Entahlah ... Entah kapan tepatnya dia hadir di sini. Sekarang dan saat ini, dia ada bersamaku ... Di depan mataku.
Aku ... Tentu saja aku mati kutu. Apa aku harus menjerit atau menangis? Aku tidak tahu.
Satu hal yang pasti, bibirku terkatup rapat. Seluruh tubuhku menegang hampir tak bisa kugerakkan.Â
Sett ... Gerakannya sangat cepat seperti angin yang entah tiba-tiba saja berdesir. Aku masih merasakan takut dan bergidik bahkan ketika aku menceritakannya.Â
Tapi apa yang bisa kulakukan? Dia bahkan sudah tahu bahwa aku melihatnya.Â
Aku hanya bisa menatapnya dan memperhatikannya sambil menahan gemetar di tubuhku. Bagaimanapun juga, aku tetaplah manusia yang diliputi perasaan takut saat dihadapkan dengan hal-hal yang gaib.
Seorang anak kecil yang sangat tampan, kulitnya putih, matanya sipit seperti orang cina. Bila kutaksir mungkin usianya sekitar 4 - 5 tahun, dan dia memakai jas hitam.
Pertama kali aku melihatnya, dia memiliki sedikit darah di bagian mata dan tangannya. Aku dapat merasakan jantungku yang berdebar dan bulu kudukku yang merinding hebat.
Saat itu, entahlah ... aku juga tidak tau apa dia datang dengan menembus pintu atau tembok kamarku. Dia sudah ada di dalam kamarku sambil terduduk memainkan boneka yang ada di sana. Setelah lima hari dia datang, aku jadi semakin terbiasa. Apalagi dia selalu menunjukkan diri dengan wajah tampannya itu. Bukan lagi wajah berlumurkan darah yang ia perlihatkan pertama kali.
Awalnya aku mengabaikan dia, aku juga berpikir bahwa aku dan dia punya tempatnya masing-masing di sini. Mau nggak mau, ya, tentunya kami ini berbeda.Â
Dia juga tidak datang setiap hari atau datang di jam-jam tertentu. Kadang dia datang dua kali dalam seminggu, kadang seminggu berturut-turut, kadang aku yang memanggilnya untuk datang sendiri.