Sekarang saya akan menggunakan ketiga elemen ethos yang sudah saya ulas di atas untuk diterapkan pada pidato Prabowo:
- Inteligensi praktis: dalam rekaman tersebut, Prabowo mengemukakan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa Indonesia yang "terbelakang" (maaf, saya sulit mencari sebuah istilah pengganti yang lebih soft untuk menggambarkan maksud Prabowo).
- Karakter pribadi: ??
- Kemauan yang baik: Prabowo secara implisit melalui presentasi logis di atas memperlihatkan kemauannya untuk menjadikan bangsa Indonesia mencapai visi tersebut. Dan ini bisa disebut sebagai sebuah kemauan yang baik.
Dalam presentasi ethos-nya, saya belum melihat Prabowo cukup meyakinkan. Tanpa bermaksud memprsoalkan tentang benar atau salahnya, telah beredar cukup luas di media maupun di kalangan masyarakat luas mengenai "catatan-catatan hitam" Prabowo di masa lampau. Dan ini merupakan poin krusial yang luput dari presentasi ethos-nya.
Sebagai seorang retor yang baik, seharusnya dalam elemen ini Prabowo mengemukakan refutatio (penolakan, entah dalam bentuk klarifikasi atau apa pun) guna meyakinkan publik akan karakter pribadinya.
Saya menyebut hal ini poin krusial di atas karena bahkan sudah sejak para filsuf klasik, kredibilitas dan integritas itu tidak pernah bisa dipisahkan dari presentasi logis. Ada sebuah diktum dalam tradisi filsafat kuno bahwa tanpa kredibilitas dan integritas, semakin seseorang bicara benar, semakin ia dibenci!
Saya kira Prabowo mesti memperhatikan elemen ini jika ia ingin memenangkan Pilpres 2014!
Presentasi Pathos
Dalam rekaman tersebut, Prabowo mengakhiri pidatonya dengan membacakan puisi dari Chairil Anwar yang berjudul: "Kerawang-Bekasi". Sebuah puisi yang cukup kuat daya tariknya untuk membangkitkan emosi audiens akan semangat pengorbanan dan cinta akan Negeri bahkan ketika nyawa menjadi taruhan di ujung bedil. Sebuah puisi yang membangkitkan emosi positif audiens untuk melihat kemauan baik Prabowo guna meneruskan perjuangan para pahlawan yang telah tiada.
Penutup
Secara jujur saya harus mengulangi penegasan saya di awal tulisan ini. Prabowo adalah seorang orator yang baik. Dan kita bersyukur ada seorang putra bangsa yang memiliki kualitas seperti ini. Saya bukanlah seorang dikotomis yang memisahkan kata dan perbuatan. Keduanya sama-sama penting. Kata dan perbuatan tidak boleh dikompetisikan. Maka sekali lagi saya mengapresiasi kemampuan retorika Prabowo.
Hanya saja, saya dan mungkin juga banyak rakyat Indonesia yang lain meminta kepada Prabowo untuk menambahkan kepada retorika deliberatifnya elemen ethos yang tidak saya [atau kami] temukan di sana.
Masih ada waktu bagi Prabowo untuk menambal "kekosongan" di atas, jika memang ia berniat memenangkan hati sejumlah besar orang melalui retorika deliberatifnya. Pertanyaannya adalah:Â bersediakah Prabowo?