Napasku semakin sesak. Air mataku membuncah, memaksa untuk keluar dari tempatnya saat ku sadar Ken kini telah pergi meninggalkanku.
Ken ...?
Apa benar ini tentang Ken?
Atau masih tentang dirinya?
Aku mengambil selembar foto usang yang tergeletak di atas nakas dengan kedua tanganku yang bergetar. Sekelebat kenangan kembali menguras kesadaranku.
"Ayo, kejar aku!" serunya yang terus berlari di bawah langit jingga menjauhiku.
"Rio ..., tunggu!" teriaku dengan napas terengah-engah.
Aku mengerahkan seluruh kekuatanku untuk mengejarnya. Namun tiba-tiba aku tersandung sebuah batu kecil hingga aku terjatuh. Dengan tergesa Rio berlari ke arahku, memeriksa kedua tangan dan kakiku hingga menemukan tetesan darah pada siku lengan kananku yang robek.
"Aw…!" rintihku meringis.
"Maafin aku, ca. Gara-gara aku kamu terluka," sesalnya.
"Ini bukan salah kamu. Aku saja yang tidak berhati-hati," jawabku tak ingin membuatnya merasa bersalah.