Pasal 13 dan 14 sangat saling berkaitan. Fasilitas pemilahan dan pengolahan sampah mesti dibangun dan disediakan oleh pengelola kawasan. Pada sektor swasta atau kawasan komersil, pengelola kawasannya berarti direktur, manajer, developer dari kawasan itu. Sementara pada kawasan pemukiman atau di bawah pengelolaan pemerintah, pengelola kawasannya minimal Ketua Rukun Tetangga (RT).
Jika Ketua RT tidak mampu memfasilitasi, maka Ketua Rukun Warga (RW) harus turun tangan. Kalau Ketua RW tidak mampu, Lurah atau Kepala Desa yang harus bertindak. Lurah atau Kepala Desa tidak mampu juga, maka minta pada Camat. Camat tidak bisa, minta pada Bupati. Bupati tidak bisa, minta pada Gubernur. Gubernur tidak bisa, minta pada Menteri. Menteri tidak bisa, minta pada Presiden sebagai pengelola kawasan Indonesia.Â
Presiden tidak bisa, minta pada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). PBB juga tidak bisa, maka selesailah upaya di dunia. Tinggal menunggu pertolongan Tuhan.
Pasal 14 tentang pelabelan dan tanda pada barang atau kemasan untuk keperluan guna ulang dan daur ulang juga pasal krusial yang harus diperkuat dalam revisi UUPS. Sebab, faktanya banyak dunia usaha yang memproduksi barang dan kemasan tanpa label dan tanda. Hal ini sangat menyulitkan bagi upaya pengurangan dan penanganan sampah.
Kondisi ini terjadi karena tidak ada ketegasan hukum dari regulator (pemerintah). Ketegasan itu tidak ada karena tidak adanya sistem pengelolaan sampah. Satu-satunya sistem adalah angkut dan buang ke TPA. Sehingga, dunia usaha yang memproduksi barang atau kemasan tanpa label dan tanda tidak perlu bertanggung jawab pada tujuan pengurangan dan penanganan sampah. Toh dibuang ke TPA.
Jika pasal ini diperkuat, maka tidak akan lagi barang atau kemasan yang beredar tanpa label dan tanda. Keberadaan label dan tanda berfungsi minimal dua. Pertama, untuk meningkatkan kuantitas daur ulang berdasarkan label dan tanda.Â
Kedua, menjadi dasar disinsentif bagi barang dan kemasan yang tanpa label dan tanda. Sebab, barang dan kemasan tanpa label dan tanda pasti tidak bisa didaur ulang dan berakhir di TPA. Oleh karena itu, produsennya harus membayar mahal atas dampak lingkungan yang disebabkan barang atau kemasannya.
Pasal 15 tentang tanggung jawab produsen pada barang atau kemasannya yang tidak bisa terurai secara alami adalah pasal yang paling riskan. Pasal ini mungkin adalah inti dari UUPS. Kaitannya dengan Extended Producer Responsibility (EPR).Â
Tanggung jawab produsen barang dan kemasan setelah dipakai konsumen. Hingga saat ini EPR di Indonesia sangat amat rancu perjalanannya. Amanat untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk secara detil membahas tentang pasal 15 ini tak kunjung dibuat.
Koordinator bidang lingkungan yang mengurus sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini belum ada geliat merancang PP untuk pasal 15 itu. KLHK baru membuat PermenLHK No.P.75/2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Isinya, produsen diminta menyusun, mengumpulkan, dan melaksanakan peta jalan untuk mencapai target pengurangan sampah oleh Produsen sebesar 30% pada tahun 2029.
KLHK mengklaim PermenLHK No.P.75/2019 sebagai regulasi EPR, pelaksanaan dari amanat pasal 15 UUPS. Padahal, jelas-jelas pasal 15 UUPS mengamanatkan PP bukan Permen yang tidak lintas sektor dan kementerian itu. Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) bersama Institut Teknologi Yogyakarta (ITY) pernah mengusulkan rancangan PP tentang EPR pada tahun 2020 pada KLHK, Kementerian Maritim dan Investasi, Sekretariat Negara, Komisi IV DPR RI hingga Badan Legislasi DPR RI, namun tidak mendapat respon.