Mohon tunggu...
Nara Bagus Darmawan
Nara Bagus Darmawan Mohon Tunggu... -

SMA Sampoerna Academy Bogor

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Analisis Unsur Intrinsik Cerpen "Naskah Kehidupan" dan Hikayat "Si Miskin"

18 Februari 2016   17:08 Diperbarui: 18 Februari 2016   17:29 7013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cerpen : Naskah Kehidupan

Orang bilang hidup itu singkat sekali, hari ini sedih esoknya bahagia. Hari ini bangga esoknya kecewa. Sudahlah, ini sudah naskah kehidupan. Jalani saja dengan ikhlas. Aku adalah salah satu anak yang menderita dibanding anak-anak lainnya di sekolahku. Namanya juga sekolah ternama, banyak orang dengan kekayaan melimpah bersekolah di tempat itu. Mereka bisa saja memenuhi keinginannya dalam sekejap. Menghabiskan uang, pindah dari satu kafe ke kafe lain pun membeli ini dan itu semuanya dilakukan semaunya saja.

Tapi aku berbeda, aku hanya orang yang beruntung bisa bersekolah di tempat ini. Tidak ada yang bisa dibanggakan, namun tidak berarti tujuanku tidak ingin membanggakan. Orangtua adalah prioritas utama, mereka juga salah satu semangat yang ku miliki saat aku berada pada titik kesedihan yang mendalam. Tidak, bukan ciri khasku berbagi semua pilu. Aku bahkan lebih suka memendam dibanding mengumbar. Pernah, ingin sekali ku berikan kalung untuk ibu sebagai hadiah untuk ulang tahunnya. Aku pun mencoba menabung selama satu bulan untuk memenuhi keinginan tersebut. Maka mengurangi pengeluaran adalah jalan terbaik untuk menambah pemasukan. Bahkan perlu mati-matian berjuang menahan lapar demi tujuan itu. Aku memang begitu jika sudah menginginkan sesuatu. Terus terang, aku menderita.

Suatu ketika saat sepulang sekolah aku melihat seorang anak yang menjual gorengan keliling mencari pembeli. Dulu setiap melihat anak-anak yang menjual seperti itu pikiranku selalu saja digerogoti oleh sebuah pertanyaan umum. Mengapa mereka melakukan hal itu? Bukankah di umur yang masih muda mereka seharusnya menempuh pendidikan yang layak? Aku memutuskan untuk memanggilnya dengan niat ingin membeli jualannya. Tapi sungguh itu bukanlah niat yang sebenarnya.

“Kemarilah Dik, berapa harga bakwannya?” aku mulai bertanya.
“Seribu rupiah Kak.” dia menjawab sebagaimana mestinya percakapan antara penjual dan pembeli. Aku pun mengambilnya dan meminta agar dia bersedia duduk menemani menghabiskan bakwan itu. Di sinilah tujuanku, sengaja membuatnya dekat agar aku bisa memberikan pertanyaan yang ingin sekali ku temukan jawabannya.

 “Kau masih sekolah?”

“Sudah tidak lagi.” ekspresinya seakan tidak suka dengan pertanyaan itu.
“Lalu kenapa harus putus sekolah?” aku belum menyerah.
“Sebelumnya bersekolah, sekarang jika aku masih sekolah maka seharusnya aku sudah

kelas 4 SD..” Dia mulai terbuka. “Lalu kenapa harus putus sekolah?” tanyaku lebih dalam lagi.
“Karena dulu aku tinggal di rumah Ayah, waktu itu Ayah menyuruhku menjaga hewan kesayangannya itu, namanya si beok. Dia burung yang sangat pandai. Namun karena ketiduran akhirnya entah bagaimana caranya burung itu lepas hingga membuat Ayah seketika marah dan mengamuk mengambil kayu lalu mengusirku dari rumah. Hanya karena itu.” kesedihan mulai terlihat jelas dari garis matanya.

“Lalu Ibumu?” aku belum puas dengan jawabannya.
“Ibu dan Ayah sudah lama bercerai. Ketika Ayah mengusirku aku langsung saja menemui Ibu di rumahnya, namun Ibu tidak punya cukup uang untuk membiayai sekolahku, akhirnya ku putuskan untuk berhenti bersekolah saat kelas dua, waktu itu umurku sudah delapan tahun. Aku benar-benar kasihan melihat Ibu..” Kali ini dia benar-benar tidak ragu bercerita.

Seketika hatiku tersentak mengetahui kisah itu. Aku bahkan sadar dalam sekejap, aku bukan orang yang paling menderita. Di luar sana, sangat banyak yang ingin bersekolah tapi mereka terbatas akan biaya. Seharusnya aku harus bersyukur dengan semua yang ku miliki saat ini. Keluarga, teman, cinta, dan kasih sayang dari mereka adalah sebuah anugerah yang harus ku jaga. Sejatinya Tuhan tahu yang kita butuhkan, kelak kita akan akan menemukan jawaban kenapa begini dan begitu ketika kita terus berusaha memahami hidup. Bukan hanya terus menuntut bilang ingin mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik.

 

Hikayat : Si Miskin

Alkisah maka tersebutlah perkataan Mara Karmah berjalan dua bersaudara itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis hendak minum susu, maka Mara Karmah pun menangis seraya berkata, “Diamlah adinda jangan menangis, karena kita orang celaka, di manakah kita boleh mendapat susu, lagi kita sudah dibuangkan orang.” Maka diberinyalah kepada adiknya ketupat itu sebelah, maka dimakannyalah. Maka ía pun diamlah. Maka sampai tujuh hari tujuh malam Ia berjalan itu, maka ketupat yang tujuh biji itu habislah dimakan oleh tuan Puteri Nila Kesuma itu, karena diberikannya kepada adiknya pagi sebelah, dan petang sebelah. Setelah habis ketupat itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis pula hendak makan. Maka diambil oleh Mara Karmah segala tarik kayu dan umbut-umbut dan buah-buahan kayu yang di dalam hutan itu yang patut dimakannya, maka diberikannya kepada saudaranya itu. Dan barang di mana ia bertemu dengan air, maka dimandikannyalah akan saudaranya.

Syahdan beberapa lamanya, ía berjalan itu, maka beberapa bertemu dengan gunung yang tinggi-tinggi dan padang-padang yang luas-luas, dan tasik yang berombak seperti lain, tempat segala dewa—dewa, peri mambang indera candara jin. Maka raja-raja jin di sanalah tempat bermain lancang, berlomba-lomba. Di sanalah ia banyak beroleh kesaktian, diberi oleh segala anak raja-raja itu, diangkat saudara oleh mereka itu sekalian akan dia dan beberapa ia bertemu dengan binatang yang buas-buas, seperti ular naga buta raksasa. Sekaliannya mereka itu memberi kesaktian kepada Mara Karmah.

Syahdan, beberapa ia melihat kekayaan Allah Subhanahu wa Ta’aIa berbagai-bagai dan ajaib-ajaib. Maka bertemulah ia dengan bukit berjentera, tempat segala raja-raja, dewa bertapa itu di sanalah tempatnya. Adapun Mara Karmah itu apabila ia bertemu dengan segala raja-raja itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun disembunyikannyalah. Dan jikalau ia bertemu dengan segala binatang yang buas-buas, maka didukungnyalah akan saudaranya itu, tiada diberinya lepas dari tubuhnya.

Hatta, dengan demikian, maka ia pun sampailah kepada sepohon kayu beringin, terlalu amat besar, dan adalah air turun dari atas gunung itu. Maka di sanalah ia berhenti dan memandikan saudaranya. Maka tiba-tiba, melayanglah seekor burung dari atas kepalanya, maka tuan Puteri Nila Kesuma pun menangis, minta ditangkapkan burung yang terbang itu. Maka Mara Karmah pun melompat, lalu disambarnya burung itu, dapat ditangkapnya, lalu diberikannya kepada saudaranya. Maka sukalah hati saudaranya itu sambil katanya, “Bakarlah kakanda burung ini kita makan!” Maka kata Mara Karmah, “Sabarlah dahulu tuan!” Maka kedengaranlah bunyi ayam berkokok sayup-sayup, karena hutan itu dekat dengan dusun orang negeri Palinggam Cahaya. Maka kata Mara Karmah kepada saudaranya itu, “Tinggallah tuan di sini dahulu, biarlah kakanda pergi mencari api akan membakar burung adinda itu” Maka sahut Puteri itu, “Baiklah kakanda pergi, jangan lama-lama kakanda pergi itu.” Maka dipeluk dan diciumnya akan saudaranya itu seraya katanya, “Janganlah tuan berjalan-jalan ke sana sini sepeninggal kakanda ini, kalau-kalau tuan sesat kelak tiada bertemu dengan kakanda lagi” Maka sahutnya, “Tiada hamba pergi kakanda.” Mara Karmah pun berjalan menuju bunyi ayam berkokok itu, tetapi hati Mara Karmah itu tiada sedap berdebar—debar rasanya, setelah sampai ia kepada dusun orang itu. Maka dilihatnya kebun orang dusun itu terlalu banyak jadi tanam-tanaman, seperti ubi keladi, dan tebu, pisang, kacang, dan jagung. Maka ia pun berjalanlah berkeliling pagarnya itu menanti orang yang empunya kebun itu. Ia hendak meminta api. Setelah dilihat oleh orang yang empunya kebun itu, maka katanya, “Anak si pencuri, demikianlah sehari-hari perbuatanmu mencuri segala tanam-tanamanku ini sehingga habislah jagung pisangku tiada berketahuan. Engkaulah yang mencuri. Maka sekarang hendak ke mana engkau melarikan nyawamu itu daripada tanganku sekarang; sedanglah lamanya aku menantikan engkau tiada juga dapat; baharulah sekarang aku bertemu dengan engkau.” Maka ia berkata-kata itu sambil berlari menangkap tangan Mara Karmah itu. Maka kata Mara Karmah, “Tiada aku lari, karena aku tiada berdosa kepadamu; bukan aku orang pencuri, aku ini orang sesat, datangku ini dari negeri asing hendak meminta api kepadamu.” Maka ditamparinyalah dan digocohnya akan Mara Kanmah itu seraya katanya, “Bohonglah engkau ini!” Maka kemala yang digendong oleh Mara Karmah yang diberi oleh bundanya itu pun jatuhlah dari punggungnya. Setelah dilihat oleh orang dusun itu, maka diambilnyalah, seraya katanya, inilah kemalaku engkau curi.’ Maka kata Mara Karmah itu, “Nyatalah engkau ini berbuat aniaya kepadaku” Maka ia pun terkenanglah akan saudaranya yang ditinggal di dalam hutan seorang dirinya itu, Maka katanya dalam hatinya, “Wahai adinda tuan, betapa gerangan hal tuan sepeninggal kakanda ini kelak, karena dianiaya oleh orang, matilah kakanda tiada bertemu dengan tuan lagi. ”Maka ia pun menangis terlalu sangat, lalu rebah pingsan tiada khabarkan dirinya. Maka kata orang dusun itu, “Apa yang engkau tangiskan, sebab salahmu; itulah balasnya engkau makan jagungku” Maka dilihatnya segala tubuh Mara Karmah itu habis bengkak-bengkak dan berlumur dengan darah, dan tiada ia bergerak lagi. Maka pada sangka orang dusun itu, sudahlah mati rupanya, maka diikatnyalah dengan tali dari bahunya sampai kepada kakinya, seperti orang mengikat lepat, demikianlah lakunya ia mengikat Mara Karmah itu. Setelah sudah diikatnya, maka diseretnyalah, dibawanya ke tepi taut, lalu dibuangkannya ke dalam laut itu. Maka ia pun kembalilah ke rumahnya.

 

 

Analisis unsur intrinsik cerpen “Naskah Kehidupan“ dan hikayat “Si Miskin“

1.      Tema

Dalam cerpen “Naskah Kehidupan“ dan hikayat “Si Miskin“, tema yang diambil oleh si penulis yaitu tentang bersyukur. Terlihat dari si penulis menceritakan tentang betapa banyak orang yang tidak seberuntung kita.

2.      Tokoh dan penokohan

Ø Cerpen “Naskah Kehidupan“ mempunyai tokoh bernama Aku, Adik, dan Ayah

o   Aku mempunyai sifat empati yang tinggi terhadap anak yang tidak seberuntungnya. Terlihat bahwa Aku menanyakan tentang mengapa putuh harapan sekolahnya.

o   Adik memiliki sifat terbuka. Terlihat dari Adik selalu menjawab pertanyaan Aku dengan tidak malu malu.

Ø Hikayat “Si Miskin“ mempunyai tokoh Mara Karmah, Puteri Nila dan Pemilik Kebun

o   Mara Karmah bersifat penyayang, tekun, dan pemberani.

Bukti :

1.                  Maka diberinyalah kepada adiknya ketupat itu sebelah, maka

dimakannyalah. Dan barang di mana Ia bertemu dengan air, maka dimandikannyalah akan saudaranya.

2.                  Di sanalah ia banyak beroleh kesaktian, diberi oleh segala anak raja-raja itu

3.                  ”Tiada aku lari, karena aku tiada berdosa kepadamu

o   Puteri Nila Kesuma bersifat cengeng

Bukti:

1)      . . . maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis hendak minum susu.

2)      Setelah habis ketupat itu, maka tuan Puteri Nila Kesuma itu pun menangis pula hendak makan.

o   Pemilik kebun bersifat ceroboh dan pemarah.

Bukti:

Maka ditamparinyalah dan digocohnya akan Mara Karmah itu seraya berkata, “Bohonglah engkau ini!”.

4.      Latar

o   Latar tempat

Peristiwa dalam cerpen “Naskah Kehidupan” terjadi di Sekolah, Penjual Bakso, dan Rumah si Adik. Sedangkan dalam penggalan hikayat “Si Miskin” terjadi di tempat-tempat yang dilalui Mara Karmah selama perjalanan (gunung, padang luas, tasik, dusun).

o   Latar waktu

Peristiwa dalam hikayat “Si Miskin” terjadi pada keseluruhan waktu (pagi, siang,sore, dan malam). Sedangkan dalam cerpen “Naskah Kehidupan” tidak dijelaskan secara mendetail.

5.      Sudut pandang

Sudut pandang kutipan cerpen “Naskah Kehidupan” yaitu orang pertama serba tahu. Terlihat bahwa penulis menggunakan kata “Aku” dan mengetahui semua kejadian dalam cerpen tersebut.

Sudut pandang kutipan hikayat tersebut yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu karena pengarang adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh cerita dengan menyebutkan nama atau kata ganti ia, dia, dan mereka.

6.      Alur

Alur dalam cerpen “Naskah Kehidupan” adalah alur maju. Pertamanya, si penulis menceritakan tentang kehidupan si Aku di sekolah, lalu tiba tiba bertanya ke  pedagang bakso dan kemudian si anak kecil pedagang bakso itu menceritakan tentang kejadiannya secara alur maju.

Alur hikayat “Si Miskin” beralur maju. Hikayat tersebut menceritakan awal penderitaan Mara Karmah. Kemudian, cerita perjalanan Mara Karmah dengan berbagai pengalaman.  Terakhir, peristiwa pemilik kebun menyakiti Mara Karmah karena dituduh mencuri.

 

7.      Amanat

Amanat dari cerpen “Naskah Kehidupan” diatas yaitu kita hendaknya melihat orang orang yang tidak seberuntung kita dan wajib untuk bersyukur dan saling menjaga kerukunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun