Zahra mengambil ponselnya lalu memotretnya untuk dikirimnya pada lelaki yang sudah sangat ia rindukan itu. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya ponselnya bergetar pertanda sebuah pesan masuk.
"Itu pasti dia," ucapnya saumringah.
Lamat-lamat ia terus menatapnya sambil menahan sesuatu yang sudah berkumpul di pelupuk matanya. Dadanya sesak, sesuatu seperti tengah menghantam jantungnya dengan keras.
AKU INGIN PUTUS!
"Brengsek!"
"Kau bajing*n!"
"Munafik!"
Tentu saja Zahra tidak mengatakan semua umpatan itu. Andai seonggak tubuh yang menyebalkan itu ada di hadapannya saat ini, ia sudah mengulitinya dengan semua makiannya. Ia akan menghancurkan seluruh tubuh itu dengan segala kutukannya.
Tapi apa?
Mulutnya dibungkam dengan tangis, semua makian dan hinaan itu hanya menggumpal di kerongkongannya. Lihat saja ia, meraung-raung sendirian seperti orang bodoh. Dunianya hancur. Seperti mengorek kembali luka yang telah lalu, kali ini luka itu sudah berbau dan berlubang. Bahkan kini bertambah lebar.
Zahra, perempuan tinggi berambut panjang itu meninggalkan Bandung sembari menggendong lukanya dengan setia. Dia membelah jalanan kota dengan motornya, dan kucuran air mata yang senantiasa menemani perjalanannya.