Semua kerapuhanku?
Semua kegilaanku selama ini yang menunggunya di gazebo setiap sore?
Semua kesakitanku selama ini karena merindukannya yang tak kunjung datang?
Aku memang mengharapkannya. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Bahkan aku belum sempat menanyakan kemana saja dia pergi. Undangan pernikahan ini telah membungkam taksa seluruh pertanyaanku untuknya. Seakan semua itu sudah tidak penting lagi. Setelah delapan belas tahun penantian, akhirnya dia datang merobek paksa jantungku, mengeluarkannya dari tempatnya dengan brutal.
Ken ....
Kamu benar, bahkan dia tidak pantas mendapatkan apapun dariku. Termasuk pernyataan cintaku.
Aku memberanikan diri menatapnya, menahan perih yang menyayat ulu hatiku, "Aku akan datang sebagai teman kecilmu."
Aku menjatuhkan kertas undangan yang tak tau diri ini dan berhambur ke dalam pelukannya. Aku tau, Ken sedari tadi memperhatikanku saat pertama kali Rio masuk ke dalam kamarku. Dan aku tidak tau, mengapa ada sebagian dari diriku yang terluka saat melihatnya menangisi air mataku yang kacau.
"Kenapa kamu pergi, Ken?" tanyaku memeluknya dengan suara parau.
Hanya itu yang keluar dari mulutku. Seakan aku tak terima atas perlakuannya kemarin yang telah meninggalkanku seorang diri. Aku tidak menampik rasa ini, aku kehilangannya. Dan aku tidak ingin terbiasa tanpanya.
"Aku tidak ingin membuatmu bingung dengan perasaanmu," jawabnya tanpa melepaskan sedikitpun pelukannya dariku.