Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Banyak Edukasi Sampah tapi Tidak Berubah

11 September 2024   20:05 Diperbarui: 12 September 2024   11:37 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 2009 Indonesia menjadi salah satu peserta dalam Konvensi Stocholm. Yaitu, suatu perjanjian internasional yang fokus pada pencegahan dan eleminasi polutan organik persisten (POPs). Polutan ini adalah zat kimia berbahaya yang dapat bertahan lama di lingkungan, terakumulasi dalam rantai makanan, dan menimbulkan risiko kesehatan manusia.

Para aktivis lingkungan menyimpulkan bahwa konvensi itu secara eksplisit melarang membakar dan mengubur sampah. Karena pembakaran dan penguburan sampah pasti menghasilkan POPs. Asap dari membakar sampah akan jadi aerosol (partikel padat) yang centang perenang di udara. Partikel itu bisa menempel di mana pun lalu masuk ke sistem pencernaan manusia atau pernafasan manusia.

Teknologi pembakaran sampah di Singapura memang canggih. Ada mekanisme untuk menahan asap hasil pembakaran sampah untuk dijadikan energi atau dimasukkan ke tanah. Namun, secanggih apapun mekanisme penahanan dan penangkapan asap pembakaran sampah itu, tetap saja akan ada aerosol yang lolos. Kalau tidak lolos ke udara, maka aerosol itu masuk ke tanah.

Aerosol sesedikit apapun tetap berdampak pada lingkungan dan manusia. Nah, jika dalam jumlah yang sedikit saja aerosol dari pembakaran sampah itu berbahaya, bagaimana dengan yang banyak dan tanpa ada teknologi apapun. Maka dari itu, UUPS sampai mengatur dengan tegas tentang praktik membakar sampah. Ada sanksi bagi siapa saja yang membakar sampah sembarangan.

Lebih lanjut, asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah jelas akan menyumbang makin buruknya pemanasan global. Aerosol dari pembakaran sampah akan melayang-layang di udara hingga dalam jumlah yang besar akan menghambat pantulan panas matahari yang masuk ke bumi.

Panas matahari yang seharusnya dipantulkan permukaan bumi untuk dibuang ke luar angkasa, tertahan oleh aerosol. Inilah yang dimaksud efek rumah kaca. Panas matahari terperangkap di bumi, sehingga bumi semakin panas dan semakin panas. Di antara penyebabnya bukan hanya aerosol dari pembakaran sampah. Tapi gas metana yang terbang dari tumpukan sampah di TPA-TPA kendati sampah tidak dibakar. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun