Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Metafora Aplikasi Pengelola Sampah Daur Ulang

11 Desember 2023   07:00 Diperbarui: 11 Desember 2023   15:32 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Implementasi aspek teknologi dan aspek bisnis melalui aplikasi persampahan itu harus didukung dengan pelaksanaan aspek regulasi, aspek kelembagaan, aspek pembiayaan, dan aspek partisipasi masyarakat. Pelaksanaan semua aspek pengelolaan sampah akan melahirkan sebuah ekosistem pengelolaan sampah.

Nah, ekosistem itu hanya bisa dibentuk di tingkat kawasan. Aplikasi baru bisa landing atau dipakai di kawasan itu jika sedikitnya 60% warganya sudah terkonfirmasi valid masuk dalam ekosistem pengelolaan sampah. Di sinilah penentuan hidup matinya aplikasi pengelola sampah.

Ini seperti cara berpikir Gojek ketika memasukkan aplikasi ojol ke ekosistem transportasi perkotaan. Aplikasi Gojek tidak akan masuk ke suatu kawasan yang tingkat mobilisasinya warganya rendah. Sebab aplikasi ojol di kawasan seperti itu tidak akan berguna dan dipakai. Siapa yang mau pakai aplikasi ojol, kan tidak ke mana-mana juga.

Demikian juga dengan sampah. Kalau di suatu kawasan masih ada jasa pembuangan sampah, jangan harap aplikasi pengumpul sampah daur ulang bisa tahan lama. Paling-paling hanya bisa bertahan sampai duit investor untuk aplikasi itu habis. Atau duit sponsor yang mendukung aplikasi itu sudah habis.

Aplikasi pengelola sampah kerap dijadikan alat greenwashing . (Gambar insideclimatenews.org)
Aplikasi pengelola sampah kerap dijadikan alat greenwashing . (Gambar insideclimatenews.org)

Jika duit investor atau sponsor aplikasi-aplikasi itu sudah habis, maka habis juga aplikasinya. Tapi ada juga penggiat aplikasi yang terus bertahan dengan cara terus mencari duit investasi dan sponsor. 

Akhirnya orientasi mereka berubah. Mereka yang awalnya ingin ikut serta menyelamatkan lingkungan dengan pengurangan sampah (daur ulang), berubah menjadi pemburu investasi dan sponsorship.

Yang mengerikan, jika sejak awal sesungguhnya orientasi mereka memang ingin menjadi pemburu investasi dan sponsorship. Apalagi mereka tahu bahwa banyak polluters ingin tampil sebagai perusahaan yang bertanggung jawab pada lingkungan. Maka mereka sengaja menyediakan ruang pada para polluters itu untuk greenwashing. 

Jadi jangan heran kalau ratusan atau bahkan ribuan aplikasi sekalipun, positif kontribusinya sangat kecil pada masalah sampah. (nra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun