa A. Aku ini termasuk salah satu orang yang biasa orang sebut punya kelebihan dalam melihat hal-hal yang tak kasat mata. Sependek ingatanku, aku mulai melihat mereka semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) tepatnya setelah aku mengalami sakit yang di luar nalar.

Rumahku bertempat di sebuah pemukiman yang lumayan padat dengan penduduk. Namun sebelum rumah ini dibangun, rumahku adalah lahan kosong yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Menurut cerita Nenek dan orang-orang sekitar, dulunya di hutan bambu ini memang terdapat penunggunya yang menyerupai seorang perempuan.

Awal mula kisah pertemananku dengan dia, seorang bocah yang mendiami kamarku, kurang lebih tiga atau empat tahun yang lalu berangkat dari sebuah kebiasaanku sebelum tidur yang harus mendengarkan musik terlebih dahulu.

Setiap malam, aku memang rutin mendengarkan radio yang ada di ponselku kemudian aku bisa tertidur. Hingga pada suatu malam, entah jam berapa aku tidak mengingatnya, tetapi tiba-tiba saja volume HP-ku terus berubah semakin kencang hingga memekakan gendang telingaku. Tanpa berpikir apapun aku mengambil ponselku dengan hati kesal kemudian mengecilkan volumenya.

Setelah kembali kusimpan, volume suaranya kembali mengeras lagi. Kuambil lagi, kemudian kuatur lagi volumenya menjadi lebih slow. Eh, volumenya malah semakin tak teratur. Dia terus saja membesar dengan sendirinya tanpa kusentuh. Hal itu membuatku semakin muak dan marah. Namun tak ada pikiran sama sekali bahwa aku tengah diganggu makhluk asing yang ada di kamarku. Saat itu aku masih bisa berpikir waras.

 “Oh, mungkin memang ponselku ini sudah eror,” pikirku dalam hati.

Akhirnya karena kesal, kumatikan saja ponselku, kusimpan di atas nakas lalu tertidur. Kejadian seperti itu kerap terulang setiap kali aku memutar radio, hal itu semakin menguatkan keyakinanku bahwa memang gadget-ku ini perlu di lem biru alias ganti dengan yang baru.

Beberapa hari kemudian, saat aku kembali memutar radio volumenya sudah seimbang. Tidak ada lagi suara yang tiba-tiba membesar kemudian mengecil lalu membesar lagi. Volumenya anteng-anteng saja seperti pada umumnya. Itu juga membuat aku terheran-heran karena beberapa hari ini gadget-ku ini tak bisa diatur. Eh, ternyata, kali ini bukan volumenya yang dimainkan, tetapi genre musik yang berubah-rubah. Seperti kaset kusut, seperti seseorang tengah sengaja memainkannya.

Ini sudah aneh dan di luar nalar. Bagaimana mungkin saluran radio tetiba berubah-rubah dengan sendirinya? 

Tak lama setelah itu, barulah dia menampakkan dirinya.

Entahlah ... Entah kapan tepatnya dia hadir di sini. Sekarang dan saat ini, dia ada bersamaku ... Di depan mataku.

Aku ... Tentu saja aku mati kutu. Apa aku harus menjerit atau menangis? Aku tidak tahu.

Satu hal yang pasti, bibirku terkatup rapat. Seluruh tubuhku menegang hampir tak bisa kugerakkan. 

Sett ... Gerakannya sangat cepat seperti angin yang entah tiba-tiba saja berdesir. Aku masih merasakan takut dan bergidik bahkan ketika aku menceritakannya. 

Tapi apa yang bisa kulakukan? Dia bahkan sudah tahu bahwa aku melihatnya. 

Aku hanya bisa menatapnya dan memperhatikannya sambil menahan gemetar di tubuhku. Bagaimanapun juga, aku tetaplah manusia yang diliputi perasaan takut saat dihadapkan dengan hal-hal yang gaib.

Seorang anak kecil yang sangat tampan, kulitnya putih, matanya sipit seperti orang cina. Bila kutaksir mungkin usianya sekitar 4 - 5 tahun, dan dia memakai jas hitam.

Pertama kali aku melihatnya, dia memiliki sedikit darah di bagian mata dan tangannya. Aku dapat merasakan jantungku yang berdebar dan bulu kudukku yang merinding hebat.

Saat itu, entahlah ... aku juga tidak tau apa dia datang dengan menembus pintu atau tembok kamarku. Dia sudah ada di dalam kamarku sambil terduduk memainkan boneka yang ada di sana. Setelah lima hari dia datang, aku jadi semakin terbiasa. Apalagi dia selalu menunjukkan diri dengan wajah tampannya itu. Bukan lagi wajah berlumurkan darah yang ia perlihatkan pertama kali.

Awalnya aku mengabaikan dia, aku juga berpikir bahwa aku dan dia punya tempatnya masing-masing di sini. Mau nggak mau, ya, tentunya kami ini berbeda. 

Dia juga tidak datang setiap hari atau datang di jam-jam tertentu. Kadang dia datang dua kali dalam seminggu, kadang seminggu berturut-turut, kadang aku yang memanggilnya untuk datang sendiri.

Kalian pasti berpikir bahwa aku ini sudah gila? Tapi hal ini tidaklah sering, aku hanya melakukannya saat bosan sama seperti yang sering dia lakukan.

Namun sesekali aku juga kesal, kejahilannya itu yang membuatku marah bahkan membuatku sampai geleng-geleng kepala. Dia menyukai semua mainan di kamarku. Dia memainkannya. Dia menggoyang-goyangkan boneka di kamarku, memutar radio sendiri, membesarkan volumenya semaunya, mencari lagu sinden bahkan pernah ketika tengah malam dia memutar lagu lengser wengi.

Siapa yang tak kesal dengan tingkahnya itu?

Setelah hampir dua minggu dia terus muncul di depanku, aku baru berbincang dengannya. Tetapi, aku melupakan namanya dan alasan kenapa dia meninggal. Yang aku ingat, dia selalu mengatakan kalau dia rindu dengan mami papinya. Saat pertama aku bertanya siapa namanya dan kenapa dia ada di kamarku, dia enggan menjawab. Dia lebih sering diam datang dengan wajah datar atau tiba-tiba menangis di sudut kamar.
Kedua kalinya aku bertanya, dia mau menjawabnya.

“Dek, kenapa kamu ada di sini? Bisa nggak, kamu cerita sama Kakak?” tanyaku.

Dia menjawab, “Aku di sini mengikuti Kakak. Aku suka sama Kakak. Boleh, Kakak jadi teman Adek?” tanyanya balik.

“Boleh, tapi Kakak boleh tau nggak, adek ini meninggalnya karena apa?”

Dia diam membisu kemudian menjawabnya dengan wajah menangis, “Kangen mami ... kangen papih.” 

Percakapanku dengannya hanya berlangsung sejauh itu.

Tentang dari mana dia bisa mengikutiku, aku pun tidak tahu. Tetiba saja dia ada di kamarku dan sering menampakkan wujudnya kapan saja yang ia mau, apalagi saat dia sedang kesepian. Bahkan di siang bolong pun, sekitar jam 12.00 dia pernah muncul. Biasanya, Jam 20.00 malam atau jam 02.00 pagi. Dia hampir menemaniku selama satu tahun lamanya. Dia bertingkah seperti anak kecil biasanya, jadi aku pun sama sekali tidak merasa takut ditambah dengan wujudnya yang tidak menyeramkan. Aku bahkan sempat memberinya nama.

Suatu hari, aku terbangun pukul 04.00 sebelum subuh karena ada janji untuk berangkat jogging bersama temanku, sontak dari arah depan jendela terdengar suara seorang lelaki paruh baya dan seorang perempuan tengah bertengkar. 

Padahal, aku hanya tinggal berdua saja dengan nenekku. Dan hanya aku yang mendengarnya. Aku tersadar mungkin itu adalah sebuah petunjuk bahwa mereka adalah orang tuanya yang selalu mementingkan keegoisannya masing-masing tanpa bisa meluangkan waktu untuk putranya. Dri yang aku dengar, sepertinya dia korban penculikan dan pembunuhan.

Semenjak saat itu, aku terus mendoakan dia agar bisa kembali ke tempat asalnya dengan tenang. Setelah satu tahun lamanya, dia tidak pernah muncul lagi. Aku pun tidak lagi merasakan kehadirannya di kamarku. Terakhir kali dia datang, dia tersenyum sambil mengucapkan kata terima kasih.

*****

Cerita di atas ditulis berdasarkan pengalaman nyata oleh narasumber. Cerita tersebut murni adanya tanpa melebih-lebihkan atau merubah suatu unsur, kejadian atau peristiwa.

Semoga terhibur 😇

Kamu punya pengalaman yang serupa atau cerita yang lebih menyeramkan lainnya? Boleh ceritakan pengalamanmu di kolom komentar 😉

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun