Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Banyak Edukasi Sampah tapi Tidak Berubah

11 September 2024   20:05 Diperbarui: 12 September 2024   11:37 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas adalah pertanyaan seorang siswa peserta edukasi pengelolaan sampah di Jakarta.

Dalam dua hari ini (10-11 September 2024) Saya diberi kesempatan untuk memberikan materi edukasi pilah olah sampah untuk 1.000.000 pelajar di Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh Komunitas World Cleanup Day (WCD) Jakarta bersama Lions Club, Sekolah Sampah Nusantara (SSN), Suku Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta dan banyak lagi sponsor pendukung lainnya.

Yang mengejutkan dari kegiatan itu adalah begitu banyak siswa-siswi sekolah SD, SMP, SMA, dan SMK yang begitu antusias mengikutinya. Mereka dengan tertib mengikuti materi yang saya sampaikan sekitar 1,5 jam. Setelah pemaparan materi, dibuka sesi tanya jawab.

Begitu banyak pertanyaan yang disampaikan para murid sekolah itu. Mulai dari bagaimana membentuk bank sampah sekolah, fungsi bank sampah sekolah, kenapa harus ada peraturan pengelolaan sampah hingga ke mana sampah terpilah dan bernilai ekonomis akan dijual ketika sudah terkumpul. Meski sejumlah pertanyaan itu sudah saya jelaskan dalam materi paparan, saya tetap menjawabnya dengan senang.

Namun, ada beberapa pertanyaan kritis dari siswa-siswi itu. Di antaranya ada tiga yang saya ingat. Antara lain dibawah ini:

1. Kenapa kondisi persampahan di Indonesia tidak berubah, padahal sudah banyak sekali seminar, edukasi, dan sosialisasi tentang pengelolaan sampah dilakukan?

2. Bagaimana peran teknologi persampahan di Jepang dan kenapa kita tidak meniru teknologi Jepang supaya Indonesia bersih seperti Jepang?

3. Apakah asap sampah dari teknologi pembakaran sampah di Singapura sama berbahayanya dengan pembakaran sampah biasa di Indonesia?

Meski bisa dijawab dengan singkat, saya memilih untuk menjawab dengan panjang kali lebar. Supaya menjadi pengetahuan bagi para murid dan bapak ibu gurunya yang ikut menyimak.

Edukasi pengelolaan sampah online pada sejuta siswa di Jakarta. (Dokumentasi pribadi)
Edukasi pengelolaan sampah online pada sejuta siswa di Jakarta. (Dokumentasi pribadi)

Hanya Edukasi tanpa Tindak Lanjut

Jawaban untuk pertanyaan pertama. Pertanyaan yang sangat kritis itu pasti muncul dari fakta bahwa selama ini memang sangat banyak acara dan kegiatan tentang persampahan. Semuanya berbicara tentang pengelolaan sampah, pengurangan sampah, dan target-target Indonesia menjadi negara bersih dan bebas sampah.

Benar adanya bahwa banyaknya acara dan kegiatan tentang edukasi atau penyadaran tentang masalah sampah itu seakan-akan tidak bermanfaat. Penyebabnya, tidak ada tindak lanjut dari acara dan kegiatan tersebut.

Sering saya jelaskan bahwa acara atau kegiatan edukasi dan penyadaran pengelolaan sampah itu hanya satu bagian dari 6 aspek pengelolaan sampah. Acara atau kegiatan edukasi pengelolaan sampah itu adalah salah satu bagian dari aspek peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Dalam meningkatkan partisipasi masyarakat mengelola sampah itu ada banyak lagi bagian lainnya. Seperti bagaimana memberikan insentif pada masyarakat yang mengelola sampah, bagaimana mendampingi masyarakat, dan beberapa kegiatan lainnya yang terkait.

Kalau sektor dari aspek peningkatan partisipasi masyarakat sudah dilakukan, maka masih ada 5 aspek lainnya yang harus dilakukan juga secara simultan. Yaitu, aspek regulasi, aspek pembiayaan, aspek kelembagaan, aspek teknologi, dan aspek bisnis. 

Nah, selama ini edukasi pengelolaan sampah jarang sekali ditindaklanjuti dengan bagian-bagian lain dari aspek peningkatan partisipasi masyarakat. Jika aspek peningkatan partisipasi masyarakat tidak tuntas dilakukan, maka aspek lainnya juga pasti tidak bisa dilakukan.

Seminar, edukasi, dan sosialisasi pengelolaan sampah sebenarnya tetap bermanfaat. Yaitu mengubah pola pikir dan meningkatkan kesadaran untuk mengelola sampah. Namun, perubahan pola pikir dan kesadaran itu belum mencapai perubahan perilaku dalam mengelola sampah. 

Sebab, untuk mengubah perilaku diperlukan fasilitas yang memadai, sistem yang berjalan, program yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Jadi, meskipun orang sudah tahu, paham, mengerti, dan sadar, perilaku masih belum berubah karena belum ada regulasi yang mengikat, belum ada fasilitas untuk mengelola sampah, belum sistem yang berjalan, dan belum ada reward & punishment yang jelas.

Jika setiap orang diberi fasilitas pengelolaan sampah setelah edukasi, perilaku akan berubah. (Dokumentasi pribadi)
Jika setiap orang diberi fasilitas pengelolaan sampah setelah edukasi, perilaku akan berubah. (Dokumentasi pribadi)

Pertanyaan murid sekolah itu mestinya bisa menjadi sinyal bagi semua pihak. Terutama pihak-pihak yang selama ini hanya melakukan edukasi dan sosialisasi tentang pengelolaan sampah. Anak-anak sekolah sudah melihat ketidakseriusan dari kegiatan edukasi tersebut. 

Selama ini masyarakat sering dipersalahkan karena tidak kunjung berubah perilakunya pada sampah. Padahal sudah sering diedukasi dan disadarkan melalui seminar dan kegiatan lainnya. Menyalahkan masyarakat karena tidak mengelola sampah secara regulasi jelas keliru.

Dalam pasal 13 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) sudah jelas bahwa penyediaan fasilitas pengelolaan sampah dilakukan oleh pengelola kawasan.

Siapa pengelola kawasan itu?

Rujukannya adalah pemerintah. Baik itu Pemerintah RT, RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi hingga Pemerintah Pusat. Jika pemerintah telah menyediakan sistem yang di dalamnya ada regulasi, fasilitas, pembiayaan, kelembagaan, dan bisnis, maka perilaku masyarakat pun akan berubah pada pengelolaan sampah. 

Warga Jepang Memilah Sampah Manual 

Jawaban untuk pertanyaan kedua. Jepang adalah negara yang sangat serius mengelola sampah. Berdasarkan literatur, Jepang sangat serius karena menjadikan sampah sebagai bahaya bagi kesehatan. Keberadaan sampah dinilai sebagai sumber berkembangnya vektor jahat yang bisa merusak kesehatan warga. 

Jika warga Jepang sakit, maka produktivitas menurun. Jika produktivitas menurun, ekonomi lemah. Kelemahan ekonomi akan menyebabkan masalah yang lebih besar lagi bagi Jepang. Oleh karena itu, sampah harus diurus dengan serius.

Menurut orang Jepang yang saya kenal dan orang Indonesia yang lama tinggal di Jepang, di sana tidak ada teknologi pemilahan sampah. Sampah dipilah di setiap rumah di Jepang. Orang Jepang membeli dua kantong sampah di toko-toko dekat rumah mereka. Satu kantong untuk wadah sampah anorganik, dan satu kantong lagi untuk wadah sampah organik.

Pengangkutan sampah di Jepang ada jadwalnya. Ada waktu untuk khusus mengangkut sampah anorganik, dan waktu lainnya untuk mengangkut sampah organik. Sampah diangkut dari titik tertentu di setiap kampung atau distrik. 

Ketika akan diangkut, petugas memeriksa setiap kantong. Apakah sudah sesuai dengan jadwal pengangkutan sampah. Jika ada yang tidak sesuai, misalnya ada yang membuang sampah organik saat pengangkutan sampah anorganik, maka semua sampah di distrik itu tidak akan diangkut oleh petugas. Demikian juga jika adalah salah satu saja kantong yang di dalamnya masih ada sampah tercampur.

Kesalahan satu orang akan menyebabkan kerugian bagi banyak orang. Satu orang salah memilah sampah atau salah jadwal sampah, maka sekampung akan menanggung kesalahan itu dengan tidak diangkutnya seluruh sampah. Hal itu sebagai bentuk hukuman sosial. Agar antarwarga bisa saling memberi tahu, saling mengingatkan, dan mengawasi.

Sampah yang diangkut selanjutnya bukan untuk dibuang ke TPA. Sampah itu dibawa ke lembaga pengolahan sampah yang ada di setiap distrik juga. Sampah anorganik akan dipilah detil lagi secara manual untuk didaur ulang. Terakhir, lembaga pengelola sampah di Jepang memilah sampah hingga 18 item untuk didaur ulang.

Untuk sampah organik juga dibawa ke instalasi pengolahan sampah untuk didaur ulang jadi pupuk organik. Tidak ada yang terbuang dan hampir 100 persen sampah didaur ulang. Semua pemilahan sampah dilakukan secara manual di sumber sampah (rumah-rumah warga) dan di tempat pemilahan sampah detil untuk selanjutnya dikirim ke pabrik daur ulang.

Di Indonesia sebaliknya. Orang berlomba-lomba membuat mesin pemilah sampah. Supaya masyarakat di rumah-rumah tidak repot memilah sampah. Dengan begitu, kebiasaan tidak memilah sampah tidak perlu dihilangkan. Toh di tempat pengumpulan sampah nanti ada mesin pemilah sampah.

Faktanya, mesin pemilah sampah dalam bentuk apapun tidak bisa maksimal memilah sampah. Sudah pasti, sampah yang tercampur dari sumbernya tidak akan maksimal terpilah. Apalagi dengan jenis dan karakteristik sampah di Indonesia yang banyak mengandung air dari sisa makanan (sampah organik). 

Berdasarkan pengalaman di lapangan, sampah yang sudah tercampur hanya bisa diolah maksimal 20 persen. Sejumlah penelitian menyatakan hanya 5-7 persen sampah bisa didaur ulang dari sampah yang sudah tercampur dari sumbernya. Maka sisa dari sampah yang tidak bisa didaur ulang itu harus dibuang ke TPA. Menjadi gunung sampah di TPA.

Selain berlomba membuat mesin pemilah sampah, di Indonesia juga berlomba membuat mesin untuk membakar sampah. Mulai dari membakar sampah dengan teknologi sederhana sampah membakar sampah untuk dijadikan energi listrik. Ini lagi-lagi supaya masyarakat tidak perlu memilah sampah di rumahnya. Masyarakat tetap boleh membuang sampah yang tercampur-campur organik dan anorganik. Toh nanti di tempat pengumpulan sampah akan dibakar habis.

Kenyataannya, mesin-mesin pembakar sampah itu tidak mampu membakar sampah yang begitu banyak. Apalagi sampah Indonesia basah. Lebih basah lagi kalau musim hujan. Jangankan mesin pembakar sampah sederhana, mesin pembakar sampah dengan teknologi canggih dan ratusan miliar saja tidak mampu membakar seluruh sampah dari masyarakat. Maka jangan heran kalau banyak teknologi pembakaran sampah dibangun dekat TPA. Itu untuk memudahkan membuang sampah yang sulit dibakar langsung ke TPA.

Itulah alasan kenapa tetap banyak sampah di TPA meskipun sudah ada teknologi mesin persampahan. Mesin-mesin itu tidak mampu mengejar produksi sampah dari masyarakat setiap hari. Belum lagi kalau rusak, untuk biaya perbaikannya sangat mahal. Sehingga, banyak pihak yang awalnya mengandalkan mesin, ketika mesinnya rusak mereka tidak mampu memperbaiki dan buang sampah ke TPA lagi.

Yang perlu ditiru dari Jepang dalam pengelolaan sampah adalah sistemnya. Karena justru di negara produsen berbagai mesin berteknologi tinggi itu sampah dipilah dan dikelola secara manual. Sampah dipilah dengan tangan manusia, bukan dengan mesin. Dan sampah hasil pilihan didaur ulang, bukan dibakar.

Dampak Pembakaran Sampah

Pada 2009 Indonesia menjadi salah satu peserta dalam Konvensi Stocholm. Yaitu, suatu perjanjian internasional yang fokus pada pencegahan dan eleminasi polutan organik persisten (POPs). Polutan ini adalah zat kimia berbahaya yang dapat bertahan lama di lingkungan, terakumulasi dalam rantai makanan, dan menimbulkan risiko kesehatan manusia.

Para aktivis lingkungan menyimpulkan bahwa konvensi itu secara eksplisit melarang membakar dan mengubur sampah. Karena pembakaran dan penguburan sampah pasti menghasilkan POPs. Asap dari membakar sampah akan jadi aerosol (partikel padat) yang centang perenang di udara. Partikel itu bisa menempel di mana pun lalu masuk ke sistem pencernaan manusia atau pernafasan manusia.

Teknologi pembakaran sampah di Singapura memang canggih. Ada mekanisme untuk menahan asap hasil pembakaran sampah untuk dijadikan energi atau dimasukkan ke tanah. Namun, secanggih apapun mekanisme penahanan dan penangkapan asap pembakaran sampah itu, tetap saja akan ada aerosol yang lolos. Kalau tidak lolos ke udara, maka aerosol itu masuk ke tanah.

Aerosol sesedikit apapun tetap berdampak pada lingkungan dan manusia. Nah, jika dalam jumlah yang sedikit saja aerosol dari pembakaran sampah itu berbahaya, bagaimana dengan yang banyak dan tanpa ada teknologi apapun. Maka dari itu, UUPS sampai mengatur dengan tegas tentang praktik membakar sampah. Ada sanksi bagi siapa saja yang membakar sampah sembarangan.

Lebih lanjut, asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah jelas akan menyumbang makin buruknya pemanasan global. Aerosol dari pembakaran sampah akan melayang-layang di udara hingga dalam jumlah yang besar akan menghambat pantulan panas matahari yang masuk ke bumi.

Panas matahari yang seharusnya dipantulkan permukaan bumi untuk dibuang ke luar angkasa, tertahan oleh aerosol. Inilah yang dimaksud efek rumah kaca. Panas matahari terperangkap di bumi, sehingga bumi semakin panas dan semakin panas. Di antara penyebabnya bukan hanya aerosol dari pembakaran sampah. Tapi gas metana yang terbang dari tumpukan sampah di TPA-TPA kendati sampah tidak dibakar. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun