Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Membedah Pernyataan "Normatif" Jokowi

24 Januari 2015   20:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:27 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422097167350162662

Saya meminta agar institusi Polri dan KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugasnya masing-masing [kalimat kedua] (Sumber: kompas.com).


Sebenarnya tidak begitu. Jika Anda memperhatikan kalimat pertama di atas, teri-imply bahwa indikatif yang diasumsikan Jokowi adalah bahwa harus ada proses hukum yang objektif sesuai dengan UU. Atas dasar indikatif ini, ia mengemukakan imperatif atau paraenesisnya agar Polri dan KPK tidak saling gesek-menggesek. Gesek-menggesek di sini tentu dalam arti tidak melangar proses hukum yang objektif sesuai UU (indikatifnya).

Lalu, adakah yang salah dari  apa yang tereksplisit dari mulut Jokowi di atas? Tak ada! Jika istilah "normatif" dimaknai sebagai sesuai dengan norma atau yang bersifat norma, saya kira kandungan konotasi negatif di atas langsung terpental pada langkah pertama.

Rupanya mereka mengingkan tegoran. Dan for sure, teguran itu ada, hanya saja tidak dengan cara yang mereka inginkan. Silakan perhatikan ulasan saya pada bagian berikut ini.

Mirror reading

Dalam artikel kemarin, saya sudah menjelaskan tentang metode baca mirror reading. Di sini, saya akan menggunakannya sekali lagi.

Tanpa mengemukakannya secara eksplisit, pernyataan Jokowi di atas mencerminkan dua occasions (situasi spesifik) yang memprihatinkan.  Kalimat pertama di atas mengindikasikan keprihatinan Jokowi terhadap proses hukum yang tidak objektif. Kalimat kedua juga mencerminkan adanya gesekan yang tidak sesuai dengan proses hukum yang objektif (kalimat pertama). Saya kira, ini adalah cerminan keprihatinan Jokowi menyikapi drama "heroik" penangkapan BW.

Jika saya "membaca" secara tepat cerminan occasions tersebut, maka adalah sah untuk "memburu" referents (rujukan spesifik)-nya lebih lanjut. Hanya ada dua pihak yang disebutkan dalam konteks ini, yaitu KPK dan Polri. Pertanyaannya, apakah menurut Jokowi KPK atau Polri?; atau kedua-duanya sedang menjadi intonasi keprihatinan Jokowi di atas?

Saya belum memiliki cukup alasan untuk menyebut KPK termasuk di dalam keprihatinan itu. Sebaliknya saya justru melihat dalam terang hidden transcript Jokowi bahwa status tersangka yang didulang BG adalah bukti bahwa KPK secara tepat menangkap "maksud" Jokowi. BG adalah "pintu masuk" menuju jejaring pemilik rekening gendut di kalangan petinggi Polri (Majalah Tempo 2010)!

Berkiblat pada argumen Kompasianer Hendra Budiman di atas, termasuk argumen saya dalam tulisan terdahulu saya mengenai keblunderan Mabes Polri, saya kira kedua keprihatinan Jokowi tersebut merupakan "tamparan halus" bagi Polri, dalam konteks ini!

Jokowi adalah seorang politikus yang santun (dalam konteks kultur Indonesia). Di hadapan publik, ia dapat menegor tanpa melukai; ia dapat menampik tanpa mengecewakan terlalu dalam. Kita semua ingin menjadi diri kita sendiri, bukan? Lalu mengapa Jokowi tak boleh menjadi "dirinya sendiri" dalam berpolitik serta mengurus Negara besar ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun