Sebenarnya, banyak produsen yang menginginkan regulasi tentang EPR itu bisa dilaksanakan. Mereka punya kemampuan untuk patuh pada sistem EPR. Namun, ketiadaan sistem dan kelembagaan yang bisa bertanggung jawab mengelola EPR 'membuat mereka seolah enggan melaksanakan EPR. Dampaknya, produsen barang dan kemasan yang merupakan produsen sampah yang sebenarnya teralienasi dari barang dan kemasan yang mereka buat setelah jadi sampah.
Terlebih ada komunitas atau kelompok yang bisa memanfaatkan sampah barang atau kemasan mereka. Maka mereka semakin lepas tanggung jawab dari sisa produknya karena sudah tercipta pasar di kalangan pedaur ulang. Padahal seharusnya produsenlah yang mengkoordinir daur ulang itu, bukan masyarakat. Tapi, karena tidak ada regulasi yang mengikat kuat untuk tanggung jawab produsen, maka terjadilah mekanisme pasar itu.
Untuk sampah barang atau kemasan yang bernilai di dalam pasar yang tercipta memang aman untuk sementara. Masalah akan timbul nanti suatu saat jika pasar sudah jenuh. Dan masalah besar lainnya adalah sampah barang dan kemasan lain yang tidak laku di pasar. Sampah-sampah itu harus berakhir di TPA, tempat sampah ilegal, dan badan-badan air seperti sungai, danau, laut, dan pantai.
Keuntungan terbesar jika UUPS direvisi adalah dengan memperkuat pasal 21. Yaitu tentang insentif bagi setiap orang/badan hukum yang melakukan pengurangan sampah, dan disinsentif pada orang/badan hukum yang tidak melakukan pengurangan sampah.
Dari semua regulasi di Indonesia hanya UUPS yang memiliki pasal insentif meski sistemnya belum paten atau bahkan belum ada. Jadi tidak salah jika UUPS merupakan salah satu UU terbaik di Indonesia. Memperkuat pasal 21 ini akan menjadi solusi bagi masalah sampah di Indonesia.
Jika setiap orang diberi insentif atas usahanya mengurangi sampah, pasti setiap orang mau melakukan pengurangan sampah di rumahnya. Demikian juga dengan dunia usaha produsen barang dan kemasan. Mereka pasti mau repot jika mengurangi sampah dengan cara mendaur ulang sampahnya itu bisa menyebabkan mendapat insentif.
Insentif bagi perorangan dapat berupa uang tunai atau voucher lain yang berguna secara perorangan. Insentif bagi dunia usaha dapat berupa pengurangan pajak atau kemudahan-kemudahan lainnya yang bermanfaat pada bisnisnya.
Begitu juga dengan disinsentif. Masyarakat yang sudah memperoleh fasilitas pengelolaan/pemilahan sampah baru bisa disanksi dengan dikenai disinsentif yang tinggi jika tidak tertib. Tidak seperti saat ini di mana disinsentif menjadi berupa retribusi. Dan masyarakat melihat retribusi itu sebagai uang jasa membuang sampah. Kekacauan yang menahun ini harus segera dihentikan dengan melaksanakan pasal 21 secara tersistem.
Sebagaimana masyarakat, dunia usaha pasti tidak akan berani berbuat tidak tertib jika pasal 21 ini diperkuat. Mereka pasti akan memilih mendapat insentif daripada disinsentif. Karena sifat dasar insentif sebagai punishment harus melampaui kemampuan objek yang akan disanksi atau dihukum.
Revisi UUPS Menentukan Masa Depan Lingkungan Indonesia
Hasil untung atau rugi dari revisi UUPS ada di tangan eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR RI). Kita hanya bisa berharap ada perbaikan ke depan berdasarkan regulasi dan pelaksanaan regulasi itu sendiri oleh pemerintah.Â