Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Membedah Pernyataan "Normatif" Jokowi

24 Januari 2015   20:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:27 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422097167350162662

[caption id="attachment_393034" align="aligncenter" width="560" caption="Presiden Jokowi/Kompasiana (sumber foto: Kompas.com)"][/caption]

Setelah "sukses" memperburuk citranya di hadapan publik dengan mengajukan prapengadilan untuk Budi Gunawan, kini, sekali lagi, Polri mempertontonkan kegegabahannya di hadapan publik. Sepakat dengan rekan Kompasiner Hendra Budiman, drama penangkapan Bambang Widjojanto kemarin, merupakan sebuah kriminalisasi. Entah kegegabahan apa lagi berikutnya!?

Konotasi negatif bagi "normatif"

Dampak dari "serangan balik" yang gegabah di atas, Jokowi pun menuai kritikan pedas terkait pernyataan resminya sebagai Presiden RI atas peristiwa penangkapan BW. Adalah Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, memberi konotasi buruk kepada istilah "normatif" dengan menyebut pernyataan Jokowi berintonasi lebih rendah dari ketegasan seorang RT. Hidayah tampaknya masih mengasumsikan bahkan belum move on dari julukan latah, "petugas partai" (baca artikel saya di sini).

Tak ketinggalan, sejumlah tulisan di Kompasiana pun ikut mengekor cercaan Hidayah. Jokowi dianggap sebagai biang semua kekacauan ini. Mereka berandai, Jokowi seharusnya tak mengusung BG sebagai calon tunggal Kapolri pada waktu itu. Lalu ketika terjadi "kericuhan", Jokowi malah memberi respons "normatif". Lagi-lagi, istilah "normatif" mendapatkan muatan konotatif yang negatif.

Saya paham dan mengapresiasi kandungan makna di balik cibiran tersebut. Mereka menginginkan Jokowi menentukan sikap. Tidak kelabu. Arahnya adalah, Jokowi seharusnya menyalahkan Polri [atau KPK juga?] secara terbuka yang mempertontonkan aksi kriminalisasi di atas.

Saya setuju dengan kandungan makna di atas, tetapi tidak setuju dengan cara yang diharuskan bagi Jokowi yang olehnya mereka menelorkan cibiran nan pedas itu. Saya memilih fleksibel untuk memberi ruang unik bagi Jokowi mengekspresikan maksudnya.

Saya bahkan berpendapat bahwa Jokowi memang menegor Polri atas aksi penangkapan BW. Saya akan memperlihatkannya di bawah ini.

Indikatif-imperatif

Dalam bidang apa pun, entah itu tulisan atau lisan, seyogyanya orang bergerak dari indikatif menuju imperatif. Indikatif adalah adalah sebutan teknis dalam dunia akademis yang merujuk kepada: fondasi, norma, acuan dasar, atau sejenisnya yang melandasi tindakan atau sikap. Selanjutnya, imperatif juga adalah sebuah istilah teknis. Sebutan ini merujuk kepada: perintah, himbauan, nasihat, arahan, dan instruksi yang landasannya adalah indikatif tadi. Istilah teknis yang sinonim dengan imperatif adalah paraenesis.

Dalam pernyataan resminya sebagai Presiden RI, kelihatannya Jokowi mengemukakan semata-mata imperatif, seperti yang saya kutip di bawah ini:

Sebagai kepala negara, saya meminta institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai aturan perundang-undangan yang ada [kalimat pertama].

Saya meminta agar institusi Polri dan KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugasnya masing-masing [kalimat kedua] (Sumber: kompas.com).


Sebenarnya tidak begitu. Jika Anda memperhatikan kalimat pertama di atas, teri-imply bahwa indikatif yang diasumsikan Jokowi adalah bahwa harus ada proses hukum yang objektif sesuai dengan UU. Atas dasar indikatif ini, ia mengemukakan imperatif atau paraenesisnya agar Polri dan KPK tidak saling gesek-menggesek. Gesek-menggesek di sini tentu dalam arti tidak melangar proses hukum yang objektif sesuai UU (indikatifnya).

Lalu, adakah yang salah dari  apa yang tereksplisit dari mulut Jokowi di atas? Tak ada! Jika istilah "normatif" dimaknai sebagai sesuai dengan norma atau yang bersifat norma, saya kira kandungan konotasi negatif di atas langsung terpental pada langkah pertama.

Rupanya mereka mengingkan tegoran. Dan for sure, teguran itu ada, hanya saja tidak dengan cara yang mereka inginkan. Silakan perhatikan ulasan saya pada bagian berikut ini.

Mirror reading

Dalam artikel kemarin, saya sudah menjelaskan tentang metode baca mirror reading. Di sini, saya akan menggunakannya sekali lagi.

Tanpa mengemukakannya secara eksplisit, pernyataan Jokowi di atas mencerminkan dua occasions (situasi spesifik) yang memprihatinkan.  Kalimat pertama di atas mengindikasikan keprihatinan Jokowi terhadap proses hukum yang tidak objektif. Kalimat kedua juga mencerminkan adanya gesekan yang tidak sesuai dengan proses hukum yang objektif (kalimat pertama). Saya kira, ini adalah cerminan keprihatinan Jokowi menyikapi drama "heroik" penangkapan BW.

Jika saya "membaca" secara tepat cerminan occasions tersebut, maka adalah sah untuk "memburu" referents (rujukan spesifik)-nya lebih lanjut. Hanya ada dua pihak yang disebutkan dalam konteks ini, yaitu KPK dan Polri. Pertanyaannya, apakah menurut Jokowi KPK atau Polri?; atau kedua-duanya sedang menjadi intonasi keprihatinan Jokowi di atas?

Saya belum memiliki cukup alasan untuk menyebut KPK termasuk di dalam keprihatinan itu. Sebaliknya saya justru melihat dalam terang hidden transcript Jokowi bahwa status tersangka yang didulang BG adalah bukti bahwa KPK secara tepat menangkap "maksud" Jokowi. BG adalah "pintu masuk" menuju jejaring pemilik rekening gendut di kalangan petinggi Polri (Majalah Tempo 2010)!

Berkiblat pada argumen Kompasianer Hendra Budiman di atas, termasuk argumen saya dalam tulisan terdahulu saya mengenai keblunderan Mabes Polri, saya kira kedua keprihatinan Jokowi tersebut merupakan "tamparan halus" bagi Polri, dalam konteks ini!

Jokowi adalah seorang politikus yang santun (dalam konteks kultur Indonesia). Di hadapan publik, ia dapat menegor tanpa melukai; ia dapat menampik tanpa mengecewakan terlalu dalam. Kita semua ingin menjadi diri kita sendiri, bukan? Lalu mengapa Jokowi tak boleh menjadi "dirinya sendiri" dalam berpolitik serta mengurus Negara besar ini?

De gustibus non est disputandum

Saya sengaja menampilkan satu kali lagi, peribahasa dalam bahasa Latin di atas yang berarti "dalam hal selera/cara/gaya, tak [perlu] ada perbantahan."

Peribahasa di atas penting dalam konteks ini ketika orang menyerang pernyataan Jokowi dengan intonasi kepada "cara" atau "style"-nya, namun tak menyimak secara teliti kandungan esensial dari pernyataan Jokowi di atas.

Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, seyogyanya kita memiliki ruang fleksibilitas yang cukup untuk membiarkan Jokowi mengekspresikan gaya kepemimpinannya dalam keunikannya. Rakyat Indonesia yang jumlahnya sekian ratus juta, dengan sekian ratus juta pula keinginan dan selera, jika menginginkan bahkan mengharuskan Jokowi memuaskan cara yang kita semua inginkan, betapa terpecah-belahnya tubuh Jokowi untuk memuaskan kita semua!

Dalam terang argumentasi tersebut, cibiran-cibiran di atas mungkin hanya cocok diterapkan di suatu dunia yang entah ada di mana. Saya tidak tahu eksistensi dunia semacam itu. Yang pasti, di dunia ini, tempat di mana kita berpijak dan hidup bahkan boleh meneriakkan cibiran itu, berlaku, sekali lagi, pepatah Latin di atas: de gustibus non est disputandum!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun