Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Kompos Sampah Domestik Solusi Tambang Timah Rp 271 Triliun

2 April 2024   06:55 Diperbarui: 2 April 2024   12:12 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto udara kondisi pertambangan timah di Bangka Belitung. (Sumber: Kompas.id/Pandu Wiyoga)

Bangka Belitung memang kawasan yang oleh Tuhan diberi kelebihan. Terutama dalam hal kekayaan alam timah. Di sana, kalau ada anak pergi ke sekolah akan ditertawakan. Apalagi kalau mereka tidak bisa menjawab pertanyaan ini: Memangnya pergi sekolah mau jadi apa?

Di daerah itu, cita-cita tertinggi adalah menjadi pegawai resmi perusahaan penambang timah atau shelter-nya. Selain itu sebaiknya tidak usah bercita-cita. Percuma, tidak akan sejahtera. Sebab, jadi penambang timah ilegal dari sisa-sisa tambang yang ditinggalkan bisa cuan juga tapi kecil.

Tahun 2006 saya ke Bangka Belitung. Di sana, kalau sekolah seorang anak hanya dapat ilmu dalam sehari itu. Sementara, kalau tidak sekolah, seorang anak bisa dapat uang Rp 30.000 - Rp 50.000 dari menambang timah di sisa-sisa tambang. Untuk ukuran anak-anak uang sejumlah itu lumayan untuk jajan meskipun jajanan di sana relatif mahal.

Maka, sekolah di sana benar-benar sepi. Jangan lupa, film tentang sepinya sekolah di Bangka Belitung pernah diangkat di film Laskar Pelangi. Itu kisah nyata di Kabupaten Gantung, Belitung Timur.

Bangka Belitung ini memang provinsi kaya timah. Mungkin tidak ada sejengkal tanah di sana yang tidak ada timahnya. Sudah jutaan ton timah dikeruk dari bumi Bangka Belitung itu. Diangkut dengan tongkang kapasitas ribuan ton kemudian ditarik dengan tag ke shelter-shelter untuk diolah. Setelah diolah, barulah diekspor ke mana-mana.

Tapi kerusakan alam di Bangka Belitung memang gila-gilaan. Tahun 2006 saja, saat saya masih mahasiswa dan berkunjung ke sana, sudah banyak sekali tambang-tambang timah. 

Pembukaan lahan biasanya dilakukan oleh perusahaan besar. Setelah dikeruk timahnya, tambang itu ditinggalkan begitu saja. Ada juga yang dibuka oleh penambang rakyat.

Konon perusahaan penambang besar sengaja meninggalkan tambang begitu saja tanpa rehabilitasi, supaya masih bisa dikerjakan oleh penambang rakyat. Meski hal itu tidak dapat dibenarkan, namun demikianlah kondisinya. Tampaknya perilaku perusahaan-perusahaan besar penambang timah itu terus demikian hingga terungkap korupsinya.

Maka tidak heran kalau Bangka Belitung di hampir keseluruhan wilayahnya bolong-bolong karena aktivitas penambangan yang ugal-ugalan. Kemudian setelah itu tidak ada upaya rehabilitasi lahan. Padahal, di setiap pembukaan lahan tambang selalu dan pasti ada dana jaminan.

Uang jaminan itu dihitung dari nilai rehabilitasi lahan tambang. Dana itu baru bisa dicairkan kembali jika perusahaan penambang sudah melakukan rehabilitasi lahan tambang sesuai perjanjian. Namun, dana ini rupanya diduga jadi bancakan korupsi juga.

Belum lagi ada dana tanggung jawab lingkungan atau corporate social reponsibility (CSR). Dana ini di luar uang jaminan tadi. CSR diambilkan dari keuntungan perusahaan penambang setiap tahun. Dana yang amat bisa digunakan untuk merehabilitasi lahan sisa tambang. Tapi ternyata, dana CSR juga dipermainkan.

Rehabilitasi Bekas Tambang dengan Kompos Sampah Domestik

Bagaimana merehabilitasi lahan sisa tambang timah yang divaluasi merugikan negara Rp 271 triliun itu?

Tidak ada jawaban selain mengurugnya dengan kompos sampah domestik. Kompos yang dibuat dari sampah organik rumah tangga dan sampah organik sejenis sampah rumah tangga yang sudah diolah sesuai SNI 19-7030-2004 "Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik".

Jika setiap hari ratusan ton timah bisa diangkut tongkang dari Bangka Belitung, maka pasti bisa juga ribuan ton kompos sampah domestik diangkut ke Bangka Belitung. Sebab, hanya produksi sampah organik yang bisa mengejar kemampuan perusahaan tambang timah dalam mengeruk dan merusak lahan di sana.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, pada tahun 2022 total produksi timah di Bangka Belitung totalnya 32.000 ton. Asosiasi Timah Indonesia (ATI) mencatat produksi timah Bangka Belitung tahun 2023 adalah 35.000 ton. Itu menunjukkan bahwa setiap hari ada sekitar 87-200 ton timah diangkut dari Bangka Belitung.

Dari jumlah terbesar potensi timah diangkut dari Bangka Belitung (200 ton per hari), jika divaluasi kasar rehabilitasi lahan harus dilakukan 3-5 kali lipatnya. Maka, setiap hari Bangka Belitung butuh maksimal 1.000 ton kompos sampah domestik dari sampah organik untuk mengurug sisa-sisa tambang jika ditinggalkan. Jangankan 5 kali lipatnya, 20 kali lipatnya pun Bangka Belitung pasti bisa mengatasi kebutuhan rehabilitasi itu. Asal kompos organik domestiknya tersedia.

Produksi yang bisa menyaingi kerusakan lahan di Bangka Belitung hanyalah sampah organik. Kebutuhan 1.000 ton atau lebih sampah organik setiap hari itu tidak ada secuilnya dari 70 juta ton sampah di Indonesia dalam setahun. Dari 70 juta ton sampah itu, 60 persennya adalah sampah organik. Berarti ada 42 juta ton sampah organik per tahun.

Dari 42 juta ton sampah organik per tahun itu, berarti setiap hari ada 115 ribu ton sampah organik yang bisa diolah jadi kompos sampah domestik. Dengan sistem yang benar, sangat bisa dipastikan, bolong-bolong sisa tambang di Bangka Belitung itu sangat bisa direhabilitasi. Untuk solusi ini tentu Pemerintah Bangka Belitung tidak perlu pusing dan stres.

Pusing dan stres itu kalau tidak ada uangnya. Setiap pembukaan lahan tambang selalu ada dana jaminan untuk rehabilitasi lahan. Pemerintah Bangka Belitung tinggal beli saja kompos sampah domestik itu dengan uang jaminan tersebut. Kemudian, suruh perusahaan pembuka lahan tambang itu membeli kompos organik domestik tersebut untuk merehabilitasi lahan sisa tambang.

Perusahaan penambang pasti mau. Karena selama ini mereka juga sangat bingung dengan apa dan bagaimana cara merehabilitasi lahan sisa tambang. Kalau Pemerintah Bangka Belitung membantu solusi, mereka pasti senang.

Kalau solusi ini tidak jadi bahan bancakan korupsi lagi, maka alam Bangka Belitung akan bisa diselamatkan. Karena, sekali lagi hanya produksi sampah yang bisa mengimbangi potensi kerusakan alam oleh penambangan.

Manfaat Kompos Sampah Domestik di Lahan Tambang

Tidak akan ada bahan yang semelimpah sampah organik domestik untuk dimanfaatkan merehabilitasi sisa tambang timah. Sebab, keberadaan selain sampah organik domestik hanya musiman. Misalnya sampah pertanian, itu hanya musiman dan tidak bisa ditemukan di setiap tempat.

Di samping itu kompos sampah domestik itu sangat besar manfaatnya untuk sisa lahan tambang. Sebab, kompos organik domestik itu bisa menyerap kadar asam yang tinggi akibat pencemaran aktivitas tambang timah. Selain itu, kompos organik domestik juga mampu mengikat logam berat di tanah. Sehingga mampu mengurangi risiko pencemaran pada manusia dan tanaman.

Karena dibuat dari segala sesuatu yang disisakan dari makanan manusia, maka kompos organik domestik juga bisa dengan cepat menginisiasi rehabilitasi lingkungan. Percepatan bisa terjadi dalam proses pengembalian ekosistem lingkungan yang hilang akibat pertambangan.

Perbaikan struktur tanah akan terjadi seiring dengan upaya yang optimal dalam upaya rehabilitasi lahan sisa tambang. Keseriusan itu ditunjukkan dengan keterlibatan semua pihak. Yakni agar saling mengawasi supaya kegiatan dan program rehabilitasi berjalan dengan baik.

Bukan hal yang tidak mungkin Bangka Belitung yang lahannya banyak rusak dan hancur bisa disembuhkan kembali dengan metode rehabilitasi yang baik. Yang terpenting upaya rehabilitasi itu menjadi itikad semua pihak yang terlibat. Agar jangan terjadi penyelewengan lagi. Sebab, hambatan terberat dari upaya perbaikan lingkungan bukan masalah teknis, melainkan non-teknisnya.

Hambatan non-teknis terberat adalah potensi korupsi. Lain kali kita akan bahas bagaimana CSR menjadi bahan korupsi tapi dianggap lumrah. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun